Oleh Kamal Agusta
Angin menelisik, menggerakkan
puncak-puncak pohon dan rerantingan. Dedaunan yang timpang tindih saling
bergesekan, menimbulkan gemerisik. Beberapa helai daun terlepas dari pegangan
ranting. Gugur. Terbang sekejap dibawa angin, lalu jatuh menyentuh rerumputan
yang basah. Bekas hujan siang tadi.
Aku
merapatkan sweater dan mengencangkan
lilitan syal di leherku. Duduk santai di salah satu bangku yang berada di sudut
taman. Rambutku yang mulai panjang, berterbangan digerai angin.
“Bian
… buruan lihat ini!” teriak seorang gadis kecil bertopi biru. Ia jongkok di
bawah peneduh Akasia. Tangannya menggurat sesuatu di batang pohon.
Tak
jauh, sesorang bocah lelaki bermantel bulu yang asyik mengamati sisa hujan
membentuk kristal-kristal di atas rerumputan itu menoleh. Bocah itu bangun,
lalu mendekat ke arah gadis kecil yang memanggilnya tadi. Wajah bocah itu memerah.
Kedinginan.
“Baguskan,
Bian?” Gadis kecil itu dengan riang menunjukan sesuatu yang dibuatnya di batang
Akasia.
Bocah
lelaki yang bernama Bian itu diam. Matanya menatap bergantian ke arah batang
pohon dan gadis kecil tersebut. Lalu beralih kembali ke batang pohon.
“Kasihan
pohonnya. Pasti dia kesakitan, Rasi. Lihat pohonnya berdarah.” Bian berucap
lirih.
Kesakitan? Pohonnya berdarah?
Aku
tertegun. Jantungku terasa berhenti berdetak. Darahku berdesir naik memenuhi
kepala. Ucapan itu … bukankah itu ucapan yang pernah dikatakannya padaku? Di
sini, sembilan tahun silam.
Parade
kenangan itu mulai mengejarku. Merasuki pikiran. Mengiringku untuk melihatnya
sekali lagi.
***
Tangan
kecilku memegang erat cutter.
Menggurat sesuatu pada batang Akasia. Seulas senyum tercetak di bibir mungilku.
Angin
menelisik, mengusap pipiku yang memerah karena kedinginan. Kuperhatiakn hasil
guratanku yang telah selesai. Sempurna!
“Evan
… buruan lihat ini!” teriakku sambil melambai pada bocah bermantel yang asyik
bermain bola sendirian. Ia menoleh sejenak, lalu mendekat ke arahku.
Evan
ikut jongkok di sebelahku, lalu menatap penuh tanya.
“Baguskan?”
pamerku sambil menunjukan kreasiku. Aku tersenyum, memperlihatkan sederet gigi
yang ompong dua di depannya.
Evan
menatapku tanpa berkedip, lalu menoleh ke hasil guratanku. Menatapku lagi,
menoleh pada guratan itu lagi. Begitu terus hingga beberapa kali.
“P-pohon
sahabat E-Evan dan Kelsi?” eja Evan dengan kening berkerut. Aku tersenyum.
“Kasihan
pohonnya disayat gitu. Pasti dia kesakitan. Lihat, berdarah kan?” ucap Evan
sambil meringis. Mata kami bersipandang.
Aku
menatap guratan pada batang pohon. Ada getah yang keluar dari bekas-bekas
sayatan. Au ikut meringis sambil meremas ujung-ujung mantel buluku.
“Maafin
Kelsi, Van.”
Evan
menyeringai, menampakan giginya yang juga ompong. “Udah, nggak apa-apa. lain
kali jangan diulangi lagi yah.” Jemari Evan mengusap puncak kepalaku. Aku mengangguk.
“Evan
suka dengan apa yang Kelsi buat. Cantik. Terimakasih.”
Aku
mendongak. Menatap wajah Evan yang lucu ketika menyeringai. Tatapannya terasa
lembut. Di kedua pipinya menyembul lesung pipi. Wajahku jadi makin bersemu.
“Main
bola, yuk!” ajak Evan.
Aku
mengangguk. Jemari Evan menarik lengan mungilku untuk ikut bersamanya.
***
“Evan
jangan pergi. Kelsi nggak mau ditinggal sendiri,” rengekku sambil terus memeluk
tubuh Evan.
Evan
menyeringai. Melihatkan sederet giginya yang putih, tak ada lagi yang ompong
seperti lima tahun silam. Evan mengusap lembut puncak kepalaku.
“Kalo
Evan nggak pergi, terus Evan harus tinggal di mana? Ayah dan Bunda Evan kan
harus pergi.” Evan berusaha membujukku. Tapi aku masih terus merengek.
“Di
rumah Kelsi aja. Papa dan Mama pasti mau menerima Evan.”
“Tapi
Evan kan harus sekolah di sana Kelsi. Apa Kelsi mau lihat Evan bodoh karena
nggak sekolah?” Evan tersenyum.
Aku
menggeleng. Aku nggak mau Evan jadi bodoh.
“Evan
janji kan sering mengunjungi Kelsi ke sini. Lagipula jarak Singapura dengan
Pekanbaru kan nggak terlalu jauh.”
“Evan
janji?” Aku meminta kepastian.
Evan
mengangguk mantap, lalu mengusap airmata yang masih basah di pipiku.
“Kelsi
jelek kalo lagi cengeng” ejek Evan menghiburku. Aku tersenyum mendengar ejekannya.
Sore
ini menjadi perpisahanku dengan Evan. Evan sekeluarga akan pindah ke negara
tetangga karena kepindahan tugas Ayahnya.
Selamat
jalan, Evan.
***
“Rasi
minta maaf, Bian.” Gadis kecil itu menunduk seraya meremas ujung-ujung
mantelnya.
Kulihat
Bian mengangguk. “Besok jangan diulangi lagi, Rasi. Nanti pohonnya kesakitan.
Janji?” Bian mengusap lembut kepala Rasi yang ditutupi topi. Rasi mengangguk.
“Bian
juga mau berterimakasih. Rasi udah buatin ini untuk Bian. Ukiran Rasi cantik.
Bian suka.” Bian tersenyum, sepasang lesung pipi menyembul di pipi chubby-nya yang bersemu merah.
Rasi
mendongak. Tersenyum. Wajahnya ikut bersemu.
“Kita
main petak umpet, yuk!” ajak Bian semangat.
Rasi
mengangguk, lalu tangan kecil Bian menarik tangan mungil Rasi untuk ikut berdiri
bersama. Dua bocah itu kulihat melenggang sambil berpegangan tangan. Senyum
bahagia melekat di bibir mungil mereka.
Sepeninggalan
mereka, aku beranjak dari tempat duduk memperhatikan mereka tadi. Kudekati
pohon akasia, lalu jongkok tepat di posisi dua bocah tadi. Aku mengamati
guratan yang dibuat oleh gadis kecil itu. Rasi sahabat sejati Bian. Guratan itu
tepat dibuat di bawah guratan sembilan tahun lalu. Guratan yang kubuat dengan
tangan kecilku. Guratan itu kini mulai tak jelas.
“Rasi
sahabat sejati Bian? Siapa mereka?”
Aku
menoleh. Ternyata lelaki yang kutunggu telah ikut jongkok di sebelahku.
Memamerkan lesung pipinya yang selalu kusukai. Entah sejak kapan ia berada di
sebelahku.
“Hanya
sepasang bocah kecil seperti kita dulu.” ujarku seraya tersenyum dan bangkit
dari posisi jngkok.
Lelaki
itu ikut bangkit dan menyejajari langkahku. Ia adalah Evan. Wajah Evan
bersinar. Lagi-lagi ia mengenakan kemeja putih. Oh iya, Evan selalu mengenakan
baju itu sejak pesawat yang ia tumpangi untuk mengunjungiku mengalami
kecelakaan. Kecelakaan itu harus merenggut nyawanya dari dunia. Tapi tidak bisa
merenggutnya dari hatiku.
Aku
mengandeng tangan Evan yang berkilauan.[]
keren banget
ReplyDeletetwist-nya sukaaa
sampe merinding bacanya
Terima kasih, Kak Nurul. :)
Deleteblog Kakak tampilannya cantik.