Friday, 21 December 2012

Short Story: Hujan: Kenangan Bersama Mak



Oleh: Kamal Agusta



Langit menggelap. Titik-titik air mulai berjatuhan dari langit. Membasahi bumi.
            Hujan.
            Aku memandang hujan dari balik dinding kaca yang mengabur. Beberapa titik air jatuh membasahi kaca. Membentuk gelur-gelur sebening kristal.
            Ada banyak kisah yang terjadi ketika hujan.
            Ada jutaan kenangan yang tercipta di kala hujan.
            Aku menikmati desau hujan yang jatuh di atas atap halte. Bergemuruh. Membentuk suara ritmis yang syahdu.
            Za, jangan main hujan! Nanti kamu demam, Sayang.
            Selalu kuingat suara Mak yang memanggilku ketika hujan datang. Aku rindu suara itu. Aku rindu suasana itu. Aku rindu Mak.
            "Kenapa harus ada hujan, Mak?" tanyaku kala itu, duduk di jendela sambil menikmati hujan bersama Mak.
            Mak tersenyum dengan tatapan teduh. Menyejukkan hatiku.
            "Hujan itu anugrah. Rahmat yang diberikan Tuhan untuk kita. Jika tidak ada hujan, bumi ini akan kering. Za, Mak, Bapak, dan semuanya akan mati karena tidak bisa minum. Hujan itu tanda cinta Tuhan untuk manusia," terang Mak sambil mengusap kepalaku.
            Aku mengangguk sok paham. Padahal apa itu anugrah dan rahmat saja aku belum tahu. Kembali kualihkan pandangan pada hujan yang berjatuhan di luar.
            Beberapa tahun kemudian barulah aku mengerti apa itu anugrah dan rahmat. Dan, tahukah engkau, Mak? Bagiku kau adalah hujan. Kau adalah sebenar-benarnya anugrah dan rahmat yang Tuhan berikan padaku. Tanda cinta-Nya terhadapku. 
            "Mak suka hujan?" lagi-lagi aku bertanya ketika mendapati Mak duduk takzim memandangi hujan pada hari yang berbeda.
            Mak mengangguk seraya tersenyum. Senyuman yang selalu membuatku  merasa nyaman. Dengan senyum itu aku merasa semua akan baik-baik saja.
            "Kenapa, Mak?" tanyaku penasaran.
            "Karena tiap tetes hujan adalah kerinduan. Rindu yang berjatuhan untuk membasahi hati yang disetubuhi gersang dan dicengkram Gelisah."
            Lagi-lagi aku mengangguk. Sok paham. Padahal pada usia itu, aku tak sedikit pun mengerti apa yang dikatakan Mak. Apa itu Rindu? Gersang? Gelisah? Entahlah!
            Hingga beberapa tahun kemudian, barulah aku sungguh-sungguh mengerti apa yang dikatakan Mak waktu itu. Alasan kenapa Mak menyukai hujan. Semua terjawab jelas melalui surat-surat yang kutemukan tanpa sengaja di kotak perhiasan Mak. Hujan, takdir Tuhan yang mempertemukan Mak dan Bapak, hingga akhirnya saling jatuh cinta.
            Sekarang, jika ditanya apakah aku menyukai hujan? Tanpa sedikitpun ragu, aku akan mengatakan "Aku sangat menyukai hujan!". Alasannya sama sepertimu, Mak. Setiap tetes hujan adalah kerinduan. Yah, kerinduanku pada dirimu dan kebersamaan kita, Mak.
            Kuusap mataku yang ternyata ikut hujan. Dipenuhi air mata.
            "Mak bilang juga apa, Za, jangan main hujan! Jadi demam kan?" Mak menasihatiku sambil mengompres kepalaku yang panas.
            Malam itu aku jatuh demam karena main hujan. Kata Mak suhu tubuhku terasa panas. Tapi, kenapa aku malah terasa dingin? Menggigil?
            "Za kan mau dapatin banyak rahmat dari Tuhan, Mak. Bukankah hujan itu rahmat?" tanyaku dengan suara lemah.
            Mak tersenyum mendengar alasanku. Senyum yang membuatku hangat.
            "Kalau kita terlalu rakus, rahmat itu bisa jadi penyakit, Za. Sesuatu yang berlebih selalu tak baik. Jadi, milikilah sesuatu seadanya. Secukupnya. Agar tak menjadi bencana."
            Aku mengangguk lemah. Sesekali mengusap hidungku yang mengeluarkan cairan.
Ketika itu, aku tak mengerti apa yang kau maksud, Mak. Mengapa sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Namun, sejak beriringnya waktu, sejak kedewasaan menyapaku, pengertian itu akhirnya datang dengan sendirinya. Lagi-lagi aku setuju denganmu, Mak. Jika kita ingin memiliki sesuatu secara berlebihan, sesuatu itu tak lagi menjadi anugrah bagi kita. Melainkan bertansformasi menjadi bencana. Mak, sekarang aku benar-benar paham yang kau katakan waktu itu. Aku mengerti.
            Ait mata semakin deras berguguran dari mataku. Sederas hujan yang menghujami bumi. Tak jua berhenti.
            Ada banyak kisah yang terjadi ketika hujan.
            Ada jutaan kenangan yang tercipta di kala hujan.
            Dari sekian banyak kisah dan kenangan tentang kebersamaan kita di saat hujan, inilah yang tak pernah bisa kulupakan, Mak. Kenangan di saat aku melihatmu tersedu sedan memandangi selembar gambar Bapak di tangan. Saat itu hujan kembali menyapa kita, Mak. Tapi, mengapa kau tak tersenyum?
            "Mak menangis?" tanyaku mengusap air mata di pipi Mak.
            Mak memelukku, lalu mengecup puncak kepalaku. Kecupan itu selalu membuatku merasa hidup dan berharga.
            "Mak menangis karena hujan?" Entah dari mana pertanyaan itu datang padaku. Aku pun tak pernah tahu.
            Kudengar Mak semakin tergugu. Air mata semakin deras berjatuhan dari bening matanya.
            "Hujan itu terkadang bisa menjadi badai, Za. Sesekali menghancurleburkan. Membuat remuk semua yang ada."
            Masa itu, aku tak lagi mengangguk. Aku benar-benar tak mengerti. Sungguh! Aku tak tahu apa yang dikatakan Mak. Hingga akhirnya aku malah ikut menangis di pelukan Mak. Tersedu sedan diiringin suara hujan.
            Namun, seiring waktu melaju, akhirnya pemahaman perkataanmu datang padaku, Mak. Apa yang kau maksud dengan badai yang menghancurleburkan itu, akhirnya kutemukan jawabannya. Saat itu hujan turun, dan aku menangis, Mak. Aku menangis melihatmu didandani sangat cantik dengan busana putih. Tangisanku terus berlanjut hingga jasadmu dipeluk mesra oleh bumi. Kau telah berpulang. Pada hujan kala itu lah aku mengerti semuanya, Mak. Tentang segala rasa sakit, hati yang remuk. Kau sekali lagi benar, Mak. Hujan kala itu tak lagi membuatku tersenyum. Hujan kala itu adalah badai bagiku. Menghancurleburkan hidupku. Meremukkan hatiku.
            Aku semakin terisak. Kisah dan kenangan tentang kebersamaan dengan Mak ketika hujan membuatku sesak. Sakit. Aku merindukanmu, Mak. Sungguh merindukanmu.
            Kuusap lagi airmata di pipiku yang mengalir sederas hujan kali ini.
            Sebuah tangan menyodorkan selembar tisu padaku. Aku menoleh, dan mendapati seorang pria berkacamata -tubuhnya basah kuyup, tersenyum padaku. Entah mengapa, senyuman pria berkacamata itu terlihat sama seperti senyumanmu, Mak. Senyuman yang membuatku nyaman. Senyuman yang menghangatkanku.  Membuatku merasa semuanya akan baik-baik saja.
            "Air mata membuat kecantikanmu pudar. Hapus lalu tersenyumlah," ucapnya sambil duduk di sebelahku.
            Lihatlah, Mak, hujan kembali membawa kisah baru padaku. Hujan ingin mengajakku menciptakan kenangan lagi untuk frame hidupku.
            Tapi, Mak, apakah kisahku kali ini akan sama dengan kisah Mak waktu dulu? []





*NB: Cerpen ini terispirasi saat melihat rintik hujan dari balik jendela kamarku. Segelas coklat hangat menjadi teman terhebatku dalam menuliskannya.

2 comments: