Tuesday, 25 December 2012

Short Story: Kelopak Kerinduan



Oleh: Kamal Agusta


Aku menatap takjub kanvas langit. Bintang-bintang seperti bermandian gemawan, berkelip riang dalam lelap kesayupan. Seperti ribuan kunang-kunang yang bermain dalam gelapnya lembah berbunga.
Di atas rumah panggung yang berdinding kayu mahoni, aku duduk di atas kaki tangga. Menanti seorang lelaki tua yang kupanggil Abah.
Sesekali kupalingkan wajah ke jalan sempit menuju rumah. Masih sunyi diselimuti gelap. Tak ada tanda-tanda orang yang datang. Hanya angin malam serasa sehela-sehelaan menerpa padang ilalang dan tetumbuhan perdu di sisi jalan. Menciptakan desau yang ritmis dalam senyap malam.
"Ke mana Abah? Kenapa ia belum pulang juga?" bisikku mulai diliputi resah. Aku melirik jam usang yang tergantung ringkih di dinding kayu yang mulai lapuk. Jarum jam merangkak pelan ke angka sembilan. Sudah hampir larut malam. Tapi lelaki tua yang kutunggu itu tak jua menampakkan diri. Ke mana Abah? Tak biasanya ia seperti ini?
Di tengah gelisah yang mulai membuncah. Sayup-sayup terdengar bunyi getas dedaunan kering terinjak dan derak-derak rantai  berkarat yang dipaksa berputar. Di titik yang tercapai cahaya temaram lampu togok dari rumah, kulihat sosok yang kunanti. Abah dengan sepeda tuanya yang sesak oleh barang-barang usang.
Seraut cemas yang sejak tadi bergelayutan di rupaku raib seketika. Bergegas aku menuruni anak tangga. Membantu mengangkut barang temuan Abah ke kolong rumah.
"Kenapa lama pulangnya, Bah?" tanyaku seraya menumpukan kardus-kurdus usang terakhir di atas timbunan benda serupa.
Abah mengelap keringat di wajah keriputnya. Perlahan kaki-kaki tuanya menapak pada anak tangga.
"Tadi Abah singgah ke rumah Mak Cik Anis meminjam duit untukmu ke Batam," jawab Abah, merebahkan tubuh rentanya pada lantai papan.
Aku menghela napas. Kutatap Abah. Ada keletihan terurai jelas di wajahnya.
Abah adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki. Sejak aku mengenal dunia, hanya ada Abah di sisiku. Menghidupkanku dari barang-barang usang yang ia bawa pulang setiap senja. Abah selalu menjagaku dengan limpahan kasih sayang. Sementara Emak, aku tidak pernah tahu siapa Emak. Lantas tegakah aku meninggalkan Abah di masa senjanya? Aku gamang.
"Aku tidak jadi ke Batam. Aku tidak tega meninggalkan Abah di sini."
"Tidak perlu kamu pikirkan Abah. Kamu sudah dewasa. Sudah seharusnya kamu memulai hidup."
"Tapi, Bah...." Aku masih berusaha menolak.
"Abah ingin lihat kamu maju, Rosna. Pergilah Batam. Ubah hidup kamu di sana," terang Abah.
Aku terdiam. Abah benar. Di Cerenti ini lapangan pekerjaan susah. Apalagi untuk seorang gadis seusiaku. Teringat akan sahabatku; Tuti, yang kini jaya bekerja di Batam. Dari ia lah aku tahu tentang lapangan pekerjaan untuk seusiaku hingga akhirnya aku mengatakan hajat ini pada Abah. Tapi melihat Abah yang semakin tua membuatku goyah.
"Pergilah ...."
"Baiklah, Bah," putusku akhirnya.
Abah tersenyum menguatkanku. Meski kutahu ada keterpaksaan di bening mata rabunnya.
***
Aku tersentak dari lamunan. Keping-keping kenangan di malam terakhir bersama Abah kembali berputar di dalam rongga otakku. Kerinduan yang membuncah pada Abah kembali menyesak.
Sedang apa Abah sekarang? Bagaimana keadaannya? Sehatkah? Beribu pertanyaan menggerogoti lubang hatiku. Pertanyaan yang sampai saat ini tak mampu terucap dari bibirku.
"Ya Allah, kerinduan Hamba pada Abah sudah tak tertahankan. Tunjukkan jalanmu menggiring pulang rasa rindu ini," pintaku pada bait doa hampir di setiap sujud malamku.
Namun, meski empat tahun telah berselang. Kesempatan yang setiap waktu kuharapkan itu belum jua menjelang.
Kelopak-kelopak kerinduan makin melebar. Tumbuh subur disiram air suci dari muara mataku yang retak. Ah... Kapankah rindu ini mendapatkan persinggahannya. Aku terpaksa menelan pahit duri-duri penantian.
Bergegas aku merangkak ke atas dipan. Melepaskan penat yang mendera badan karena bekerja seharian. Mataku mulai terpejam. Dalam gelap, aku melihat siluet wajah Abah. Ia tersenyum hangat kepadaku. Mengalirkan kekuatan untuk bertahan menopang hati.
"Abah..., tunggu anakmu ini pulang, Bah."
***
Di hadapanku berdiri rumah panggung yang tak asing bagiku. Rumah panggung yang terdapat anak tangga di mukanya. Rumah panggung yang terbuat dari kayu mahoni.
Di depan rumah, terdapat jalan kecil. Jalan setapak yang dipenuhi kerikil-kerikil kecil. Di kedua sisinya dipenuhi padang ilalang dan tetumbuhan perdu.
Aku tahu. Ini rumah panggung tempatku dibesarkan Abah. Lalu di mana Abah?
"Abah...!" teriakku nyaring.
Pintu terbuka. Di sana Abah berdiri dalam baju batik yang kukirim di tahun awal aku merantau. Abah tersenyum seraya melambai ke arahku.
Kucoba melangkahkan kaki ke sosok yang menantiku di atas rumah panggung. Aneh! Kakiku tak mau bergerak. Ada puluhan akar-akar tetumbuhan perdu yang tiba-tiba melilit.
Aku memberontak berusaha melepaskan diri dari lilitan. Namun, akar-akar tetumbuhan perdu itu menjeratku semakin kuat. Aku terperangkap.
Tiba-tiba api berkobar. Melalap rumah panggung dengan ganas. Terdengar bunyi letupan kayu terpanggang disertai percikan bunga api. Aku mengerang menyaksikan Abah dijilati lidah api. Kulit keriputnya melepuh dengan darah yang mendidih membasahi. Aku mengerang. Memanggil-manggil nama Abah. Namun, suaraku tak mampu memadamkan si Merah yang semakin meraja. Aku terkulai dalam jerat akar tetumbuhan perdu.
***
Aku terjaga dari tidur dengan tubuh bermandikan keringat. Napasku tersengal-sengal karena sesak. Kulirik jendela. Secercah cahaya masuk dari lubang ventilasi. Dari luar terdengar cericit burung bernyanyi. Pagi ternyata telah menggawang.
Mimpi buruk tentang Abah itu kembali berputar dalam ingatanku. Tubuh Abah yang melepuh terpanggang, percikan bunga api, aku yang menangis histeris dalam jerat akar tetumbuhan perdu. Semua terasa nyata. Kuusap wajahku yang penuh bulir keringat. Meredakan gemuruh perasaan yang meledak.
"Tuhan, apa arti mimpi ini? Tolong lindungi Abah hamba."
***
Mimpi-mimpi buruk tentang Abah selalu mengisi tidurku. Hal inilah yang membawaku  berada di ruang tunggu di bandara Hang Nadim di kota Batam. Menunggu  panggilan petugas untuk menaiki pesawat yang akan membawaku ke tanah kelahiran. Bertahun-tahun jatuh-bangun dalam usaha meredam kerinduan yang menguras emosi, menunggu, penuh harap, serta memohon dalam ribuan bait doa sampai akhirnya pasrah dalam keikhlasan, akhirnya saat yang dinantikan itu tiba juga.
Senyum bahagia tercetak di bibir. Namun, seulas  cemas juga membayang di sana. Akankah pertemuan yang dinanti selama empat tahun ini akan memekarkan indah kelopak-kelopak kerinduan  itu?
Di hadapanku berdiri seorang pria menggendong seorang balita perempuan yang cantik. Seketika aku ditarik dan dihempas pada kenangan usang masa kecilku. Saat aku berusia enam tahun, Abah masih sering menggendongku. Meninabobokanku dalam rengkuhan hangatnya. Sebelum tidur Abah selalu menceritakan tentang kisah-kisah putri kerajaan. Ia baru akan berhenti kala aku terlelap dalam buaian malam.
Suara petugas terdengar dari pengeras suara. Ia  menginfokan bahwa pesawat dengan tujuan Pekanbaru akan take-off. Para penumpang diharapkan segera memasuki pesawat.
Aku segera bangun dari duduk lalu mengamit koper serta bawaanku yang lain. Dengan mantap aku menapakkan kaki  menuju pesawat yang akan membawaku pada Abah.
"Abah ... sebentar lagi kerinduan ini akan mengakhiri penantiannya."
***
Pesawat landing di Bandara Sulthan Syarif Qasim, Pekanbaru, sesuai jadwal. Setelah melalui pemeriksaan, aku bergegas mengambil koper dan bawaanku. Barang-barang telah ada di tanganku. Dengan cepat aku bergegas mencari taksi.
Bandara SSQ terlihat sesak dipenuhi orang yang berdatangan atau berpergian. Di antara pengunjung aku menemukan raut kebahagian. Namun, ada juga pengunjung yang menangis sambil berpelukan. Aku merasa wajar karena bandara adalah tempat orang bertemu dan berpisah.
Akhirnya aku mendapatkan taksi yang akan membawaku ke terminal tempat travel yang menuju rumah Abah. Lima jam lagi, kelopak-kelopak kerinduan itu akan bermekaran bahagia.
"Abah ... tinggal sebentar lagi."
***
Mobil travel membawaku meninggalkan kota Pekanbaru menuju desa kecil di Kabupaten Kuantan Singingi, Cerenti. Mobil melesat bergerak mendaki tanjakan. Melintasi perkebunan sawit yang senyap. Meninggalkan deretan perpohonan getah  yang cepat bergerak ke belakang. Di bangku tepat belakang sopir, aku tersenyum memandangi pemandangan yang sudah lama tak kulihat.
Sebuah rasa getar yang indah berderap kuat di hatiku. Perasaan rindu pada Abah yang membuncah. Semakin dekat jarak dan waktu untuk bertemu Abah, kelopak-kelopak kerinduan itu semakin bermekaran indah.  Bersemerbak tak terkendali. Semakin sedikit, Abah. Kelopak-kelopak kerinduan ini akan terkembang megah.
***
Senja menyapa Cerenti. Tampak layung seolah terbakar di langit barat. Jejak 'Mata Dewa' yang tertinggal.
Kini langkah kakiku telah memasuki jalan setapak yang kedua sisinya masih ditumbuhi illalang dan tetumbuhan perdu. Rumah panggung yang dihuni seseorang yang kurindukan telah ada di depan mataku.
"Abah ...!" panggilku sembari meniti anak tangga.
Senyap. Tak ada sahutan. Aku terus memanggil-manggil Abah. Namun tetap sama, rumah ini kosong.
"Sudah pulang kamu, Rosna?"
Aku menoleh, di bawah kulihat Pak Burhan; Tetanggaku.
"Sudah, Pak. Baru saja sampai."
"Kamu mencari, Abah?"
"Bapak tahu di mana Abah?" tanyaku senang.
Pak Burhan mengangguk. Namun, ada raut sedih di wajahnya.
"Kamu ikut aku," pinta Pak Burhan.
Aku mengikuti langkah Pak Burhan. Di dalam hati aku terus bertanya ke mana dia akan membawaku. Tapi, bukankah ini jalan menuju pemakaman? Ya Allah apa maksudnya ini?
"Abahmu di sini, Rosna." Pak Burhan menunjuk areal pemakaman.
"Maksud Bapak?" tanyaku tak mengerti.
"Abahmu ada di dalam."
Seketika pikiran buruk memenuhi diriku. Tak mungkin Abah meninggal.
"Kuatkan hatimu, Rosa."
Pak Burhan kembali membimbingku memasuki pemakaman. Air mata telah pecah dari bola mataku. Membentuk aliran sungai kecil.
Di atas kuburan yang terlihat masih baru aku melihat. Aku tertegun. Hanya tangisan yang pecah dari bibirku.
"Itu Abahmu." tunjuk Pak Burhan.
"Abah ...!" isakku.
Aku mendekat, lalu memeluk sosok yang duduk merenung di atas kuburan. Abah terlihat lusuh dan kurus, tak terawat. Apa yang terjadi denganmu, Bah?Abah menoleh kepadaku.
"Siapa kamu!" bentaknya garang.
"Aku Rosna, Bah. Anakmu."
"Anak? Anak? Hahaha ...."
Kelopak-kelopak rindu yang telah lama terpupuk dan siap untuk bermekaran, seketika melayu. Kelopak-kelopak rindu itu kering. Satu-persatu mulai berguguran dan jatuh pada lubang hatiku yang menghitam. Penantian akan mekarnya kelopak-kelopak rindu hanya sebatas harapan.
Aku mencoba mengemasi kembali kelopak-kelopak rindu yang berserakan. Namun, kelopak-kelopak rindu itu tak kan mampu disatukan dan mekar lagi. Napas kehidupan kelopak-kelopak rindu itu telah terenggut oleh ketidakberdayaan.
Aku tak mampu lagi menjawab. Hanya pelukanku yang semakin erat  pada tubuh Abah. Beliau tak lagi mengenaliku. Abah telah gila. Entah apa penyebabnya. Aku tak tahu.[]




NB: Cerpen ini terdapat dalam antologi When ... I Miss You

Rp. 30.000
 

No comments:

Post a Comment