Saturday 24 May 2014

Review Novel: Kisah Kelam Masa Lalu


Judul: Sebenarnya Tuhan Sangat Sayang
Penulis: Mitha Juniar
Penerbit: Rumah Oranye
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, 2013
Tebal: 211 Halaman
ISBN: 978-602-1588-03-1
Harga: Rp 37.500,-

Sinopsis:

Ada banyak cara Tuhan untuk mempertemukan dua insan. Dan untuk Thata dan Abrar Tuhan mempertemukan mereka di pesta ulang tahun Zahra--sahabat Thata dan teman SMA Abrar.

Setelah Abrar mengantarkan Thata pulang dari pesta Zahra, hubungan mereka menjadi dekat. Abrar yang tampan, membuat hati gadis berjilbab itu berdebar-debar.Tetapi, Abrar hanya menganggap Thata sebagai teman, sahabat. Tak lebih. Hal itu membuat Thata memendam perasaannya.

Pada pertemuan ketiga Thata dikejutkan oleh sebuah cerita masa lalu tentang Abrar yang keluar langsung dari mulut lelaki tampan tersebut. Cerita tentang masa kelam Abrar. Mulai tentang Abrar yang memakai obat-obatan terlarang hingga terjerumus ke jurang seks bebas. Thata tidak tahu mengapa Abrar menceritakan aib itu padanya. Thata yang juga punya masa lalu kelam mulai bersimpati terhadap lelaki itu. Dan, rasa cintanya pun ikut membesar.

Pada pertemuan selanjutnya Abrar mengajak Thata mampir ke rumahnya. Abrar ingin Thata berkenalan dengan orang tuanya. Ibu Abrar yang sedang sakit senang saat melihat Thata. Apalagi sikap Thata yang santun membuat Ibu Abrar menganggap gadis itu menantu idamannya. Thata tentu saja senang bukan kepalang mendengarnya. Tetapi, tidak dengan Abrar. Karena lelaki itu mencintai wanita lain--yang Thata juga tahu siapa wanita itu.

Sejak itu Thata tidak pernah lagi bertemu Abrar. Bahkan saat Thata mencoba menelponnya, panggilang otu tidak pernah diangkat. Sms pun tak kunjung mendapatkan balasan. Abrar menghilang tiba-tiba. Dan, saat Thata datang ke rumahnya, rumah itu kosong. Tak ada satu penghuni pun.

Hilangnya Abrar membuat hari-hari Thata tak menyenangkan. Thata pun menceritakan apa yang ada di hatinya pada Zahra. Zahra yang tahu siapa Abrar, menentang Thata untuk berhubungan dengan Abrar. Tapi, Thata yang terlanjur cinta, berusaha meyakinkan Zahra bahwa Abrar telah berubah. Dan, Thata juga meminta Zahra untuk membantunya mencari keberadaan Abrar. Zahra pun tak bisa berbuat apa-apa selain mengabulkan permintaan Thata.
Di saat keberadaan tentang Abrar mulai menemukan titik terang, sebuah kabar datang menghancurkan hati Thata.

Review:

Sebelum me-reviewnya, saya mau say thanks dulu sama Mitha yang sudah mengirimkan novel ini untuk saya sebagai hadiah dari me-review novalnya Love Ago. Semoga review yang saya tuliskan selanjutnya ini bisa mewakili rasa terima kasih saya.

Baiklah, seperti biasa saya akan me-reviewnya dari kekurangannya.

1. Saya ingin bertanya dulu sama Mitha. Siapa tokoh utama di novel ini? Thata atau Abrar? Soalnya, sampai saya menamatkan baca novel ini saya tidak menemukan siapa tokoh utamanya.

2. Setiap tokoh pasti mempunyai tujuannya dalam cerita. Misalnya Bella Swan di seri Twilight, mempunyai tujuan menjadi kekasih Edward. Nah, di novel ini saya tidak dapat melihat tujuannya. Dan, alasannya karena keluhan saya di nomor 1.

3. Seseorang butuh alasan yang kuat untuk berbagi rahasia dengan orang lain. Terlebih itu rahasia paling kelam. Tetapi, di novel ini aku tidak melihat alasan kuat yang akhirnya membuat Abrar menceritakan kehidupan kelamnya pada Thata. Apalagi Abrar menceritakan semuanya pada pertemuan ketiga meraka. Beda kalau Abrar tahu tentang kehidupan Thata masa lalu. Mungkin itu bisa jadi alasan kuatnya, mengingat Thata sekarang jadi gadis sholehah. Abrar bisa berharap Thata akan membantunya untuk berubah.

4. "Thata tak pernah mengerti kenapa laki-laki setampan Abrar justru terperangkap dalam lingkaran setan semacam ini." (halaman 143).
Jika dibaca tidak ada yang salah dengan kalimat di atas. Tapi, coba baca berulang-ulang, lalu resapi kalimatnya. Apakah ada sesuatu yang mengganjaln? Kalau aku yang baca, kalimat di atas sedikit aneh. Karena Thata tak pernah mengerti kenapa lelaki itu bisa terjerat lingkaran setan hanya karena Abrar tampan. Memangnya orang tampan mustahil bisa terjerat apa? Kalau Abrar lelaki sholeh dan taat agama, barulah seharusnya Thata tak pernah mengerti kenapa lelaki itu bisa terjerat lingkaran setan.

5. Ada beberapa kalimat yang sangat rancu. Salah satunya: "Hari sudah semakin sore, Thata masih setia menemani Bu Ahmad yang sedang duduk di kursi rodanya, sementara ia dan Abrar duduk di bale-bale tepat di bawah pohon ketapang." (halaman 159). Kata ia membuat saya bertanya-tanya, siapakah ia tersebut? Jika Thata tentu saja sangat aneh karena di saat waktu yang bersamaan (kata sementara menunjukkan kejadian terjadi pada waktu bersamaa) Thata sedang menemani Bu Ahmad.

6. Kesalahan teknis pada umumnya: typo. Pada novel ini saya menemukan lumayan banyak typo. *walaupun saya tidak menghitung berapa banyaknya* Dan, typo itu sedikit menggangu kenyamanan saya membaca novel ini.

Itulah 6 poin yang kurasa jadi kekurangan novel ini. Selanjutnya saya akan menyebutkan poin-poin yang kusukai.

1. Saya sangat suka covernya. Cantik, manis dan sedap dipandang.

2. Ini kisah nyata. Temanya pun tidak mainstream. Cerita tentang kehidupan liar seorang remaja membuat hati dan pikiran saya merenung. Senang karena saya mendapatkan sesuatu dari kisah ini.

3. Saya suka pesan tersirat dari kisah ini. Di mana saya menangkapnya seperti ini: Berbuat dosa itu sangat mudah dan bikin ketagihan. Jadi, jagalah diri dengan iman yang kuat untuk menghindari perbuatan dosa.

Nah, itulah 3 poin yang saya sukai dari novel Sebenarnya Tuhan Sangat Sayang ini. Dan, saya sangat merekomendasikan novel ini untuk menjadi perenungan bagi remaja *bahkan orang tua* agar terhindari dari perbuatan dosa yang merugikan banyak pihak--baik diri sendiri maupun orang lain. Terakhir, saya memberikan 2 bintang dari 5 bintang untuk novel ini.

Sekian review dari saya. Semoga review ini dapat menambah semangat Mitha untuk terus berkarya lebih banyak dan lebih baik lagi. Dan, tentu saja tidak kapok mengirimkan novel gratis untuk saya review. Hehehe .... ^^

 Pekanbaru, 24 Mei 2014

@KAgusta

Monday 12 May 2014

Tentang Menulis: Ide atau Gaya Bercerita?


"Kamu pilih mana, ide yang bagus atau gaya bercerita yang bagus?"

Jika diajukan pertanyaan seperti itu, pasti penulis manapun akan sulit untuk menjawabnya. Dan, seandainya bisa memilih tentu ingin memilih keduanya, bisa menuliskan ide yang bagus dengan gaya bercerita yang sama bagusnya pula. Tapi, tentu saja kombinasi itu teramat sulit--bahkan terasa mustahil--bukan?

Tapi, kali ini, jika pertanyaan itu diajukan padaku maka aku akan menjawab dengan tegas bahwa au akan memilih opsi yang kedua: Gaya bercerita yang bagus.

Mengapa?

Karena menurutku mencari ide yang bagus itu sulit. Apalagi ide bagus versiku itu adalah ide unik yang benar-benar fresh, baru. Tapi, apakah ada ide yang benar-benar baru?

Tentu saja tidak! Dan, editorku pun melalui akun twitternya mengatakan bahwa saat ini tidak ada cerita yang idenya benar-benar baru. Semua ide cerita adalah hasil daur ulang (modifikasi) dari ide-ide cerita lainnya. Dan, jika ada pembaca yang mengatakan bahwa tulisanmu idenya mirip novel ini atau film itu, maka jangan cemberut. Karena hal itu wajar.

Karena itu editorku selalu mengatakan bahwa ide cerita klise yang ditulis dengan gaya bercerita yang baik dan asyik akan jauh lebih bagus daripada cerita dengan ide unik tapi gaya berceritanya bikin kening mengkerut. Lagi pula, gaya bercerita yang lancar dan asyik akan lebih memikat pembaca untuk tetap bertahan membaca ceritamu sampai halaman terakhir. Dan, untuk ini aku setuju sekali.

Oleh karena itu, buat (calon) penulis janganlah kamu berhenti berkarya hanya karena tidak bisa membuat cerita dengan ide unik dan baru--ingat, tidak ada ide yang baru di dunia ini--dan malu karena hanya bisa menuliskan cerita yang idenya klise. Yang harus kamu ingat, ide klise pun bisa jadi menarik bila ditulis dengan gaya bercerita yang bagus dan asyik. Jadi, bila kamu benar-benar ingin pembaca menyukai ceritamu, maka sihirlah mereka dengan gaya bercerita yang menarik. Dan, untuk bisa menulis dengan gaya bercerita bagus dan menarik tentu saja butuh berlatih. Dan latihannya yaitu dengan terus menulis.

So, tunggu apalagi? Teruslah menulis agar cara berceritamu menjadi semakin baik dan menarik. ^^

Dan, di sini aku juga tengah belajar untuk menjadi pencerita yang baik, menarik, dan bagus. Meskipun itu dengan ide yang yang sungguh klise.


Pekanbaru, 11 Mei 2014, 08:33 WIB


**note ini terinspirasi dari cuap-cuap editorku di akun twitternya @asya_azalea**

Tuesday 6 May 2014

Cerpen: Pembeli Kenangan (Majalah Hai Edisi 17, 28 April - 4 Mei 2014)



            “Seandainya saja kenangan bisa diperjualbelikan.”
            Aku menatap gadis di hadapanku. Bisa kulihat mata bulatnya menerawang jauh. Aku bisa menangkap ada kesedihan di matanya. Ia menarik napas lalu tersenyum getir.
            Sore itu kami sedang berada di sebuah caffe langganan kami, menikmati secangkir teh hangat ditemani beberapa potong biskuit. Kebiasaan ini sudah sering kami lakukan sepulang sekolah sejak berpacaran. Sekedar melewati senja bersama dalam obrolan ringan untuk mempererat hubungan.
            “Memangnya mengapa kalau kenangan bisa diperjualbelikan?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari wajahnya yang sore ini terlihat murung. Bahkan sejak tadi tak ada kutemukan rona kemerahan di pipinya yang membuatku jatuh cinta padanya.
            Ia menoleh padaku sekejap lalu menunduk kepala. Telunjuknya yang lentik kini bermain-main di bibir cangkir. “Aku ingin membelinya, lalu memberikanya pada adikku” jawabnya sendu.
            Seandainya keadaan tidak semuram ini, mungkin aku sudah tertawa geli mendengar jawabannya barusan. Namun kali ini aku termenung. Ada satu pertanyaan yang menari-nari di benakku.
            “Memangnya ada apa dengan adikmu?”
            Aku memang belum mengenal apapun tentang keluarganya, bahkan adiknya. Kami baru saling mengenal empat bulan lalu dan  berpacaran dua bulan berikutnya. Hubungan kami masih seumur jagung. Selama ini pembicaraan kami hanya sebatas diriku atau dirinya, tanpa sedikitpun menyinggung perihal keluarga. Jadi, wajar saja kalau aku tidak tahu tentang adiknya.
            “Dia kehilangan ingatannya karena kecelakaan. Aku sedih melihatnya. Yang paling menyakitkan, dia tak lagi mau berbicara denganku. Makanya jika ada orang yang menjual kenangan, aku ingin membelinya dan aku memberikannya pada adikku. Aku ingin dia bisa mengingat dan mau berbicara lagi denganku.”
            Sebaris air mata tergelincir dari sudut matanya lalu jatuh ke dalam cangkir teh miliknya. Aku juga melihat bahunya berguncang.
“Ingin rasanya aku mencari orang yang telah membuat adikku kehilangan ingatan dan menjebloskannya ke penjara agar dia merasakan penderitaan yang keluarga kami rasakan.”
Ini pertama kalinya aku melihat ia menangis penuh emosi dan aku tidak tahu harus mengatakan apa agar ia berhenti menangis. Satu-satunya hal yang terpikirkan olehku hanyalah menggenggam tangannya.
            “Maaf aku malah merusak sore ini dengan tangisku,” bisiknya lirih.
            “Tidak apa-apa, Keyla. Aku tahu ini pasti berat bagimu.”
            “Makasih kamu sudah mau mengerti.” Ia mengusap air mata di pipinya.
            Aku mengangguk. Tiba-tiba ada suatu rencana menyelinap di benakku. “Kenangan memang tidak bisa dibeli, tapi bisa dibuat. Bagaimana kalau kita membuat kenangan untuk adikmu? Semoga saja itu bisa membuatnya lebih baik.”
            Ia menatapku lama, kemudian tersenyum—senyum yang di mataku begitu manis terlihat.
            Sore itu aku menyetujui ajakannya untuk berkenalan dengan adiknya. Kupikir tidak ada salahnya untuk memulai mengenal anggota keluarganya, terutama adiknya.
***
            Malam itu aku terbangun dengan tubuh basah oleh keringat. Beberapa saat kemudian pintu kamarku terbuka. Bunda masuk dengan raut cemas. “Ada apa, Ravi? Mengapa kamu berteriak-teriak?”
            Aku mengusap wajahku. Tanganku gemetaran. Aku masih ketakutan.
            “Aku mimpi kejadian itu lagi. Aku takut, Bunda,” kataku dengan suara bergetar.
            Bunda meraih tubuhku lalu memeluknya. Aku tahu sudah tidak sepantasnya cowok berumur tujuh belas tahun masih dipeluk bundanya, tapi kali ini aku sungguh menginginkan pelukan Bunda. Karena aku sedang membutuhkan sandaran dan perlindungan.
            Bunda mengelus punggungku lembut. “Itu hanya mimpi. Kejadian itu bukan salahmu. Jadi, kamu tidak perlu takut.”
            “Tapi aku yang menabrak anak itu, Bunda!”
            “Bukan. Anak itu yang berlari ke mobilmu. Anak itu yang menabrakkan dirinya. Jadi, itu bukan salahmu, Sayang.”
            “Tapi, Bun—”
            “Sekali lagi Bunda tegaskan itu bukan salah kamu. Jadi, kamu tidak perlu menyalahkan dirimu.”
            Aku mengangguk. Mungkin Bunda benar, kejadian kecelakaan itu bukan salahku. Tapi, mengapa hatiku tetap saja merasa takut?
***
            Sepulang sekolah, aku memacu Ninjaku melaju ke sekolah Keyla. Sesuai kesepakatan, hari ini aku akan main ke rumah Keyla dan berkenalan dengan adiknya. Saat aku sampai di sekolahnya, Keyla sudah menunggu di gerbang.
            “Kita langsung ke rumah?” tanyaku saat Keyla naik ke boncengan.
            “Kamu tidak keberatan, kan, kalau kita mampir dulu ke toko kue? Aku ingin membelikan brownies coklat kesukaan adikku.”
            Aku menggeleng. Sama sekali tidak keberatan. “Kalau begitu biar aku saja yang belikan.”
            Keyla tampak ingin menolak usulku itu, tapi aku segera memberikan alasan. “Anggap saja itu sebagai jalan bagiku untuk berkenalan dengan adikmu,” kataku yang akhirnya membuat Keyla menerimanya.
            Setengah jam kemudian kami sudah sampai di rumah Keyla. Gadis itu langsung turun lalu mengajakku masuk. Kedatangan kami di sambut oleh Ibunya. Ternyata Keyla sudah mengatakan pada ibunya kalau ada temannya yang akan datang dan ingin berkenalan dengan adiknya. Dengan ramah, ibu Kayla mempersilahkanku duduk sementara menunggu Keyla mengganti baju.
            “Diminum tehnya, Nak,” ucap Ibu Keyla.
            Aku tersenyum sungkan. “Iya, Tante.” Lalu kuraih cangkir the yang telah disajikan Ibu Keyla untukku.
            “Sudah lama berpacaran dengan Keyla?”
            Sebenarnya aku malu untuk membahas ini. Tapi, karena Ibu Keyla yang bertanya, aku pun menjawabnya. “Baru dua bulan, Tante. Maaf.”
            “Nak Ravi tidak perlu minta maaf. Tante maklum kok kalau kalian berpacaran. Tapi, Tante harap Nak Ravi bisa menjaga Keyla.”
            Aku mengangguk. Dadaku merasa lega karena Ibu Keyla mengizinkan aku berpacaran dengan anaknya. “Makasih, Tante. Aku akan ingat pesan Tante.”
            “Diminum lagi tehnya.”
            “Iya, Tante.”
            Aku meraih cangkir tehku. Saat aku hendak meminumnya.
“Ravi, ini adikku,” Itu suara Keyla.
Aku menoleh dan mataku berserobok dengan seraut wajah yang sangat kukenal. Cangkir di tanganku terlepas dan jatuh mengenai bajuku.
            “Ravi, kamu kenapa?” tanya Keyla bingung. Begitupun Ibu Keyla.
            Aku tak mampu menjawab pertanyaan Keyla. Karena saat itu mataku tertuju pada sosok di hadapanku. Sosok yang hanya menatap keributan ini dengan tatapan kosong.
            Dia adik Keyla?!
            Kenyataan yang baru saja kudapatkan membuat tubuhku gemetaran. Tiba-tiba aku merasa ketakutan. Aku masih menatap wajah itu. Wajah yang selalu hadir di mimpi burukku. Wajah yang beberapa minggu lalu kutinggalkan sekarat di jalanan. Aku tidak akan pernah melupakan wajah anak yang kutabrak.
            “Ravi, ada apa denganmu?” Keyla masih bertanya dengan wajah bingung.
            Aku tetap membisu. Benakku kini dipenuhi hal-hal buruk. Bagaimana kalau Keyla tahu? Ia pasti memutuskan hubungan kami. Ia pasti akan membenciku. Tiba-tiba ucapan Keyla saat di caffe ketika ia menangis terngingat di telingaku. Aku makin ketakutan.
            Aku ingin menjebloskannya ke penjara agar dia merasakan penderitaan yang keluarga kami rasakan….
            “Tidak! Aku tidak mau dipenjara!” teriakku histeris.
Aku pun segera kabur dari rumah Keyla. Melupakan keinginanku untuk membantu Keyla membangkitkan kenangan untuk adiknya.[]