Saturday 7 June 2014

Oleh-Oleh dari Tulis Nusantara Riau



          Pada hari Rabu tanggal 04 Juni 2014 workshop Tulis Nusantara Riau dilaksanakan. Event tahunan yang ditaja oleh beberapa penerbit, di antaranya Plot Point, Grasindo dan Nulis Buku, yang bekerjasa sama dengan Kementerian Pariwisata Kreatif (Kemenparekraf) ini berlangsung di gedung C FKIP Universitas Islam Riau. Tujuan kegiatan ini adalah mengangkat tema lokalitas negeri untuk menjadi sebuah karya tulis yang menginspirasi. Dan, untuk kota Riau ini, pembicara workshop di isi oleh Rhein Fathia (Penulis novel Seven Days, Jadian 6 Bulan, dll) dan Arief Ash Shidiq (Perwakilan dari Plot Point).
            Semulanya saya tidak bisa mengikuti acara ini, mengingat ada perkulihan yang harus saya ikuti pada waktu yang sama. Tetapi, karena merasa ini merupakan kesempatan langka—jarang sekali ada workshop kepenulisan di Riau yang diisi oleh penulis nasional dan perwakilan penerbit besar—saya memutuskan untuk meminta izin pada dosen saya agar bisa menghadiri workshop ini. Alhamdulillah … dosen saya memberikan izin karena dia tahu tentang kesukaan saya pada dunia literasi.
            Jam 12.30—selesai sholah zhuhur—saya sampai di ruang acara workshop diadakan. Pada saat itu keadaan ruangan masih sangat sepi, hanya ada beberapa panitia yang hilir mudik mempersiapkan hal teknis. Saya peserta pertama yang masuk ke ruangan. Karena masih ada waktu setengah jam lagi acara akan dimulai, saya memutuskan untuk membaca modul yang tadi diserahkan panitia. Tanpa terasa satu persatu peserta lain mulai berdatangan.
            Entah apa yang membuat saya menoleh ke belakang pada waktu itu. Tapi, saya sangat mensyukuri apapun yang telah membuat saya menoleh ke belakang. Karena ternyata di sana sudah duduk seseorang yang sejak masuk ruangan sudah saya cari-cari. Ya, beliau adalah Mbak Rhein Fathia—saya tahu itu Mbak Rhein setelah memastikan dengan membandingkan fotonya di novel beliau yang saya bawa dan bertanya pada panitia yang kebetulan lewat. Meski malu, saya tidak membuang sia-sia kesempatan itu menghampiri Mbak Rhein. Tak lupa saya membawa serta novel Seven Days yang saya bawa untuk minta ditandatangani oleh Mbak Rhein.
            Ternyata Mbak Rhein kenal sama saya—yaiyalah, soalnya beberapa hari sebelumnya kami sempat komen-komenan di facebook. Kesan pertama yang saya tangkap dari Mbak Rhein adalah ramah. Ya, beliau begitu ramah saat mengobrol dengan saya. Banyak hal yang kami obrolkan, dari tentang karya beliau, karyaku, hingga tentang kuliah dan UAS. Obrolan kami baru berhenti saat acara akan dimulai. Mbak Rhein pergi ke meja pembicaraan yang sudah disediakan dan saya kembali ke tempat saya.
            Workshop dibuka oleh kata sambutan dari perwakilan Kemenparekraf. Selanjutnya oleh salah satu sastrawan Riau. Setelah itu baru diisi oleh Mbak Rhein Fathia dengan membicarakan tentang bagaimana proses kreatif beliau saat menulis. Saya sangat menikmati sesi ini. Karena Mbak Rhein membawanya dengan santai—sesekali nyeletuk dan tertawa. Saya terus menyimaknya dengan sesekali mencatat beberapa poin yang saya rasa penting untuk saya terapkan. Salah satu yang saya ingat dari perkataan beliau adalah, “Tidak ada karya yang bagus atau buruk, yang ada hanya karya yang menarik dan tidak menarik.”
            Hingga tibalah sesi tanya jawab. Saya menjadi peserta pertama yang bertanya. Saat itu saya bertanya, “Sahkah bila seorang penulis memodifikasi storyline dari sebuah film atau novel yang sudah terbit sebelumnya?”
            Dan Mbak Rhein menjawab kurang lebih intinya seperti ini: “Sah atau tidaknya itu tergantung kamu. Meski saya akui memang tak ada ide yang orisinil lagi. Tetapi semuanya kembali lagi ke apa tujuan kamu menulis.”
            Setelah sesi pertanyaan untuk Mbak Rhein selesai, acara selanjutnya diisi oleh Mas Arief Ash Shidiq. Karena beliau perwakilan dari Plot Point, jadi pertama kali yang Mas Arief lakukan adalah memperkenalkan Plot Point ke peserta workshop. Mulai dari apa itu penerbit Plot Point hingga buku-buku yang sudah Plot Point terbitkan.
            Setelah itu Mas Arief meminta kami—para peserta—untuk menyebutkan masalah-masalah menulis yang sering kami alami. Di sini, saya menyumbangkan dua permasalahan yang sering saya alami—sebagai penulis pemula, tentunya. Dua permasalahan itu adalah:
1.      Bagaimana cara menuliskan pembuka cerita yang menarik sehingga dilirik oleh penerbit?
2.      Point of View (sudut pandang) apa yang paling mudah digunakan oleh para penulis pemula?
Setelah ditotalkan ada 11 permasalahan yang disebutkan oleh para peserta. Dan, mulailah Mas Arief menjelaskan satu-persatu. Mas Arif menjelaskannya dengan baik, beserta contoh-contohnya. Saya kembali mencatat poin-poin yang saya rasa sangat penting. Salah satunya tentang pertanyaan saya mengenai pembukaan cerita yang menarik sehingga dilirik oleh penerbit.
            “Kalau pertanyaan ini saya jawab, tentu larinya akan ke tips-tips yang sangat panjang sekali. Tetapi, secara garis besarnya naskah yang dilirik itu memiliki dua hal, yaitu bermanfaat dan mudah diakses. Namun, sebenarnya ada satu hal lagi yang membuat naskah disukai, yaitu memiliki kebaruan. Kebaruan itu bisa dari apa saja. Contohnya saja karakter. Tentu akan lebih menarik karakter satpam wanita daripada satpam lelaki, karena satpam wanita itu baru sedangkan satpam lelaki biasa dan umum. Atau satpam banci, tentu lebih menarik lagi daripada satpam lelaki dan satpam wanita,” jelas Mas Arief menjawab pertanyaan saya.
            Selain menjawab permasalahan-permasalahan, Mas Arief juga memberi kami latihan menulis kilat—saking kilatnya kami hanya diberi waktu kurang dari 10 menit. Beliau meminta kami menulis tentang deskripsi suatu ruangan tetapi terdapat perubahan di ruangan tersebut tanpa ada karakter (untuk tugas ini, saya tidak bisa membuatnya) dan menuliskan deskripsi suatu tempat kesukaan kita dengan sudut pandang orang pertama. Untuk tugas kedua saya berhasil menulisnya. Deskripsi saya tersebut seperti ini:
             
Tak terhitung lagi sudah berapa banyak waktu yang saya habiskan untuk duduk berdiam diri di atas meja kayu tersebut. Saya sangat menyukai tekstur kayunya yang kasar saat tersentuh kulit. Selain itu, dari sudut ini saya bisa melihat banyak hal. Mulai dari semburat keemasan yang merangkak naik dari sela dedaunan akasia yang berembun di pagi hari, keramaian aktivitas di emperan toko-toko di seberang jalan—karyawan yang antre di foto kopian, pegawai foto kopian yang kewalahan melayani pelanggan—dan saat malam tiba, bintang-bintang bersama bulan tampak begitu jelas indahnya menghiasi kanvas langit. Namun, hal yang benar-benar membuat saya betah duduk berlama-lama di atas meja ini adalah saat hujan turun menyapa bumi, saat jendela kamar dipenuhi oleh gelur-gelur air hujan, saat saya merasakan sensasi menggelitik, dingin namun meneduhkan  takkala saya menempelkan sebelah pipi di kaca jendela. Bagi saya, tidak ada tempat senyaman dan sebaik apapun di dunia ini selain di atas meja kayu yang menghadap jendela di kamar saya. Karena itu adalah spot yang paling saya sukai.
         
   Sesi pembicaraan Mas Arief pun berakhir dengan pemberian 3 buah novel kepada peserta workshop yang bertanya—dan tentu juga beruntung. Saya menjadi salah satu yang mendapatkan reward itu, sebagai peserta workshop terewel, saking banyaknya bertanya. Saya mendapatkan novel Chrus dari Veronica Latifiane. Ternyata Mbak Rhein juga sudah menyediakan 4 novelnya untuk dibagi-bagikan. Dan, saya—sayangnya—tidak mendapatkan novel dari Mbak Rhein—padahal kepengin dapat novel Couplove.
            Acara workshop pun berakhir pada jam 16.30. Acara tersebut ditutup dengan peng\abadian moment—foto bersama—para peserta workshop dengan panitia dan para pembicara. Dan, di foto itu—kalau saya tidak lupa—saya berdiri di sebelah Mbak Rhein. Sebelum keluar ruangan saya tak lupa bersalaman dan mengucapkan terima kasih pada Mbak Rhein dan Mas Arief. Karena apa yang mereka sampaikan telah menambah wawasan saya tentang dunia literasi. Saya berharap di kemudian hari ada kesempatan untuk bertemu mereka lagi. Dan, tentunya juga ada workshop-workshop tentang kepenulisan keren lainnya di kota bertuah saya ini. Amiiiin … ^^
            Mungkin sekian oleh-oleh yang saya bawa dari workshop Tulis Nusantara. Semoga sedikit kisah ini bisa membagi ilmu pada teman-teman yang membaca. Terakhir saya mau mengatakan satu quote yang Mbak Rhein tuliskan di novel Seven Days milik saya.
Love never choice, Life is choice
            Sampai jumpa lagi pada postingan berikutnyaaaa …. ^^

Pekanbaru, 07 Juni 2014, 00:24

@KAgusta

No comments:

Post a Comment