Oleh Kamal Agusta
“Vanila pancake?”
Pertanyaan itu menyentakkanku dari lamunan. Seorang pramusaji telah berdiri tak jauh dari mejaku. Tidak begitu banyak pengunjung yang duduk di bagian dalam café ini. Pertanyaan itu sudah pasti ditujukan padaku.
Aku belum pernah mampir ke cafe ini, meskipun jaraknya tidak jauh dari sekolahku. Dan kini, entah perasaan apa yang mengiring hati dan langkahku untuk singgah kemari sepulang sekolah. Mungkin saja ada sesuatu yang membawa pesan untukku. Entahlah.
“Vanilla puncake? Vanilla cupcake?” tawar pramusaji mulai tak sabaran. Akhirnya kuanggukan kepala untuk menerima tawarannya.
***
Pagi-pagi, sekotak pancake pesanan datang ke rumahku. Kubuka kotak tersebut. Di sana kutemukan secarik kartu ucapan yang terdapat bersama vanilla pancake. Vanilla pancake? Uh!
Semoga kali ini kamu mau mencobanya
Brian
“Apa maunya sih nih cowok!” omelku seraya mengambil ponsel yang terletak di meja.
Kubuka flat ponsel, bermaksud menelpon si pengirim pancake. Namun, baru saja aku mau menekan tombol ‘dial’, ia lebih dahulu menelponku.
“Sudah terima vanilla pancake-nya?” Suara Brian terdengar serak di ujung sana.
Aku mendesah. “Kenapa vanilla? Kamu kan tahu aku nggak suka rasa vanilla, Brian!” keluhku ketus.
Brian diam. Samar-samar terdengar tarikan napasnya. Terasa berat.
“Brian, dari dulu kamu sudah tahu aku nggak suka dengan rasa vanilla. Aku benci aroma vanilla yang membuatku pusing,” tolaku tegas..
“Oke kalau kamu tetap nggak mau. Kamu tahu kenapa aku memintamu untuk memakan vanilla pancake?”
Aku menggeleng. Meski Brian tak dapat melihatnya, kutahu pasti ia merasakan.
“Vanilla itu berwarna putih. Lambang keikhlasan. Aku ingin saat kamu memakan vanilla pancake kamu bisa merasa ikhlas. Karena aku ingin kamu membiarkanku pergi ke surga dengan ikhlas.”
Tuuut … tuuut … tuuut! Sambungan terputus.
“Halooo! Halooo! Halooo!” ucapku panik.
Jantungku berdegup keras tak beraturan. Apa maksud ini semua? Vanilla? Ikhlas? Brian? Surga?
***
Sepiring vanilla pancake telah tersaji di hadapanku. Aroma vanilla tercium kental di cuping hidungku. Memualkan.
Aku sangat benci aroma vanilla. Namun entah kenapa, tadi aku malah menyetujui ketika pramusaji menawarkan pancake rasa vanilla. Seolah ada kekuatan yang memaksaku untuk mencobanya. Apakah ini bentuk kerinduanku pada Brian?
Nanar, kupandangi vanilla pancake yang masih mengepulkan asap.
***
Tengah malam, ponselku berbunyi. Mendadak perasaan gelisah meliputi diriku. Buru-buru ketakan tombol ‘yes’ untuk mengangkatnya. Terdengar suara isakan di ujung sana. Makin lama isakan itu menjadi tangisan.
“R-Rasi ini Clara. B-Brian, Rasi. B-Brian ….” Clara; Kakak Brian menangis sesegukan.
“Ada apa dengan Brian, Kak Clara?” jantungku berdengup tak karuan.
“B-Brian kecelakaan. Ia sudah tidak ada. Brian m-meninggal dunia.”
Ponsel di genggaman terlepas. Mendadak dunia terasa gelap. Sebuah godam terasa memukul hatiku. Menghancurleburkan perasaanku.
Brian, inikah maksud ucapanmu tadi pagi? Sebuah ucapan perpisahan? Tapi kenapa Brian? Aku tak sanggup menahan tangis lagi.
Buru-buru aku keluar kamar. Membuka lemari es, lalu menatap nanar vanilla pancake terakhir Brian yang sama sekali tak tersentuh.
***
Dengan memaksa diri, Aku mulai menyuapi potongan vanilla pancake. Rasa vanilla yang manis dan gurih mendadak menyebar ke seluruh indra perasaku. Perutku terasa ingin menolaknya, namun kutahan sekuat tenaga. Aku harus mencobanya. Air mata mulai jatuh di sudut mataku. Aku kangen Brian. Bukankah ini keinginan terakhirnya?
Sedikit demi sedikit potongan vanilla pancake masuk ke mulutku. Semua perasaan itu lambat laun mulai mereda. Kekosongan itu kembali terisi. Sesak itu seakan lenyap. Ternyata Brian benar. Kunci kesakitan ini Cuma satu: Ikhlas.
Sekarang aku ikhlas, Brian. Semoga kamu bahagia di surga.[]
*NB: Naskah ini kukirim ke Gadis hampir 5 bulan lalu. Dan, ternyata tidak ada kabar bahwa terbit. Mungkin belum berjodoh. jadi, aku posting di sini saja.
No comments:
Post a Comment