Thursday 24 April 2014

Perjalanan Cinta Si Boneka Mama


Judul               : Love Ago
Penulis             : Mitha Juniar
Penerbit           : Grasindo
Tahun Terbit    : Cetakan pertama, 2014
ISBN               : 978-602-251-434-3
Tebal               : 188 halaman
Harga              : Rp 37.000,-





Sinopsis:

Thalita Purnama--Thata--merasa hidupnya seperti boneka mamanya. Apapun yang terkait tentang Thata sudah diatur oleh mamanya. Bahkan untuk pendamping hidup pun Mama sudah memyiapkannya untuk Thata, tanpa memberi tahunya terlebih dahulu. Ben, teman Thata sejak SD, itulah lelaki yang dipilihkan mamanya untuk Thata.

Sebenarnya Thata ingin menolak perjodohan ini. Terlebih lagi ia kenal siapa Ben, anak bandel yang dulu selalu mengusili dan menfitnah dirinya dan teman-temannya. Thata tidak bisa melupakan semua kejahatan Ben semasa kecil dulu. Thata sangat benci pada Ben yang angkuh dan sombong. Tapi, lagi-lagi Thata terpaksa menerima semua titah mamanya karena tidak ingin menjadi anak durhaka.

Setelah penjodohan, Ben mengajak Thata untuk kencan. Ben membawanya ke tempat bliard. Thata sungguh tidak menikmati kencan ini, terlebih saat melihat Ben yang asyik bercanda dengan para pelayan wanita. Thata pun memilih untuk jalan-jalan sendiri dan bertemu dengan sahabat sekaligus rivalnya saat SD, Dwiranto--Ranto.

Sejak pertemuan itu Thata sering jalan dengan Ranto. Bahkan mereka menghadiri acara 100 hari kematian Febri, teman mereka yang menderita Osteomalacia--kelainan pertumbuhan tulang. Thata yang tidak tahu kalau Febri telah berpulang menangis saat sampai di rumah Febri. Ternyata Febri adalah cinta monyetnya Thata.

Hubungan Thata dan Ranto semakin dekat. Apalagi saat Thata menjadi sekretaris Ranto. Thata juga mulai merasakan getaran cinta pada lelaki itu. Ben yang menyadari kedekatan Thata dengan Ranto pun marah. Dengan akal busuknya, Ben pun melakukan berbagai cara untuk menjauhkan Thata dari Ranto, salah satunya membayar preman untuk memukuli Ranto.

Di sisi lain, Thata berkenalan dengan Andry. Andry adalah anak Pak Rizal--sopir taksi langgan Thata--yang mengindap penyakit osteomalacia. Sosok Andry mengingatkan Tahta pada Febri. Saat melihat Andry, Thata merasa melihat Febri. Meski memiliki kekurangan, ternyata Andry seorang motivator. Hal itu tentu saja menumbuhkan kekaguman di hati Tahta.

Perjalanan cinta Thata pun semakin penuh liku. Perasaannya kian diuji saat orang-orang yang dicintainya pergi meninggalkannya satu per satu.






Review:

Sebelumnya aku mau mengucapkan selamat pada Mitha Juniar karena telah berhasil menerbitkan 8 buah novel. Wow ... suatu pencapaian yang luar biasa menurutku. Mengingat sampai detik ini, aku belum juga menerbitkan satu novelpun.

Love Ago adalah novel pertama karya Mitha yang aku baca. Kalau boleh jujur, ada rasa kecewa saat aku membaca halaman demi halaman novel ini. Mungkin, rasa kecewa itu timbul karena aku terlalu tinggi berharap akan mendapatkan sesuatu yang 'wah' pada novel ini. Apalagi teman-teman aku banyak yang mengagumi karya Mitha.

Baiklah, terlebih dahulu aku akan menjelaskan beberapa hal yang membuatku kecewa tersebut.

1. Terlalu lambatnya tokoh Andry muncul. Jujur, ini kekecewaan aku yang pertama. Karena di blurb aku menemukan 7 kali nama Andry disebutkan, aku jadi berpikir Andry adalah tokoh yang sangat penting dalam cerita ini. Dan menurut aku, tokoh penting dalam cerita selalu muncul di awal-awal. Tapi, di sini tokoh Andry baru muncul pada bab 10--itupun cuma sekedar lewat mengantarkan Thata ke kantor. Setelah itu tokoh Andry pun tak mendapatkan porsi yang banyak dalam cerita. Malah tokoh Ranto lebih mendominasi cerita ini daripada Andry.

2. Panggilan 'Mimi' oleh Thata untuk neneknya. Sungguh ini benar-benar buat aku melongo beberapa detik. Mimi? Enggak salah tuh. Selama ini aku tahunya Mimi itu panggilan lain untuk Ibu, bukan Nenek. Jadi, panggilan Mimi untuk neneknya oleh Thata sungguh tidak cocok--dan nyaman--menurutku. Terlebih lagi sosok neneknya itu digambarkan wanita berumur 80 tahun. Namun, dari dialognya aku malah menangkap seperti abege-abege gitu.

3. Karakter Thata yang menurutku labil dan kekanak-kanakan--dan ini bertentangan dengan pandangan tokoh lain yang menganggap Thata sosok yang hebat dan kuat. Kenapa saya bilang Thata labil? Itu sih gampang. Manusia apa sih yang bisa tersenyum setelah beberapa menit sebelumnya menangis meraung-raung? Manusia labil kan? *heheheh

4. Aku berharap akan menemukan banyak info tentang Osteomalacia. Namun, lagi-lagi aku harus kecewa karena minim sekali info yang kudapatkan tentang Osteomalacia.

5. Ada beberapa keanehan. Pertama: Saat Thata melihat Ben ia mengatakan tubuh Ben sixpack. Yang anehnya darimana Thata tahu Ben punya perut sixpack kalau saat itu Ben menggunakan baju yang lengkap? Kalau atletis mungkin itu masih logis. Kedua: Thata belum pernah kenal dan bertemu dengan Emaknya Andry. Tapi, kenapa bisa Emak Andry sengaja membuatkan kebaya untuk Thata. Ukuran kebayanya gimana tuh? Dan Ketiga: Pada halaman 173, di bagian atas Thata sudah diceritakan meminum segelas susu buatan mamanya. Tapi, kenapa pada bagian selanjutnya, Mama Thata baru menyerahkan susu buatannya pada Thata? Lalu, susu yang tadi diminum Thata itu buatan siapa?

6. Beberapa kalimat rancu. Pertama: Karena ia belum sempat membacanya sejak 2 hari lalu novel itu dibeli dari toko buku (hal. 4). Lebih baik: Karena ia belum sempat membaca novel itu sejak dibelinya 2 hari yang lalu.  Pantas saja jika Kalila selalu rindu pada ummi-nya (hal 11). Lebih baik: Pantas saja Kalila selalu rindu pada ummi-nya. Dan, masih ada beberapa lainnya di halaman 99 dan halaman 165

7. Beberapa typo. Ya, walau sebenarnya ini sesuatu yang sering ada di setiap novel.

8. Keberadaan puisi. Jujur, aku tidak tahu maksud dan fungsi dari puisi itu. Jadi, kalau puisi-puisi itu dihilangkan nggak bakal mempengaruhi cerita. (lebih hemat halaman)


Hmm … selanjutnya kelebihan dari novel ini. Semula aku berharap dapat banyak menemukan kelebihan naskah ini, tetapi *maaf Mitha* aku hanya menemukan sedikit (2 hal saja), yaitu: covernya yang cantik dan manis dan pesan cerita yang menurutku sangat perlu kita renungkan: bahwa jangan menilai seseorang dari tampilan luarnya.

Baiklah, sekian review dariku untuk novel Love Ago karya Mitha ini. Saya memberikan 2 dari 5 bintang untuk kisah Thata ini. Terima kasih. ^-^

Pekanbaru, 24 April 2014

@Kagusta





Saturday 12 April 2014

Behind The Story After a Long Time: Arre's Letter







1


"Kau harus membenci masa lalu!"

Aluna, tahukah kau bagaimana perasaanku ketika meneriakkan kata itu padamu? Sakit banget! Sungguh aku nggak ingin kau membenci masa lalu. Kau tahu mengapa? Karena aku ada di masa lalumu. Aku tak ingin dilupakan. Tapi, melihatmu semakin sakit, aku rela dilupakan, Luna. Dibenci pun tak mengapa.

Aluna, aku sadar, kondisiku membuatmu tertekan. Kita berada di posisi yang sama, terjepit dan sakit. Tapi, mengapa perasaan ini semua semakin memperumit kita? Tak bisakah kita berjalan seperti apa adanya saja? Ah, tolonglah aku, Luna. Hentikan segala kerumitan perasaan yang membuat kita semakin jauh terluka.

Aluna, saat kau memergokiku memeluknya malam itu, aku ingin sekali mengejarmu. Meraihmu dan menenangkan api kemarahan di hatimu. Tapi, keadaan tak pernah memberiku kesempatan untuk melakukannya. Aku tak mampu melepaskannya yang bertumpu pada tubuhku. Pengecutkah aku di matamu, Luna?

Aluna, naifkah bila aku berharap kesempatan untuk kita? Kesempatan kita berpegangan tangan berdua di senja yang merah? Ah, lupakan saja! Kesempatan kita hanya masa lalu. Dan, kita sama-sama tahu itu kan, Luna?

Aluna, gadis matahariku.

Sungguh, tak ada yang berubah di hatiku.
Kuharap kamu tahu itu.


2

Kebahagiaan itu hanya semu!

Aluna, berhenti menatapku seperti itu. Aku mohon hentikan! Aku tahu, kau terluka oleh keberadaanku dengannya. Tapi, bisakah kau mengerti aku, Luna? Aku yakin kamu bisa.

Aku merasa sepi, Aluna. Meski dia selalu ada untukku. Bersamaku. Tetapi, tetap saja ada yang beda. Tetap saja ada yang tak lagi sama. Kau tahu apa yang tidak ada itu, Aluna? Senyum hangatmu! Aku rindu senyummu Aluna. Senyum yang acap kali kuanalogikan sebagai matahariku.

Aluna, tanpamu aku tidak lagi merasakan kebahagiaan. Bahagia itu seolah menjelma menjadi semu. Bisakah aku memilikimu tanpa mengorbankan dia, Aluna? Kumohon. Aku butuh kamu, sementara dia butuh aku. Aku tidak bisa memilih. Bolehkah aku memiliki kalian berdua saja sekaligus? Aku ingin bahagia, Aluna!

Ah ... Terkadang aku bermimpi tentang kita, Aluna. Kita yang melangkah di altar, mengucapkan sumpah suci. Kau tahu, Aluna? Saat itu, aku tak ingin lagi terjaga. Dan, berharap mimpi itulah kenyataannya. Tapi, mimpi tetaplah mimpi kan, Luna? Hanya bunga tidur yang tak berarti apa-apa.

Aluna, aku menginginkanmu dalam diamku.


3

Sakit!

"Mengapa harus ada rasa sakit di hidup ini?"

Aluna, itulah yang ingin kutanyakan padamu saat ini. Aku tahu, kamu selalu ada jawaban atas segala gundahku. Tapi, aku malu untuk bertanya, Aluna. Aku malu untuk menemuimu sejak malam itu.

Senar gitar mengalunkan simfoni. Jemariku terus memetik, mendendangkan senandung elegi. Aluna, ini lagu kesukaanmu kan? Lihatlah, dalam sesakit ini pun aku masih mengingat lagumu, mengingat dirimu. Adakah kau ingat aku di sana?

Aluna, aku benci dengan diriku sekarang ini. Kau tahu mengapa aku merasakan benci itu? Aku benci karena harus berpura-pura di depanmu. Pura-pura acuh tak acuh terhadapmu. Pura-pura semuanya baik-baik saja denganmu.

Saat ini aku sakit sekali, Aluna. Jauh darimu, membenci diriku, dan membohonginya dengan rasa cinta yang tidak pernah kupunya . Adakah kesakitan yang lebih dari ini, Aluna?

Gadis matahariku, Aluna. Bantu aku angkat segala rasa sakit ini. Kumohon!


4

Lagi-lagi aku melakukan tindakan bodoh! Ah ... mengapa akhir-akhir ini aku selalu melakukan sesuatu yang diluar kendaliku. Aku seperti orang linglung. Tetapi, yang aku tak sadari dan lebih parahnya, perbuatanku itu menyakitimu, Aluna. Melukaimu dengan sangatnya. Sakitkah rasanya, Aluna?

Maaf. Cukupkah kata maaf untuk memaafkan kebodohanku itu, Aluna? Sungguh, tidak ada terpikir sedikit pun niatku untuk menyakitimu. Aku menyesal, Aluna. Teramat menyesal!


Aluna, bolehkah aku meminta sesuatu padamu? Menjauhlah dariku. Jangan lagi di dekatku. Bukan aku tak inginkanmu. Bukan! Tapi, aku takut semakin menyakitimu. Melukaimu hingga teramat parah. Jangan buat aku semakin membenci diriku, Aluna. Kumohon, tinggalkan aku sebelum keadaan semakin membuat kita tak berdaya.


5

Aluna, mengapa kau tak jua menjauh?

Aku benci dengan keadaan ini, Aluna. Keadaan kita. Mengapa semua semakin rumit? Mengapa kita tidak bisa bersikap seperti biasa saja? Aku lelah memasang topeng ini, Aluna. Aku capai menatapmu dengan sorot itu. Sorot yang kusendiri tak menyukainya.

Aluna, jika dengan membuatmu jauh adalah cara untuk menghindari luka yang lebih bagimu. Bolehkah aku berpura-pura untuk membencimu? Bolehkah aku mengabaikanmu? Sungguh, aku tidak tahu lagi cara untuk membuatmu berhenti mendekatiku. Berhenti untuk melukai dirimu dengan keberadaanku. Jahatkah aku di matamu bila berlaku seperti itu?

Aluna, gadis matahariku. Takdir kita sudah jelas. Kau dan aku tahu itu. Berhenti berharap ada kita. Karena tidak akan pernah ada. Yang ada hanya, aku dan dia. Dan, kamu dan lelakimu. Jadi, apalagi yang kita harap dari kebersamaan ini?

Aluna, apakah di benakmu dipenuhi dengan kita? Aku dan Kamu? Jika kau ingin tahu jawabanku, aku selalu menginginkan kita; Aluna. Naifkan aku ini. Memintamu berhenti berharap tentang kita, padahal aku tak hentinya berharap! Ah ... sudahlah, Aluna. Selamanya kisah ini akan jadi ambigu bagi kita.

Aluna, bahagialah dengan lelakimu. Lupakan aku! Tetapi, bolehkah aku berharap cintamu hanya untukku? Egoiskah aku?

Ah .... Aku teramat mencintaimu, Aluna. Hingga aku takut mempertahankanmu di sisiku malah menyakitimu. Aku terlalu pengecut!

Aluna, bisakah aku mencintaimu tanpa memiliki?

Aluna, bisakah kau berjanji itu untukku?


6

Duniaku makin masuk ke fase mati!

Mungkin di luar duniaku hiruk pikuk, terlihat heboh dan menyenangkan. Tetapi, coba kau lihat di dalamnya, Aluna. Hidupku hanya bernapas satu-satu. Aku mendekati mati. Mati karena kesepian. Adakah kau merasakan sesepi diriku, Aluna?

Sekarang, tak ada lagi penyambung kata antara kita. Kita sama-sama senyap. Tak ingin bersuara. Aku lega, melihatmu yang mulai mendiamkanku, Aluna. Itu berarti kau berusaha menjauhi luka. Tapi, mengapa ada rasa yang menikung di hatiku, Aluna? Seolah tanpa suaramu duniaku seakan sunyi. Pendengaranku tuli. Aluna, bisakah aku mendengarkan suaramu tanpa kau berbicara padaku? Aku rindu dirimu dan suaramu, Aluna. Terlalu Rindu.

Aluna, terkadang ada ego yang membisiki hatiku untuk berlari, dan merengkuhmu ke pelukku. Menobatkanmu sebagai milikku. Aku menginginkanmu, tetapi ada dia, Aluna. Dialah yang menjadi penahan egoku. Haruskah aku bersyukur atau memaki karenanya, Aluna?

Semalam aku melihat bintang jatuh, Aluna. Kau ingat tidak bagaimana aku mengetawai kepercayaanmu terhadap bintang jatuh. Kau selalu berdoa ketika melihatnya, dan aku akan semakin terpingkal-pingkal untuk tertawa. Tawaku baru reda setelah kau cubit perutku seraya cemberut sebal. Namun, tadi malam aku tak mampu lagi tertawa, Aluna. Tahukah kau apa yang aku lakukan? Aku mengikutimu. Berdoa. Berdoa semoga ada jalan terang bagi kita. Apakah bintang jatuh bisa jadi tumpuan kita untuk berharap, Aluna? Karena aku tak tahu mesti berharap pada siapa lagi.

Aluna, bisakah aku meminta sesuatu padamu? Beritahu aku penawar rasa candu akan dirimu. Bisakah?


7

Aluna, adakah rasa yang lebih menyakitkan selain menanggung rindu pada seseorang yang tak bisa kausentuh?

Aku merindukanmu, Aluna. Rasa itulah yang menggiringku ke sini, ke rak-rak novel di toko buku ternama. Toko buku, adalah tempat favoritmu. Novel, adalah benda yang tak pernah lepas kaubicarakan setiap waktu. Lihatlah, Aluna, aku masih begitu ingat semua tentangmu kan?

"Bila kau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan."

Kalimat yang kutemukan di salah satu halaman buku ber-cover kopi, kini berada di tanganku, membuat aku terdiam lama. Merenung. Termangu. Tersesat dalam berjuta tanda tanya. Aluna, apakah kalimat ini sengaja Tuhan tunjukkan kepadaku? Kau pasti tahu maksudku kan, Aluna?

Lihatlah, Aluna. Kalimat itu saja mengerti tentang kondisi kita. Apa yang kita pilih sudah benar. Jalan ini sudah semestinya. Tetapi, mengapa hatiku terkadang masih menuntut dengan harapan-harapan semu tentang kita? Padahal aku tidak bisa memiliki dua kan, Aluna?

Akhirnya, aku membawa buku ini ke kasir, Aluna. Mungkin buku ini bisa membantuku. Memberiku penjelasan tentang 'satu' dan 'dua'. Semoga. Ah ... Lagi-lagi ada harap yang kupinta untuk kita. Dengarlah, Aluna, kau tidak pernah lumpuh di ingatanku. Masih memegang kendali atas kenangan-kenangan indahku.

Aluna, aku mencintaimu. Masih bolehkah?


8

Hidup selalu dipertemukan dengan pilihan.

Aluna, pernahkah kau diminta untuk memilih dua hal yang ingin kau miliki sekaligus? Kau pasti tahu mengapa aku mempertanyakan hal ini. Aku harus memilih, Aluna. Memilih kau dan dia. Memilih masa lalu atau masa kini. Tetapi aku dilema. Berada di persimpangan. Mengapa untuk memilih saja teramat menyulitkan, Aluna.

Aluna, di dunia ini ada dua hal yang tidak bisa kulepaskan. Kau dan dia. Aku membutuhkanmu, sementara dia begitu membutuhkanku. Dan, sekarang aku harus memilih antara kalian berdua.

Aluna, Aku harus memilih. Maaf, aku memilih dia. Masa kiniku. Tidak kamu, masa laluku. Bukan karena aku menginginkannya atau mencintainya. Bukan! Kau masih tetap jadi seseorang yang menduduki posisi pertama di hati. Aku memilih dia, karena dia mencintaiku dan aku telah berjanji untuk menjaganya. Kau, pasti tidak ingin aku jadi orang yang mengingkari janji kan, Aluna?

Lagipula ini salahku, Aluna. Bila aku memilihmu, dia akan terluka. Aku tidak ingin membuatnya hancur karena salahku. Jadi, biarlah aku yang hancur oleh salahku sendiri.

Aluna, kau dan aku adalah masa lalu. Tahukah kau apa yang tidak bisa kita miliki dari masa lalu? Kesempatan untuk mengulanginya lagi, Aluna. Kita tidak bisa mengulang lagi kisah cinta kita yang sudah lama berlalu.

Aluna, bolehkah aku bertanya sesuatu? Masihkah kau mencintaiku? Sssttt ... jangan kau jawab, Aluna. Aku cuma bertanya, tidak inginkan jawaban.


9

Penuh kamuflase! Begitulah kehidupanku kini, Aluna. Selalu diisi dengan kepura-puraan. Seperti makanan sehari-hari, kebohongan demi kebohongan kuciptakan dengan sadar. Demi apa, atau lebih tepatnya demi siapa? Entahlah! Mungkin demi janjiku. Demi kebahagiaan dia.

Aluna, pernahkah kau hidup dalam kepura-puraan? Bagaimana rasanya? Sungguh tidak nyaman pastinya. Tapi, apalagi yang bisa kulakukan. Keadaan menuntutku untuk menciptakan kamuflase-kamuflase tersebut.

Aku rindu kehidupanku dulu. Hidup apa adanya aku. Tanpa tameng. Tanpa topeng. Tanpa kepura-puraan. Namun, tidak ada lagi kehidupan masa lalu. Yang ada hanya masa kini. Masa yang kuisi dengan segala yang palsu. Termasuk hatiku.

Aluna, sejauh apapun aku mengingkari, ternyata tak ada cinta yang kupunya untuk dia. Hatiku tidak memiliki ruang lagi untuk ditempati olehnya. Jahatkah aku menipudayanya dengan cinta yang kupalsukan ini, Aluna? Tetapi, aku telah bersumpah janji untuk bersamanya. Aku tidak jahat kan?

Aluna, sesungguhnya aku masih berharap akan masa lalu. Masa dimana hanya ada kita. Masih pantaskah aku berharap begitu?

Aku mencintaimu, Aluna. Dalam diam. Tak tahu entah berhenti sampai kapan.


10

Kini aku berada di titik jenuh!

Lelah berkamuflase. Letih untuk berpura-pura. Dan, capai untuk berlindung di balik topeng. Aku jenuh, Aluna. Teramat jenuh.

Aluna, berulang kali aku mencoba menerima kenyataan ini. Menguatkan hati untuk belajar hanya menatapnya. Melihatnya. Tanpa ada bayang-bayang dirimu. Namun, sejauh langkah aku mencoba merengkuhnya ke dalam hatiku, sejauh itu pula kau mengakar di sana. Mengukuhkan hatiku sebagai wilayah teritorialmu.

Bisakah kau pergi dari benakku, Aluna? Pergi tanpa ada hasrat untuk kembali. Menjauh dan hilang untuk selamanya. Aku ingin mencintainya, Aluna. Ingin berhenti berpura-pura jatuh hati padanya. Dia tidak pantas aku permainkan seperti ini. Jadi, tolong aku. Beri aku jeda untuk mencintainya. Hanya dia seutuhnya.


Aluna, bila aku yang memintamu untuk berhenti masuk ke kehidupanku. Akankah kau melakukannya?


To be continued ….