Oleh: Kamal Agusta
Langit
menggelap. Titik-titik air mulai berjatuhan dari langit. Membasahi bumi.
Hujan.
Aku memandang hujan dari balik
dinding kaca yang mengabur. Beberapa titik air jatuh membasahi kaca. Membentuk
gelur-gelur sebening kristal.
Ada banyak kisah yang terjadi ketika
hujan.
Ada jutaan kenangan yang tercipta di
kala hujan.
Aku menikmati desau hujan yang jatuh
di atas atap halte. Bergemuruh.
Membentuk suara ritmis yang syahdu.
Za,
jangan main hujan! Nanti kamu demam, Sayang.
Selalu kuingat suara Mak yang
memanggilku ketika hujan datang. Aku rindu suara itu. Aku rindu suasana itu.
Aku rindu Mak.
"Kenapa
harus ada hujan, Mak?" tanyaku kala itu, duduk di jendela sambil
menikmati hujan bersama Mak.
Mak tersenyum dengan tatapan teduh.
Menyejukkan hatiku.
"Hujan
itu anugrah. Rahmat yang diberikan Tuhan untuk kita. Jika tidak ada hujan, bumi
ini akan kering. Za, Mak, Bapak, dan semuanya akan mati karena tidak bisa
minum. Hujan itu tanda cinta Tuhan untuk manusia," terang Mak sambil
mengusap kepalaku.
Aku mengangguk sok paham. Padahal
apa itu anugrah dan rahmat saja aku belum tahu. Kembali kualihkan pandangan
pada hujan yang berjatuhan di luar.
Beberapa tahun kemudian barulah aku
mengerti apa itu anugrah dan rahmat. Dan, tahukah engkau, Mak? Bagiku kau
adalah hujan. Kau adalah sebenar-benarnya anugrah dan rahmat yang Tuhan berikan
padaku. Tanda cinta-Nya terhadapku.
"Mak
suka hujan?" lagi-lagi aku bertanya ketika mendapati Mak duduk takzim
memandangi hujan pada hari yang berbeda.
Mak mengangguk seraya tersenyum.
Senyuman yang selalu membuatku merasa
nyaman. Dengan senyum itu aku merasa semua akan baik-baik saja.
"Kenapa,
Mak?" tanyaku penasaran.
"Karena
tiap tetes hujan adalah kerinduan. Rindu yang berjatuhan untuk membasahi hati
yang disetubuhi gersang dan dicengkram Gelisah."
Lagi-lagi aku mengangguk. Sok paham.
Padahal pada usia itu, aku tak sedikit pun mengerti apa yang dikatakan Mak. Apa
itu Rindu? Gersang? Gelisah? Entahlah!
Hingga beberapa tahun kemudian,
barulah aku sungguh-sungguh mengerti apa yang dikatakan Mak waktu itu. Alasan
kenapa Mak menyukai hujan. Semua terjawab jelas melalui surat-surat yang
kutemukan tanpa sengaja di kotak perhiasan Mak. Hujan, takdir Tuhan yang
mempertemukan Mak dan Bapak, hingga akhirnya saling jatuh cinta.
Sekarang, jika ditanya apakah aku
menyukai hujan? Tanpa sedikitpun ragu, aku akan mengatakan "Aku sangat
menyukai hujan!". Alasannya sama sepertimu, Mak. Setiap tetes hujan adalah
kerinduan. Yah, kerinduanku pada dirimu dan kebersamaan kita, Mak.
Kuusap mataku yang ternyata ikut
hujan. Dipenuhi air mata.
"Mak
bilang juga apa, Za, jangan main hujan! Jadi demam kan?" Mak
menasihatiku sambil mengompres kepalaku yang panas.
Malam itu aku jatuh demam karena
main hujan. Kata Mak suhu tubuhku terasa panas. Tapi, kenapa aku malah terasa
dingin? Menggigil?
"Za
kan mau dapatin banyak rahmat dari Tuhan, Mak. Bukankah hujan itu rahmat?"
tanyaku dengan suara lemah.
Mak tersenyum mendengar alasanku.
Senyum yang membuatku hangat.
"Kalau
kita terlalu rakus, rahmat itu bisa jadi penyakit, Za. Sesuatu yang berlebih
selalu tak baik. Jadi, milikilah sesuatu seadanya. Secukupnya. Agar tak menjadi
bencana."
Aku mengangguk lemah. Sesekali
mengusap hidungku yang mengeluarkan cairan.
Ketika itu, aku
tak mengerti apa yang kau maksud, Mak. Mengapa sesuatu yang berlebihan itu
tidak baik. Namun, sejak beriringnya waktu, sejak kedewasaan menyapaku,
pengertian itu akhirnya datang dengan sendirinya. Lagi-lagi aku setuju
denganmu, Mak. Jika kita ingin memiliki sesuatu secara berlebihan, sesuatu itu
tak lagi menjadi anugrah bagi kita. Melainkan bertansformasi menjadi bencana.
Mak, sekarang aku benar-benar paham yang kau katakan waktu itu. Aku mengerti.
Ait mata semakin deras berguguran
dari mataku. Sederas hujan yang menghujami bumi. Tak jua berhenti.
Ada banyak kisah yang terjadi ketika
hujan.
Ada jutaan kenangan yang tercipta di
kala hujan.
Dari sekian banyak kisah dan
kenangan tentang kebersamaan kita di saat hujan, inilah yang tak pernah bisa
kulupakan, Mak. Kenangan di saat aku melihatmu tersedu sedan memandangi
selembar gambar Bapak di tangan. Saat itu hujan kembali menyapa kita, Mak.
Tapi, mengapa kau tak tersenyum?
"Mak
menangis?" tanyaku mengusap air mata di pipi Mak.
Mak memelukku, lalu mengecup puncak
kepalaku. Kecupan itu selalu membuatku merasa hidup dan berharga.
"Mak
menangis karena hujan?" Entah dari mana pertanyaan itu datang padaku.
Aku pun tak pernah tahu.
Kudengar Mak semakin tergugu. Air
mata semakin deras berjatuhan dari bening matanya.
"Hujan
itu terkadang bisa menjadi badai, Za. Sesekali menghancurleburkan. Membuat
remuk semua yang ada."
Masa itu, aku tak lagi mengangguk.
Aku benar-benar tak mengerti. Sungguh! Aku tak tahu apa yang dikatakan Mak.
Hingga akhirnya aku malah ikut menangis di pelukan Mak. Tersedu sedan diiringin
suara hujan.
Namun, seiring waktu melaju,
akhirnya pemahaman perkataanmu datang padaku, Mak. Apa yang kau maksud dengan
badai yang menghancurleburkan itu, akhirnya kutemukan jawabannya. Saat itu
hujan turun, dan aku menangis, Mak. Aku menangis melihatmu didandani sangat
cantik dengan busana putih. Tangisanku terus berlanjut hingga jasadmu dipeluk
mesra oleh bumi. Kau telah berpulang. Pada hujan kala itu lah aku mengerti
semuanya, Mak. Tentang segala rasa sakit, hati yang remuk. Kau sekali lagi
benar, Mak. Hujan kala itu tak lagi membuatku tersenyum. Hujan kala itu adalah
badai bagiku. Menghancurleburkan hidupku. Meremukkan hatiku.
Aku semakin terisak. Kisah dan
kenangan tentang kebersamaan dengan Mak ketika hujan membuatku sesak. Sakit.
Aku merindukanmu, Mak. Sungguh merindukanmu.
Kuusap lagi airmata di pipiku yang
mengalir sederas hujan kali ini.
Sebuah tangan menyodorkan selembar
tisu padaku. Aku menoleh, dan mendapati seorang pria berkacamata -tubuhnya
basah kuyup, tersenyum padaku. Entah mengapa, senyuman pria berkacamata itu
terlihat sama seperti senyumanmu, Mak. Senyuman yang membuatku nyaman. Senyuman
yang menghangatkanku. Membuatku merasa
semuanya akan baik-baik saja.
"Air mata membuat kecantikanmu
pudar. Hapus lalu tersenyumlah," ucapnya sambil duduk di sebelahku.
Lihatlah, Mak, hujan kembali membawa
kisah baru padaku. Hujan ingin mengajakku menciptakan kenangan lagi untuk frame
hidupku.
Tapi, Mak, apakah kisahku kali ini
akan sama dengan kisah Mak waktu dulu? []
*NB: Cerpen ini terispirasi saat melihat rintik hujan dari balik jendela kamarku. Segelas coklat hangat menjadi teman terhebatku dalam menuliskannya.
Ini bagus banget, Kamal. :">
ReplyDeleteTerimakasih. follow blog aku yah :)
Delete