|
Sore Valentine di Waroeng Coffe
Oleh Kamal Agusta
14 Februari 2011
Aku
duduk sendiri di Waroeng Coffe,
menikmati sore valentine. Jemariku
mengetuk-ngetuk meja, menunggu kedatangan pramusaji. Sesekali mataku melirik
beberapa pasangan kekasih yang juga menikmati sore valentine
"Mau
pesan apa, Mas?" tanya Pramusaji ramah seraya tersenyum hangat.
"Hot chocolate dan French fries. Masing-masing dua, Mbak," ucapku menyebutkan
pesanan. Pramusaji yang kutaksir umurnya seusia denganku itu mencatat pesananku
di note yang dia bawa.
"Ada
lagi, Mas?"
"Itu
dulu, Mbak. Nanti kalau ada perlu akan aku panggil lagi."
Pramusaji
mengangguk, lalu memintaku untuk sabar menunggu datangnya pesanan. Aku
tersenyum.
Aku
memalingkan pandangan ke arah jendela kaca besar yang menjadi dinding caffe ini. Di dinding tembus pandang itu
terdapat gelur-gelur bening hasil percikan hujan. Gelur-gelur tersebut seperti
butiran-butiran kristal.
Dari
balik jendela, kulihat awan kelabu bergalantungan di kaki langit. Angin
bertiup, menggoyangkan ranting-ranting peneduh rimbun. Beberapa daun terlepas,
terbang dibawa angin sekejap sebelum akhirnya jatuh mengecap tanah yang basah. Membiarkan hujan menghujamnya
dengan ribuan jarum cairnya.
Pandanganku
kembali beralih ke meja ketika pramusaji itu telah datang membawakan pesananku.
Dengan cekatan, pesananku telah berpindah dari nampan ke atas meja. Kepulan uap
hangat menyembul dari dua cangkir hot
Chocolate.
"Selamat
menikmati," ucap Pramusaji tak lupa dengan senyuman ramah. Aku mengangguk,
membalas senyumannya. Pramusaji itu beranjak untuk kembali melayani pengunjung
yang lain.
Aku
meraih cangkir hot chocolate,
mengembus pelan lalu menyeruputnya. Rasa hangat mengalir bersama rasa manis
chocolate di kerongkonganku.
Mataku
kembali melirik pasangan di sebelahku. Otakku tiba-tiba melayang kepada
seseorang. Seseorang yang biasanya menemaniku di sini. Sedang apakah dia sekarang? bisikku dalam hati. Tanpa dapat
dicegah, bayang-bayang masa lalu menyergap dan membawaku ke masanya.
***
14 Februari 2010
Aku
duduk sendiri di kursi dekat jendela besar Waroeng Coffe, menunggu kedatangan
seseorang. Jemariku mengetuk-ngetuk meja, sementara ekor mataku sesekali
melirik pintu masuk.
Dari
balik jendela, kulihat rona kelam membungkus langit. Ribuan jarum-jarum cair
jatuh menusuk bumi. Bunyi rintikannya berkecipak menjamah dedaunan di ranting
peneduh. Jendela besar itu kabur, bergelur-gelur terkena percikan hujan.
Pintu
masuk terkuak, aku mengalihkan pandangan dari jendela ke pintu masuk. Seorang
gadis cantik menyembul dari balik pintu. Tubuh rampingnya dibalut cardigan biru langit, rambutnya tergerai
terlihat sedikit basah. Gadis itu Chika, Kekasih yang kutunggu.
Chika
melangkah anggun menujuku. Bibir penuhnya menyunggingkan seulas senyuman,
memberi rona merah di pipinya yang putih.
"Sorry, Beb, aku telat," ucap Chika sembari duduk di hadapanku.
Aku mengangguk sambil menyodorkan hot chocolate, kesukaannya, yang tadi
terlebih dahulu kupesan. Dia tersenyum menerima hot chocolate yang masih mengepulkan uap. Chika meniupnya sekejap
sebelum menyeruput hot chocholate.
"Happy
Valentine," seru Chika ceria seperti biasanya. Aku menyukai keceriaan itu.
"Happy
valentine too, Beb," jawabku ikut tertawa.
Selanjutnya
kami larut dalam pusaran gelombang
cinta. Tersenyum, sesekali tertawa, dan saling menggenggam tangan.
Membiarkan perasaan kami berbicara apa adanya. Semua terasa begitu indah.
Berharap waktu berhenti merangkak maju dan membirkan keadaan begini selamanya.
"Beb, aku mau ngomong sesuatu yang
penting," raut wajah Chika tiba-tiba berubah serius. Aku mengeryit melihat
perubahan itu.
"Ngomong
apa?" tanyaku panik.
"Bulan
depan Papa akan pindah tugas ke Kuala lumpur."
"Kuala
lumpur? Lalu?"
"Papa
mengatakan kalau kami sekeluarga akan pindah ke sana. Sekolahku juga akan ikut
pindah," kristal bening mulai menganak di pelupuk mata bulatnya. Aku
tertegun mendengarnya.
"Lalu
bagaimana dengan kita? Hubungan cinta kita?" tanyaku pilu menatap
wajahnya.
Chika
bangkit dari tempat duduknya, lalu berdiri di jendela besar. Menatap keadaan
luar dari kaca yang kabur.
"Aku
sudah berusaha meminta sama Papa untuk tetap tinggal. Tapi Papa menolaknya. Aku
bingung harus bagaimana lagi," ucap
Chika terisak. Bahunya bergetar.
Aku
turut bangkit dari dudukku, lalu berdiri di samping Chika. Jemariku meraih
jemarinya. Menggenggam tangan itu dengan erat.
"Aku
akan tetap mencintaimu di sini," kataku berusaha menenangkannya. Chika
menoleh ke arahku. Menatap ke dalam mataku dengan raut tidak mengerti.
"Maksud
kamu, Beb?"
"Jarak
tak akan membunuh cinta kita. Selama kita saling percaya dan menjaga cinta ini,
cinta di antara kita akan tetap utuh. Aku akan menunggumu di sini, selalu. jika
ada waktu aku yang mengunjungimu di sana," jawabku mantap.
"Jadi
kita LDR?" Chika mencari kepastiaan. Ada rasa haru terdengar dari
suaranya.
"Yah,
tidak ada jalan lain. Aku percaya kamu akan selalu menjaga hati dan
cintaku."
"Aku
pasti menjaganya, Karena aku mencintaimu," ucap Chika tersenyum.
Aku
membalas senyumnya. Kurasakan genggaman Chika mengerat. Genggaman itu hangat.
Kami kembali menatap hujan yang masih turun dari balik jendela besar.
Sebuah
keputusan hubangan cinta ini telah kami ambil.
***
14 Februari 2011
Aku
tersentak ketika mendengar suara bising. Kepalaku melongok ke belakang,
sepasang kekasih terdengar sedang berdebat hebat. Entah apa yang mereka
debatkan aku tidak tahu. Sudahlah, itu masalah mereka.
Kembali
ku raih cangkir hot chocolate,
menyeduhnya. Aroma hot chocolate membuatku terasa dekat dengan Chika. Sangat dekat
sekali.
Lantunan
lagu I Will Love You yang dinyanyikan
Whitney Houston mengalun lembut berpadu dengan gemericik air hujan yang
terdengar dari luar. Perpaduan itu memberikan kesan tenang, damai, dan romantis.
Nuansa yang cocok pada sore valentine.
Ah... aku merasa sepi tanpa Chika.
Chika, kamu sedang apa di sana? Aku
merindukanmu bisikku dalam hati.
Ponselku
berdering. Kulihat, ada sebuah pesan yang masuk. Apa mungkin ini pesan dari
Chika?
Happy Valentine, Beb. Aku kangen
kamu.
I Will Love you forever. J
Aku
tersenyum membaca pesan dari Chika. Baru saja aku memikirkannya, dia telah
hadir lewat pesannya.
Ternyata
ikatan cinta sejati antara dua kekasih itu begitu kuat. Jarak pun tak akan bisa
menjadi penghalang untuk memisahkannya. Sekarang aku yakin, cinta itu tidak
harus selalu berdekatan, cinta itu tidak harus selalu bersama, cinta itu tidak
selalu harus bertemu. Cinta pun bisa terjalin, meski terpisah jarak. Selama
cinta itu didasari kepercayaan. Percaya
untuk saling menjaga perasaan satu sama lainnya. Cinta itu pasti akan selalu
terjaga. LDR ternyata indah karena hati selalu saling merindukan.
Aku
segera membalas pesan Chika, tetapi sebelum sempat terkirim, ponselku kembali
berdering. Layar ponselku berkedip menampilkan nama ‘My Lovely’. Senyumku
semakin mengembang. Perasaanku menghangat membaca nama itu. Perasaan rindu itu
mulai memainkan fungsinya.
Klik,
telepon ku angkat.
“Halo,
Beb. Baru aja memikirkanmu. Aku kangen kamu juga.” []
Pekanbaru,
15 Januari 2012
NB: Ini adalah kisah yang kutulis di dalam buku Long Distance Hearts
No comments:
Post a Comment