Sunday 23 December 2012

Short Story: Selalu di Hati



            



 Oleh Kamal Agusta


           Angin menelisik, menggerakkan puncak-puncak pohon dan rerantingan. Dedaunan yang timpang tindih saling bergesekan, menimbulkan gemerisik. Beberapa helai daun terlepas dari pegangan ranting. Gugur. Terbang sekejap dibawa angin, lalu jatuh menyentuh rerumputan yang basah. Bekas hujan siang tadi.
Aku merapatkan sweater dan mengencangkan lilitan syal di leherku. Duduk santai di salah satu bangku yang berada di sudut taman. Rambutku yang mulai panjang, berterbangan digerai angin.
“Bian … buruan lihat ini!” teriak seorang gadis kecil bertopi biru. Ia jongkok di bawah peneduh Akasia. Tangannya menggurat sesuatu di batang pohon.
Tak jauh, sesorang bocah lelaki bermantel bulu yang asyik mengamati sisa hujan membentuk kristal-kristal di atas rerumputan itu menoleh. Bocah itu bangun, lalu mendekat ke arah gadis kecil yang memanggilnya tadi. Wajah bocah itu memerah. Kedinginan.
“Baguskan, Bian?” Gadis kecil itu dengan riang menunjukan sesuatu yang dibuatnya di batang Akasia.
Bocah lelaki yang bernama Bian itu diam. Matanya menatap bergantian ke arah batang pohon dan gadis kecil tersebut. Lalu beralih kembali ke batang pohon.
“Kasihan pohonnya. Pasti dia kesakitan, Rasi. Lihat pohonnya berdarah.” Bian berucap lirih.
Kesakitan? Pohonnya berdarah?
Aku tertegun. Jantungku terasa berhenti berdetak. Darahku berdesir naik memenuhi kepala. Ucapan itu … bukankah itu ucapan yang pernah dikatakannya padaku? Di sini, sembilan tahun silam.
Parade kenangan itu mulai mengejarku. Merasuki pikiran. Mengiringku untuk melihatnya sekali lagi.
                                                                  ***           
Tangan kecilku memegang erat cutter. Menggurat sesuatu pada batang Akasia. Seulas senyum tercetak di bibir mungilku.
Angin menelisik, mengusap pipiku yang memerah karena kedinginan. Kuperhatiakn hasil guratanku yang telah selesai. Sempurna!
“Evan … buruan lihat ini!” teriakku sambil melambai pada bocah bermantel yang asyik bermain bola sendirian. Ia menoleh sejenak, lalu mendekat ke arahku.
Evan ikut jongkok di sebelahku, lalu menatap penuh tanya.
“Baguskan?” pamerku sambil menunjukan kreasiku. Aku tersenyum, memperlihatkan sederet gigi yang ompong dua di depannya.
Evan menatapku tanpa berkedip, lalu menoleh ke hasil guratanku. Menatapku lagi, menoleh pada guratan itu lagi. Begitu terus hingga beberapa kali.
“P-pohon sahabat E-Evan dan Kelsi?” eja Evan dengan kening berkerut. Aku tersenyum.
“Kasihan pohonnya disayat gitu. Pasti dia kesakitan. Lihat, berdarah kan?” ucap Evan sambil meringis. Mata kami bersipandang.
Aku menatap guratan pada batang pohon. Ada getah yang keluar dari bekas-bekas sayatan. Au ikut meringis sambil meremas ujung-ujung mantel buluku.
“Maafin Kelsi, Van.”
Evan menyeringai, menampakan giginya yang juga ompong. “Udah, nggak apa-apa. lain kali jangan diulangi lagi yah.” Jemari Evan mengusap puncak kepalaku. Aku mengangguk.
“Evan suka dengan apa yang Kelsi buat. Cantik. Terimakasih.”
Aku mendongak. Menatap wajah Evan yang lucu ketika menyeringai. Tatapannya terasa lembut. Di kedua pipinya menyembul lesung pipi. Wajahku  jadi makin bersemu.
“Main bola, yuk!” ajak Evan.
Aku mengangguk. Jemari Evan menarik lengan mungilku untuk ikut bersamanya.
***
“Evan jangan pergi. Kelsi nggak mau ditinggal sendiri,” rengekku sambil terus memeluk tubuh Evan.
Evan menyeringai. Melihatkan sederet giginya yang putih, tak ada lagi yang ompong seperti lima tahun silam. Evan mengusap lembut puncak kepalaku.
“Kalo Evan nggak pergi, terus Evan harus tinggal di mana? Ayah dan Bunda Evan kan harus pergi.” Evan berusaha membujukku. Tapi aku masih terus merengek.
“Di rumah Kelsi aja. Papa dan Mama pasti mau menerima Evan.”
“Tapi Evan kan harus sekolah di sana Kelsi. Apa Kelsi mau lihat Evan bodoh karena nggak sekolah?” Evan tersenyum.
Aku menggeleng. Aku nggak mau Evan jadi bodoh.
“Evan janji kan sering mengunjungi Kelsi ke sini. Lagipula jarak Singapura dengan Pekanbaru kan nggak terlalu jauh.”
“Evan janji?” Aku meminta kepastian.
Evan mengangguk mantap, lalu mengusap airmata yang masih basah di pipiku.
“Kelsi jelek kalo lagi cengeng” ejek Evan menghiburku. Aku tersenyum mendengar ejekannya.
Sore ini menjadi perpisahanku dengan Evan. Evan sekeluarga akan pindah ke negara tetangga karena kepindahan tugas Ayahnya.
Selamat jalan, Evan.
***
“Rasi minta maaf, Bian.” Gadis kecil itu menunduk seraya meremas ujung-ujung mantelnya.
Kulihat Bian mengangguk. “Besok jangan diulangi lagi, Rasi. Nanti pohonnya kesakitan. Janji?” Bian mengusap lembut kepala Rasi yang ditutupi topi. Rasi mengangguk.
“Bian juga mau berterimakasih. Rasi udah buatin ini untuk Bian. Ukiran Rasi cantik. Bian suka.” Bian tersenyum, sepasang lesung pipi menyembul di pipi chubby-nya yang bersemu merah.
Rasi mendongak. Tersenyum. Wajahnya ikut bersemu.
“Kita main petak umpet, yuk!” ajak Bian semangat.
Rasi mengangguk, lalu tangan kecil Bian menarik tangan mungil Rasi untuk ikut berdiri bersama. Dua bocah itu kulihat melenggang sambil berpegangan tangan. Senyum bahagia melekat di bibir mungil mereka.
Sepeninggalan mereka, aku beranjak dari tempat duduk memperhatikan mereka tadi. Kudekati pohon akasia, lalu jongkok tepat di posisi dua bocah tadi. Aku mengamati guratan yang dibuat oleh gadis kecil itu. Rasi sahabat sejati Bian. Guratan itu tepat dibuat di bawah guratan sembilan tahun lalu. Guratan yang kubuat dengan tangan kecilku. Guratan itu kini mulai tak jelas.
“Rasi sahabat sejati Bian? Siapa mereka?”
Aku menoleh. Ternyata lelaki yang kutunggu telah ikut jongkok di sebelahku. Memamerkan lesung pipinya yang selalu kusukai. Entah sejak kapan ia berada di sebelahku.
“Hanya sepasang bocah kecil seperti kita dulu.” ujarku seraya tersenyum dan bangkit dari posisi jngkok.
Lelaki itu ikut bangkit dan menyejajari langkahku. Ia adalah Evan. Wajah Evan bersinar. Lagi-lagi ia mengenakan kemeja putih. Oh iya, Evan selalu mengenakan baju itu sejak pesawat yang ia tumpangi untuk mengunjungiku mengalami kecelakaan. Kecelakaan itu harus merenggut nyawanya dari dunia. Tapi tidak bisa merenggutnya dari hatiku.
Aku mengandeng tangan Evan yang berkilauan.[]

2 comments:

  1. keren banget
    twist-nya sukaaa
    sampe merinding bacanya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Kak Nurul. :)
      blog Kakak tampilannya cantik.

      Delete