Tuesday, 10 June 2014

Sneak Peek: Cinta Tak Kenal Logika (Terbit Juni 2014)



Halooo semua ... kembali lagi dengan saya. Kali ini saya akan memposting bocoran untuk novel saya, Cinta Tak Kenal Logika, yang akan terbit di bulan Juni Fantasis ini. Nantinya kalian bisa mendapatkan novel ini di seluruh Gramedia se-Indonesia.  
Kalian bisa melihat gambaran kisahnya di postingan blogku sebelumnya ini: Tentang Cinta Tak Kenal Logika
Saya berharap setelah membaca ini kalian jadi tertarik untuk membelinya. ^-^

 
(bukan cover yang sebenarnya) 
 
PROLOG

 "...pengkhianatanmu menyakitkanku teramat sangat."
     Gerai MC Donald tinggal beberapa langkah lagi. Dada Seisa makin berdebar-debar setiap kali langkahnya semakin mendekati gerai ayam goreng tepung itu. Sementara kakinya tiba-tiba terasa kian berat untuk diayunkan.
Orang-orang menatapnya dengan berbagai ekspresi—melecehkan, kasihan, bingung, jijik, serta lain sebagainya—dan berkasak-kusuk saat berpapasan dengannya. Pasti mereka menggosipkan penampilan Seisa yang kali ini berantakkan. Ingin rasanya Seisa memutar arah dan melupakan apa yang disampaikan Nindy sejam lalu melalui telepon. Tapi rasa penasaran dan keinginan untuk membuktikan kebenaran informasi Nindy—bahkan sering kali disampaikan teman-temannya yang lain—membuat Seisa membuang jauh keinginan untuk memutar arah.
            Aku ngeliat Prema dan Yuri di mall, Sa. Mereka mesra banget. Kamu masih pacaran dengan Prema ‘kan?
Begitulah info dari Nindy yang membuat Seisa langsung melesat ke mall ini tanpa memoles wajahnya dengan segala tetek bengek yang dibutuhkan para gadis-gadis seusianya agar tampil cantik, bahkan untuk berganti baju pun ia tak sempat. Seisa masih mengenakan baju rumahan, kaus biru bergambar Hello Kitty dengan celana pipa panjang.
       Lima menit yang lalu Nindy—yang ia pinta untuk terus mengikuti Prema dan Yuri—kembali menghubungi dan mengatakan bahwa target sedang makan di MC Donald.
            Dengan dada yang semakin berdebar, Seisa memasuki gerai MC Donald. Seorang pelayan lansung menyambutnya dengan senyuman ramah, tapi Seisa hanya meresponnya dengan senyuman kaku. Pikirannya saat ini hanya tertuju pada satu hal: menemukan Prema dan Yuri secepatnya.
           Di meja paling pojok Seisa melihat pemandangan yang membuat hatinya serasa diremas-remas ribuan tangan. Prema dan Yuri duduk berduaan, saling menatap dan melempar senyuman, bagi siapapun  yang melihatnya pasti dapat menangkap kemesraan di antara mereka. Hati Seisa benar-benar remuk saat menyaksikan Prema mengusap sudut bibir Yuri dengan tisu.
       Seisa memejamkan mata, menahan air mata yang terasa mulai mendesak untuk mengalir. Dengan perasaan sakit, terluka, benci serta kecewa ia mendekati dua orang yang menyakitinya itu.
            “Prema,” panggilnya pelan, berusaha mengatur emosinya agar tidak meledak-ledak. Seisa masih tahu malu untuk tidak menimbulkan keributan di tempat keramaian seperti ini.
            “Seisa!” Prema terkejut dan langsung bangkit dari duduknya. “Se-sejak kapan kamu ada di sini?”
            “Cukup untuk melihat betapa mesranya kalian berdua,” ucap Seisa lirih seraya menoleh pada Yuri . Saat tatapan mereka bertemu, Seisa menangkap sorot kebencian di mata Yuri. Tatapan yang selalu ia terima  sejak Yuri mengetahui perasaannya pada Prema.
            “Aku bisa jelaskan,” Prema meraih tangan Seisa yang langsung ditepis gadis itu.
            “Nggak ada yang mesti dijelaskan lagi, Prema.”
            “Ini nggak seperti yang kamu lihat.”
            “Oh, ya?” Seisa tertawa sumbang. “Emang seperti apa yang aku lihat, um?”
            Orang-orang mulai memperhatikan mereka. Yuri bangkit dari duduknya bermaksud untuk pergi, tapi Seisa segera menahannya. Saat ini ia ingin bertanya sesuatu dengan sahabatnya itu.
            “Kenapa kamu begitu teganya?” tanya Seisa dengan irama terluka yang tidak bisa ia sembunyikan.
Yuri  menatap Seisa dengan sorot kebencian yang menusuk, lalu ia  mendengus. Yuri menyentakkan tangannya dengan kasar.
“Tega?” Nada suara Yuri terdengar jijik. “Kamu pikir dulu kamu nggak tega?”
Yuri langsung melengang pergi tanpa menunggu jawaban Seisa. Sementara Seisa terdiam sambil mengigit bibirnya. Jadi, begini akhirnya?
            Tanpa bisa Seisa tahan lagi, air matanya mulai jatuh lalu mengalir membasahi pipi. Ia segera menyekanya agar orang-orang tidak tahu bahwa ia menangis. Tapi, semua percuma. Semakin sering ia menyekanya, air mata itu kian deras berguguran. Saat ini hatinya benar-benar sakit. Hatinya benar-benar hancur. Berkeping-keping. Tak berbentuk lagi.
            “Kita harus bicara,” bisik Prema dengan suara pelan.
           Seisa memalingkan muka, lalu berucap dengan suara yang sama pelannya. “Semua udah jelas, Prema, lebih baik kita udahan aja.”
         Selepas itu Seisa langsung angkat kaki dari hadapan Prema. Orang-orang masih menjadikan mereka sebagai tontonan, tapi Seisa sudah tidak peduli lagi. Prema terus mengejarnya, berusaha membujuk Seisa untuk mau membicarakan masalah ini. Tapi, Seisa menulikan telinganya dari semua permohonan yang terucap dari bibir Prema dan terus berlari menghindari Prema.
            “Dengarin dulu alasanku, Sa,” pinta Prema saat berhasil menahan kepergian Seisa.
            “Cukup Prema! Semua udah jelas. Aku nggak percaya kamu tega mengkhianati aku seperti ini.”
            “Ini nggak seperti yang kamu pikirkan.”
            “Apa yang aku lihat itulah yang aku pikirkan. Kalian bermesraan. Dan, itu kenyataannya, kan?”
            Prema ingin menyangkalnya, tapi apa yang ingin ia katakan tersangkut di tenggorokannya. Sementara Seisa terus menyusut air matanya. Ia tidak ingin menunjukkan pada cowok di hadapannya itu bahwa ia hancur akibat pengkhianatan cowok tersebut.
       “Kita putus!” tandas Seisa tegas sambil menghapus sisa-sisa air matanya, namun semua terasa sia-sia.
    Setelah mengucapkan itu, Seisa segera pergi membawa hatinya yang hancur. Pikirannya yang kalut membuat Seisa berlari tanpa tujuan. Saat ini yang ia pikirkan hanya pergi sejauh mungkin dari Prema. Menjauhi salah satu pelaku yang telah meremukkan hatinya.
       Saat menyeberangi jalan raya, Seisa tidak menyadari sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Klakson mobil itu memekak seperti halilintar yang siap mengoyak gendang telinga. Mobil itu sudah semakin dekat dengan kecepatan yang tidak berkurang. Seisa tidak sanggup lagi bergerak karena tubuhnya terasa membeku. Matanya membelalak dan rasanya ia sangat ingin berteriak, tapi tak ada suara apapun yang keluar dari bibirnya.
        Seisa memejamkan matanya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Hidupnya akan berakhir dengan tragis. Tubuh Seisa bergetar menyongsong detik-detik terakhir kehidupannya. Sebentar lagi ia pasti mati. Dia akan mati!
          Namun, tiba-tiba seseorang menariknya kuat sekali. Seisa yang sudah lemas terhuyung mengikuti gaya tarikan tersebut. Dalam pikiran yang setengah melayang itu, Seisa masih bisa merasakan desingan mobil yang melaju cepat di belakangnya.
        Seisa terlalu syok untuk menyadari segala yang baru saja terjadi. Tapi, samar-samar ia bisa menangkap aroma papermint yang begitu menenangkan. Hingga ia pun sadar bahwa ia sedang berada dalam pelukan seseorang.
Seisa segera melepaskan tubuhnya dari pelukan seseorang tersebut. Jarak mereka yang teramat dekat membuat Seisa mundur beberapa langkah. Ketika ia mengangkat mukanya, Seisa terkejut mengetahui siapa pahlawan yang telah menyelamatkan nyawanya dari kematian.
            “Bego! Apa kamu mau mati, ha?”
***

No comments:

Post a Comment