Tuesday 18 March 2014

Cerpen: Demi Sebuah Motor (Hai edisi 11-16 November 2013)


oleh Kamal Agusta

            Gandi menekan tombol reject ponselnya sambil berdecak kesal. Gadget itu disimpannya kembali ke dalam saku.
            Tadi itu telpon dari Ayahnya di kampung. Ayah mengabarkan pada Gandi bahwa ia belum bisa membelikan motor baru untuk Gandi. Penghasilanya ayahnya yang hanya petani karet menjadi tak menentu karena harga karet yang kian anjlok. Sebenarnya  budget untuk beli motor itu sudah disiapkan, tapi terpaksa dialihkan dulu untuk mengirimi uang kuliah untuk kakaknya yang di Jogja. Ayah meminta maaf  karena belum bisa memenuhi permintaan Gandi.
Kabar itu tentu saja membuat Gandi kecewa. Sudah berbulan-bulan Gandi memimpikan motor baru untuk ia tunggangi ke sekolah, jalan-jalan, juga ngapel ke rumah Ranti, pacarnya, saat malam mingguan. Apalagi Gandi sering malu saat ngumpul dengan teman-temannya  karena ketidakpunyaannya itu.
“Sudah zaman modern kau masih saja naik angkot. Dasar Kampungan!”
“Dia kan emang dari kampung, Ron!”
“Kau benar juga. Orang dari kampung emang suka kampungan!”
Selanjutnya teman-temannya akan terbahak-bahak menertawakan Gandi.
Mendengar celaan temannya selalu membuat kuping Gandi panas. Dadanya menggelegak oleh amarah. Ingin rasanya Gandi menonjok wajah mereka hingga tulang hidung mereka patah. Tapi, Gandi hanya bisa menahan rasa marahnya dalam-dalam. Bagaiamanapun apa yang diucapkan teman-temannya itu benar. Zaman sekarang tidak punya motor? Kampungan banget!
            “Kenapa, bro?” tanya Dion yang melihat wajah kesal Gandi.
            “Ayahku belum bisa belikan motor,” jawab Gandi sambil menyelipkan sebatang rokok di bibirnya.
            Dion mendekat, lalu menepuk pundak Gandi. Bibirnya yang tipis dan hitam akibat nikotin rokok itu menyeringai.
            “Kau ingin punya motor?”
            Gandi mendelik sebal. Tantu saja ia menginginkan sebuah motor untuk bisa survive di dalam pergaulannya. “Aku sudah nggak tahan dihina oleh yang lain, Yon. Kau tahu sendiri gimana pedasnya mulut Roni setiap melihatku ngumpul tanpa tunggangan apapun!” tukas Gandi.
            “Kalo kau emang mau punya motor, kau bisa ikut denganku malam minggu nanti.”
            “Yang benar? Kemana?”
            “Kau akan tahu nanti!”
Gandi yang sudah terobsesi memiliki sebuah motor menyetujui ajakan itu tanpa bertanya-tanya lagi.
***
            Malam minggu Dion benar-benar menjemput Gandi ke kamar kosnya. Setelah mengunci pintu kamarnya, Gandi langsung naik ke motor Dion. Tanpa buang-buang waktu lagi Dion langsung tancap gas, memacu motornya dengan kecepatan tinggi.
            Beberapa kali Dion melakukan maneuver-manuver saat menyalip kendaraan lain atau bertemu tikungan yang tajam. Gandi terpaksa memeluk tubuh Dion dengan erat. Gandi benar-benar kagum dengan kepiawaian temannya itu di jalanan.
            Setengah jam kemudian mereka sampai ke tempat yang dituju, Stadion bola. Di sana sudah berkumpul puluhan orang yang duduk-duduk di atas motor. Gandi terperangah saat melihat motor-motor di hadapannya yang tampak keren setelah di-modifikasi.
            “Aku kenalin dulu kau sama Bang Awang,” ucap Dion sambil melepas helm teropongnya.
            Ternyata Bang Awang yang dimaksud Dion adalah seorang lelaki berumur 40 tahun berambut gondrong. Tubuhnya yang gempal dibalut oleh jaket kulit. Wajahnya tampak sangar karena bekas-bekas luka.
            “Kau nggak perlu takut,” kata Dion, menyadari ketakutan Gandi yang melihat penampakan Bang Awang yang sangar.
            Dion langsung mencium tangan Bang Awang saat bertemu. Takut-takut Gandi juga mengikuti apa yang Dion lakukan. Bang Awang menatapnya tajam, lalu memberikan senyuman yang menurut Gandi lebih mirip seringaian.
            “Jadi ini teman yang kau maksud, Yon?”
            Dion mengangguk lalu ia mengasih kode dengan matanya agar Gandi memperkenalkan diri.
            “Aku Gandi, Bang. Teman sekolahnya Dion.”
            Kepala Bang Awang terangguk-angguk sambil memperhatikan penampilan Gandi.
            “Kata Dion kau ingin punya motor, benar?”
            “Iya, Bang.”
            “Sekarang kau pilih saja motor yang kau suka,” tawar Bang Awang sambil menunjuk deretan motor-motor keren di belakangnya.
            Gandi terperangah. Tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya.
            “Yang benar, Bang?”
            “Apa aku tampak bergurau?” Bang Awang menyeringai.
            Gandi menggelengkan kepalanya. Lalu mengedarkan pandangannya pada deretan motor yang dipersilahkan Bang Awang untuk ia pilih. Sebentar lagi impiannya untuk punya motor akan kesampaian. Yang terpenting, ia tidak akan lagi mendengar hinaan teman-temannya yang membuatnya kupingnya panas dan hatinya sakit.
            Gandi menjatuhkan pilihannya pada motor blade yang sudah dimodifikasi sekian rupa. Bang Awang langsung melemparkan kunci motor itu padanya. Dengan semangat Gandi mencoba motor yang sekarang jadi miliknya itu.
            “Kau suka?” tanya Bang Awang pada Gandi setelah kembali dari mencoba motornya.
            “Suka, Bang. Terima kasih.”
            “Kau tidak perlu berterima kasih. Motor ini akan jadi milikmu, asal kau setiap malam berkumpul dengan kami di sini. Kau sanggup?”
            Gandi menyetujui persyaratan itu. Hanya berkumpul setiap malam? Why not? Itu bukanlah persyaratan yang sulit bila dibandingkan dengan sebuah motor!
***
            Sesuai persyaratan setiap malam Gandi berkumpul di stadion bola. Selain Bang Awang, dia juga bertemu dengan teman-teman baru yang ternyata sebagian adalah pelajar dari berbagai sekolah. Sebut saja Ferdi, Syarif, Rudi, Ilham, dan Rahman. Tetapi, ternyata yang ngumpul tidak hanya cowok-cowok, ada juga beberapa cewek, di antaranya Alexa, Kenny, Judy, dan beberapa yang tidak Gandi ketahui namanya. Gandi mulai menikmati kehidupannya sejak memilki motor baru pemberian Bang Awang.
            Ternyata kegiatan yang dilakukan Gandi dengan teman-teman barunya tidak hanya ngumpul-ngumpul di stadion. Mereka juga melakukan konvoi-konvoi di jalanan, dan balap-balapan liar. Sebulan berlalu dengan cepat bagi Gandi.
            Tapi, akhir-akhir ini Gandi mulai merasa resah dengan kegiatan yang terpaksa ia ikuti atas perintah Bang Awang. Mereka sering disuruh mengganggu pengguna jalan yang lain, bahkan sampai mencederai dan merampas beberapa barang miliknya. Beberapa kali mereka juga diperintahkan untuk menjarah minimarket dan warung-warung yang buka tengah malam. Kegiatan yang diperintahkan Bang Awang mulai anarkis. Sebenarnya Gandi ingin menolak melakukan itu, tapi ia merasa tidak enak terhadap Bang Awang yang telah memberinya motor secara gratis.
            “Malam ini kita akan menjarah minimarket, warung-warung, dan warnet yang berada di jalan Riau,” perintah Bang Awang. “Tunjukkan pada mereka bahwa genk motor kitalah yang paling hebat, ditakuti!” lanjutnya berapi-api.
            Semua anggota mengangguk-angguk termasuk Gandi. Meski ia tidak suka, Gandi terpaksa melakukan semuanya.
***
            Pagi itu pelajaran baru saja di mulai. Tapi, suara ketukan pintu membuat kegiatan belajar terhenti. Pak Ageng, Guru BP, masuk ke kelas dengan wajah tegang membuat murid-murid salin berpandangan.
            “Bagi namanya yang saya panggil, harap segera ke ruang BP,” kata Pak Ageng dengan suara baritonnya yang khas.
            Gandi yang sedang berbisik-bisik dengan Egi, teman sebangkunya, terkejut ketika namanya di panggil. Semua mata murid yang lain segera tertuju padanya dengan tatapan bertanya-tanya. Gandi sama bingungnya dan bertanya-tanya dalam hati. Mengapa ia dipanggil ke ruang BP?
            Di ruang BP ternyata sudah ada kepala sekolah, dan beberapa orang guru. Yang membuat Gandi terkejut adalah saat melihat Dion yang duduk di depan kepala sekolah dengan kepala tertunduk dan dikawal oleh dua orang pria berjaket kulit, seperti intel kepolisian. Gandi mulai merasakan sesuatu bakal terjadi pada dirinya.
            Kepala sekolah memerintahkan Gandi untuk duduk di sebelah Dion dengan wajah tegang. Lalu ia menatap anak didiknya itu satu persatu dengan rasa kecewa.
            “Bapak tidak menyangka anak didik di sekolah ini terlibat kekerasan genk motor. Bapak-bapak ini datang untuk membawa kalian ke kantor polisi untuk diintrogasi. Bapak tidak bisa mencegahnya karena salah satu anggota geng motor yang tertangkap dini hari tadi menyebutkan bahwa kalian berdua terlibat. Bapak benar-benar kecewa.”
            Gandi dan Dion makin tertunduk. Mereka tidak bisa berucap apa-apa. Bahkan saat pria-pria berjaket kulit itu menggiring mereka ke mobil patroli, mereka hanya bisa diam dengan kepala tertunduk.
            Siswa-siswi yang tadinya belajar berhamburan keluar kelas menyaksikan dua rekan mereka diringkus polisi. Suasana jadi riuh karena kasak-kusuk sana-sini. Guru-guru menatap kecewa dan tidak menyangka terhadap apa yang terjadi pada anak didiknya.
            Sebelum mobil patroli melaju, Gandi sempat menatap bangunan sekolahnya. Tiba-tiba ia terbayang wajah letih Ayah yang bersimbah keringat mencari uang untuk menyekolahkannya. Pelupuk mata Gandi mulai digenangi air mata, hingga akhirnya mengarus deras. Ia menyesal, tapi semua sudah terlambat dan tidak ada gunanya.
            Gandi telah menghancurkan masa depannya dan harapan yang Ayah titipkan padanya hanya demi sebuah motor. Ya, sebuah motor yang kini tidak ada artinya lagi bagi Gandi.





Monday 17 March 2014

Resensi Novel Rainys Days (Seri Bluestoberi Ice Cube) karya Fita Chakra


Hujan, Trauma, dan Cinta



Judul Buku      : Rainy’s Days
Penulis             : Fita Chakra
Penerbit           : Ice Cube Publisher
Tahun Terbit    : Cetakan pertama, Januari 2014
Tebal               : 227 halaman
ISBN               : 978-979-91-0652-0
Harga              : Rp. 39.000,00

            Pernahkah kau merasa hujan selalu hadir di saat tersedihmu? Itulah yang sering di alami Rainy. Gadis itu sangat membenci hujan karena selalu datang di saat ia sedih. Bahkan saat ia memutuskan berpisah dengan Ben, cowok yang mencintainya sekaligus menyakitinya, hujan pun tak lupa turun. Seolah ingin memperoloknya.
            “Bagiku, hujan dan sedih selalu berendengan. Kini dan nanti, aku tetap membenci hujan. Meski namaku sendiri pun berarti hujan.” (halaman 11).
            Rainy pindah kos dan kampus. Ia ingin lari dari Ben. Meski Rainy mencintai cowok itu, tapi ia tidak tahan lagi menjadi korban kekerasan Ben. Terlalu banyak trauma yang Ben tinggalkan padanya. Sehingga Rainy menjalani hari-harinya dengan rasa takut. Kenangan tentang Ben membuatnya mual dan sulit untuk makan. Rainy pun menjadi sosok yang antisosial. Ia tidak menginginkan seorang pun masuk dalam kehidupan, tidak teman, tidak juga pacar baru.
            Namun Kian, cowok yang tinggal di sebelah apartemen barunya itu selalu mengusiknya. Apalagi cowok itu selalu muncul pada waktu yang tidak tepat—saat Rainy dalam keadaan kacau. Semula Rainy selalu bersikap ketus terhadap cowok itu. Tapi, sikap Kian yang lembut dan meneduhkan—tidak seperti Ben yang selalu menyakitinya—membuat Rainy mencoba membuka dirii membuka diri. Hingga ia mulai jatuh cinta pada Kian. Tapi, Rainy berusaha menolak rasa itu karena masih ada trauma yang ditinggalkan Ben di hatinya.
            “Berjanjilah kamu akan mengatakan hal yang membuatmu sedih. Aku ingin melihatmu tersenyum.” (halaman 146). Tersenyum, itulah yang selalu Kian pinta pada Rainy. Rainy mulai menata kehidupannya untuk jadi lebih baik. Ia mulai bisa tertawa tersenyum, dan tidak membenci hujan lagi.
Namun tiba-tiba Ben muncul kembali. Memaksa Rainy untuk kembali padanya.Tentu saja Rainy menolaknya. Tapi, Ben terus memaksa. Bahkan cowok itu melakukan kekerasan pada Rainy. Kian yang melihatnya tidak bisa diam. Ia mencoba membantu Rainy untuk lepas dari Ben. Namun, Kian malah dikeroyok Ben dan teman-temannya hingga mengalami koma. Komanya Kian membuat Rainy sadar kenyataan bahwa Kian juga mencintainya. Sangat mencintainya.
            “Perasaanku campur aduk. Ini sungguh ironis. Di saat aku tahu Kian benar-benar mencintaiku, dia sedang tak sadarkan diri. Dan akulah penyebabnya. Aku menyesal mengabaikan hati kecilku karena terlalu takut jatuh cinta lagi.” (halaman 204)
            Novel setebal 227 halaman ini begitu memikat mata dengan covernya yang cantik—warna biru lembut dengan gambar seorang gadis memakai payung saat gerimis. Gaya bertutur penulis begitu lembut dan mengalir sehingga memudahkan pembaca untuk masuk ke dalam cerita. Penceritaan dengan sudut pandang orang pertama untuk dua tokoh utamanya, menjadi nilai lebih dari novel ini. Sayangnya, novel ini masih memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya, karakter tokohnya kurang kuat dan endingnya yang antiklimaks—konflik Rainy dan Ben saja tidak ada penyelesaiannya—membuat konflik yang dibangun menjadi sia-sia. Namun, novel ini tetap layak untuk dibaca karena penulis menitipkan beberapa pesan di dalamnya. Salah satunya, semua keadaan dan masalah selalu memiliki dua sisi yang berbeda, baik dan buruknya tergantung darimana kita melihatnya.”





                       
             

Resensi Novel Putih Dalam Cinta karya Mursal Fahrezi


Haruskah Cinta Memaafkan?



Judul Buku      : Putih Dalam Cinta
Penulis             : Mursal Fahrezi
Penerbit           : Elex Media Komputindo
Tahun Terbit    : Cetakan pertama, 2013
Tebal               : 150 Halaman
ISBN               : 978-602-02-2903-4
Harga              : Rp 29.000,-

Seorang suami pasti merasakan sakit hati yang besar ketika ditinggal pergi oleh Sang istri. Terlebih di saat ia berada di posisi terbawah dalam hidup dan harus membesarkan seorang anak sendirian. Peristiwa itulah yang menimpa Rey. Istrinya, Manisha meninggalkan dirinya dan Naira—buah hati mereka—begitu saja ketika perekonomian rumah tangga mereka dalam keadaan sulit.
            Empat tahun kemudian Manisha kembali dan mengatakan ia rindu dan menyesal telah meninggalkan Ray dan Naira. Manisha meminta kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Tentu saja tidak mudah bagi Ray untuk memaafkan dan menerima Manisha kembali. Tapi Ray tetap mengizinkan Manisha untuk tinggal agar wanita itu bisa melihat Naira. Bagaimanapun Manisha tetaplah ibu kandung Naira. (hal. 13)
            Kesempatan itu dimanfaatkan Manisha sebaik mungkin. Setiap pagi ia memasakan nasi goreng—hal yang selalu ia lakukan dulu saat baru menikah—untuk Ray dan membuatkan bekal untuk Naira. Semakin hari Manisha semakin dekat dengan Naira. Naira pun begitu, ia selalu ingin bersama Manisha. Naira bahkan lebih ingin pergi ke toko kue bersama Manisha daripada pergi liburan dengan Ray dan Risa—wanita yang setahun ini menjalin hubungan dengan Ray. (hal. 66)
Kembalinya Manisha tentu saja membuat Risa merasa posisinya terancam. Risa takut Manisha kembali untuk merebut Ray dan Naira darinya. Risa yang terlanjur mencintai Ray dan menyayangi Naira tentu saja tidak ingin kehilangan Ray dan Naira. Akhirnya Risa memaksa Ray untuk segera menceraikan Manisha agar mereka bisa menikah dan hidup bersama. (hal 105)
Ray mengabulkan permintaan Risa untuk menceraikan Manisha. Pada malam harinya, Ray yang ditemani Risa langsung meminta Manisha untuk menandatangani surat perceraian. Sebenarnya Manisha ingin menolak perceraian itu karena jauh di lubuk hatinya, Manisha masih sangat mencintai Ray. Tapi, ia tahu semua ini terjadi karena kesalahannya. Dengan tangan gemetar Manisha menandatangani surat cerai itu. Tetapi Manisha mengajukan sebuah permintaan pada Ray untuk mengizinkannya untuk tetap bersama Naira sementara waktu sebelum pergi untuk selamanya. (halaman 111)
  Putih Dalam Cinta adalah novel roman keluarga yang ditulis oleh Mursal. Pengkrakteran tokohnya cukup kuat. Dan, gaya bertutur penulis yang lembut membuat pembaca hanyut dalam ceritanya. Sayang, novel ini memiliki beberapa kelemahan, terutama di logika cerita. Seperti, golongan darah B negatif yang dimiliki Ray (Apakah Ray ada keturunan bule? Soalnya golongan darah B negatif tidak dimiliki oleh orang yang hidup dan lahir di negara tropis—Indonesia, salah satunya). Ketidakkonsistenan pemakaian panggilan ‘Eyang’ dan ‘Ibu’ untuk Wati—Ibu Ray—yang digunakan Risa dan Manisha. Selain itu ada kalimat yang bertele-tele di halaman 85 ini juga cukup mengganggu ‘yang menjalani pernikahan yang membuahkan seorang anak bernama Naira adalah mereka berdua, Ray dan Manisha. Tak sepatutnya dia turut campur meski memiliki hak untuk itu.’
Meski begitu novel ini cukup bagus sebagai teman untuk mengisi waktu santai anda. Karena penulis mencoba menitipkan beberapa pesan, salah satunya ‘Cinta selalu punya cara untuk memaafkan’.