Friday 19 February 2016

Fiksi: Gombalan Playboy Jujur



Sudah setengah jam lebih aku memperhatikan dan mengikuti gadis itu. Sekarang dia menuangkan keranjang belanjaannya di meja kasir. Sambil menunggu Mbak Kasir menghitung belanjaannya, gadis itu menoleh ke arahku. Sepertinya sadar kalau aku perhatikan. Tapi, untung saja saat itu aku sedang berada di depan rak makanan ringan, sehingga aku bisa berpura-pura sedang memilih-milih camilan.
            Setelah membayar belanjaannya gadis itu keluar dengan tergesa-gesa. Bahkan dia tidak mengambil uang kembalian. Aku pun kembali mengikutinya. Namun, tetap menjaga jarak agar gadis itu tidak tahu kalau aku mengikutinya.
            Gadis itu memasuki sebuah kafe. Dan, aku pun ikut masuk. Di dalam kafe tidak begitu ramai. Hanya ada tiga meja yang di tempati. Gadis itu langsung menuju meja di sudut, dekat jendela. Sementara aku memilih meja lain, tapi masih bisa berhadap-hadapan dengannya.

            Meskipun aku tidak haus, tetapi aku tetap memesan segelas fruit punch pada waiter. Harganya lumayan mahal untuk standar uang sakuku. Tapi biarlah. Tidak masalah aku harus mengorbankan uang sakuku. Asal rencanaku bisa berjalan lancar.
            Beberapa menit kemudian minumanku datang. Pesanan gadis itu juga sudah ada di mejanya. Sekarang saatnya. Aku mengangkat gelas minumku lalu membawanya ke meja gadis tersebut.
            “Aku harap kamu tidak merasa terganggu dengan keberadaanku,” kataku seraya menarik bangku di hadapan gadis tersebut.
Kulihat kening gadis itu mengeryit. Mungkin bingung dihampiri olehku.
“A-apa kamu mengenalku?” tanya terbata-bata seraya menyelipkan helai rambutnya di telinga.
Aku menggeleng lalu tersenyum. Bukan senyum mesum tentunya.
“Ta-tapi kamu dari tadi membuntutiku, kan? Apa kamu punya niat jahat padaku?” Gadis itu gelisah. Wajah manisnya juga mulai pucat.
Sekali lagi aku memberikannya senyuman. “Aku memang membuntutimu. Tapi, percayalah, aku tidak punya sedikitpun niat jahat.”
Gadis itu terlihat masih tidak percaya. Dia masih memandangiku takut-takut.
“Sejujurnya aku sengaja membuntutimu hanya ingin berkenalan denganmu. Jujur, aku tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak berkenalan denganmu. Apa itu salah?”
Gadis itu diam. Tapi aku tahu rasa takutnya mulai menguap. Kini dia tidak lagi menatapku takut-takut. Melainkan menatapku lekat-lekat.
“Ya tentu saja salah. Kau membuatku takut.”
Aku tersenyum dan menatapnya teduh. “Maaf kalau aku membuatmu takut. Sebenarnya aku tidak inginbertindak seperti itu. Tapi jujur, aku tidak tahu lagi bagaimana caranya mengajak kamu berkenalan. Cuma cara ini yang terpikirkan olehku. Percayalah, aku berkata jujur. Aku bukan orang jahat. Aku hanya cowok jujur, yang tidak bisa membohongi diri sendiri lagi untuk ingin mengenalmu lebih dekat.”
Gadis itu semakin menatapku lekat. Seolah menilaiku. Memastikan ucapanku benar.
“Aku berkata jujur. Aku jujur kalau ingin memuji kalau kamu manis sekali ...”
Gadis itu membekap mulutnya dengan tangannya. Terlihat kaget.
“Aku tahu kamu terkejut. Kamu pasti menganggap aku cowok gila. Cowok iseng. Tapi, jujur aku tidak bisa membohongi kata hatiku. Kuharap kamu bukan orang yang merasa heran dengan kejujuran. Kuharap lagi kamu adalah orang yang bisa menghargai kejujuran tersebut.”
Gadis itu tersenyum. Senyum pertama yang berhasil kudapatkan darinya.
“Namaku Ferdi. Sekarang boleh aku tahu siapa namamu?”
“Devi.”
“Namamu cantik sekali. Secantik orangnya.”
Hari itu dengan kejujuranku, aku berhasil berkenalan dengan gadis manis yang kubuntuti itu. Ternyata tidak hanya sampai di situ. Sebulan kemudian aku resmi berpacaran dengannya. Ah, tidak menyangka gombalan cowok jujurku mujarab sekali.
***
Gadis berseragam putih abu-abu itu duduk di dalam halte. Sendirian. Wajah cantiknya terlihat mengkilap karena keringat.
            Aku datang mendekat. Gadis itu menoleh saat aku duduk di sebelahnya.
            “Aku harap kamu tidak terganggu dengan keberadaanku,” kataku seraya melemparkan senyum terbaik yang kupunya.
            Gadis itu mengangguk pelan lalu kembali menatap ke jalanan.
            “Sejujurnya, aku sudah sejak tadi memperhatikanmu,” kataku lagi.
            Gadis itu mengangguk-angguk kecil. Tapi masih tetap tidak berkata-kata.
            “Sejujurnya pula, aku sudah sejak lama ingin duduk sedekat ini denganmu. Aku tidak menyangka hari ini keinginanku menjadi nyata.”
            Kini gadis itu menatapku lekat. Lalu dia berkata, “Kamu mau apa?”
            Aku kembali memberikannya senyum terbaikku dan menjawab, “Tenang saja, aku tidak ingin berbuat jahat atau iseng padamu. Aku cowok baik-baik. Kalau boleh jujur, aku hanya ingin berkelanan denganmu. Jujur, aku tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak berkenalan denganmu.”
            “Oh begitu.”
            “Mungkin kamu akan menganggap aku gila. Tapi, aku akan marah pada diriku sendiri kalau tidak berkata jujur padamu ... kalau kamu cantik sekali.”
Gadis itu mendengus. “Gila!”
“Jujur, aku memang sudah gila. Tergila-gila padamu.”
Kali ini gadis itu melotot padaku. Membuatnya terlihat semakin cantik. Dan aku masih setia memasang senyum.
“Kurasa aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama. Percayalah. Aku hanya ingin berkata jujur. Kuharap kamu bisa memahami kejujuran kata-kataku. Dan kuharap lagi bisa menghargainya.”
Gadis itu mengangguk-angguk. “Ya. Ya. Ya. Aku memahami kejujuranmu. Lalu?”
Aku berdiri di hadapannya lalu menyodorkan tangan. “Seperti yang kubilang tadi, aku hanya ingin mengenalmu.”
“Ooh!”
“Namaku Ferdi. Sekarang aku boleh tahu namamu?”
“Sisil.”
“Nama yang can—”
Gadis itu mengangkat tangannya lalu segera memotong ucapanku. “Aku tahu namaku cantik. Secantik aku. Iya kan?”
Aku mengangguk.
“Katamu tadi kamu berkata jujur kalau menyukaiku kan?”
“Iya.” Aku menjawab.
“Kalau begitu boleh aku bertanya sesuatu?”
Aku mengiyakan dengan senang hati.
“Kamu kenal Devi?”
Aku terkejut. Mulutku rasanya mau jatuh. Tergeragap aku bertanya, “Ka-kamu siapa?”
“Oh, aku juga ingin jujur padamu. Aku akan marah pada diriku sendiri kalau tidak mengatakan yang sebenarnya ... kalau aku ini sahabatnya Devi. Gadis yang kamu buntuti dan ajak kenalan sebulan lalu. Seminggu kemudian kamu pacari. Kamu masih ingat sama Devi, kan? Pasti masih ingat dong! Kan baru dua hari lalu kamu putusin dia begitu saja.”
Jantungku rasanya mau berhenti berdetak mendengar kata-kata Sisil. Jadi, gadis cantik yang tengah kugombali ini sahabatnya Devi? Astaga!
Tanpa buang-buang waktu lagi aku segera kabur dari hadapan Sisil. Ambil langkah seribu. Dan, tak pernah menoleh lagi.
Sial! Gombalan cowok jujurku kali ini kena batunya.

Kamar Hijau, 03 Januari 2015,
23.27 WIB

No comments:

Post a Comment