Oleh: Kamal Agusta
Aku menatap takjub kanvas langit. Bintang-bintang seperti bermandian
gemawan, berkelip riang dalam lelap kesayupan. Seperti ribuan kunang-kunang
yang bermain dalam gelapnya lembah berbunga.
Di atas rumah panggung yang berdinding kayu mahoni, aku duduk di atas
kaki tangga. Menanti seorang lelaki tua yang kupanggil Abah.
Sesekali kupalingkan wajah ke jalan sempit menuju rumah. Masih sunyi
diselimuti gelap. Tak ada tanda-tanda orang yang datang. Hanya angin malam
serasa sehela-sehelaan menerpa padang ilalang dan tetumbuhan perdu di sisi
jalan. Menciptakan desau yang ritmis dalam senyap malam.
"Ke mana Abah? Kenapa ia belum pulang juga?" bisikku mulai
diliputi resah. Aku melirik jam usang yang tergantung ringkih di dinding kayu
yang mulai lapuk. Jarum jam merangkak pelan ke angka sembilan. Sudah hampir
larut malam. Tapi lelaki tua yang kutunggu itu tak jua menampakkan diri. Ke mana
Abah? Tak biasanya ia seperti ini?
Di tengah gelisah yang mulai membuncah. Sayup-sayup terdengar bunyi getas
dedaunan kering terinjak dan derak-derak rantai
berkarat yang dipaksa berputar. Di titik yang tercapai cahaya temaram
lampu togok dari rumah, kulihat sosok yang kunanti. Abah dengan sepeda tuanya
yang sesak oleh barang-barang usang.
Seraut cemas yang sejak tadi bergelayutan di rupaku raib seketika.
Bergegas aku menuruni anak tangga. Membantu mengangkut barang temuan Abah ke
kolong rumah.
"Kenapa
lama pulangnya, Bah?" tanyaku seraya menumpukan kardus-kurdus usang
terakhir di atas timbunan benda serupa.
Abah mengelap
keringat di wajah keriputnya. Perlahan kaki-kaki tuanya menapak pada anak
tangga.
"Tadi Abah
singgah ke rumah Mak Cik Anis meminjam duit untukmu ke Batam," jawab Abah,
merebahkan tubuh rentanya pada lantai papan.
Aku menghela napas. Kutatap Abah. Ada keletihan terurai jelas di
wajahnya.
Abah adalah
satu-satunya keluarga yang kumiliki. Sejak aku mengenal dunia, hanya ada Abah
di sisiku. Menghidupkanku dari barang-barang usang yang ia bawa pulang setiap
senja. Abah selalu menjagaku dengan limpahan kasih sayang. Sementara Emak, aku
tidak pernah tahu siapa Emak. Lantas tegakah aku meninggalkan Abah di masa
senjanya? Aku gamang.
"Aku tidak
jadi ke Batam. Aku tidak tega meninggalkan Abah di sini."
"Tidak
perlu kamu pikirkan Abah. Kamu sudah dewasa. Sudah seharusnya kamu memulai
hidup."
"Tapi,
Bah...." Aku masih berusaha menolak.
"Abah ingin
lihat kamu maju, Rosna. Pergilah Batam. Ubah hidup kamu di sana," terang
Abah.
Aku terdiam. Abah benar. Di Cerenti ini lapangan pekerjaan susah. Apalagi
untuk seorang gadis seusiaku. Teringat akan sahabatku; Tuti, yang kini jaya
bekerja di Batam. Dari ia lah aku tahu tentang lapangan pekerjaan untuk
seusiaku hingga akhirnya aku mengatakan hajat ini pada Abah. Tapi melihat Abah
yang semakin tua membuatku goyah.
"Pergilah
...."
"Baiklah,
Bah," putusku akhirnya.
Abah tersenyum menguatkanku. Meski kutahu ada keterpaksaan di bening mata
rabunnya.
***
Aku tersentak
dari lamunan. Keping-keping kenangan di malam terakhir bersama Abah kembali
berputar di dalam rongga otakku. Kerinduan yang membuncah pada Abah kembali
menyesak.
Sedang apa Abah sekarang? Bagaimana keadaannya? Sehatkah? Beribu
pertanyaan menggerogoti lubang hatiku. Pertanyaan yang sampai saat ini tak
mampu terucap dari bibirku.
"Ya Allah, kerinduan Hamba pada Abah sudah tak tertahankan.
Tunjukkan jalanmu menggiring pulang rasa rindu ini," pintaku pada bait doa
hampir di setiap sujud malamku.
Namun, meski empat tahun telah berselang. Kesempatan yang setiap waktu
kuharapkan itu belum jua menjelang.
Kelopak-kelopak kerinduan makin melebar. Tumbuh subur disiram air suci
dari muara mataku yang retak. Ah... Kapankah rindu ini mendapatkan
persinggahannya. Aku terpaksa menelan pahit duri-duri penantian.
Bergegas aku merangkak ke atas dipan. Melepaskan penat yang mendera badan
karena bekerja seharian. Mataku mulai terpejam. Dalam gelap, aku melihat siluet
wajah Abah. Ia tersenyum hangat kepadaku. Mengalirkan kekuatan untuk bertahan
menopang hati.
"Abah...,
tunggu anakmu ini pulang, Bah."
***
Di hadapanku
berdiri rumah panggung yang tak asing bagiku. Rumah panggung yang terdapat anak
tangga di mukanya. Rumah panggung yang terbuat dari kayu mahoni.
Di depan rumah, terdapat jalan
kecil. Jalan setapak yang dipenuhi kerikil-kerikil kecil. Di kedua sisinya
dipenuhi padang ilalang dan tetumbuhan perdu.
Aku tahu. Ini
rumah panggung tempatku dibesarkan Abah. Lalu di mana Abah?
"Abah...!"
teriakku nyaring.
Pintu terbuka.
Di sana Abah berdiri dalam baju batik yang kukirim di tahun awal aku merantau.
Abah tersenyum seraya melambai ke arahku.
Kucoba melangkahkan kaki ke sosok yang menantiku di atas rumah panggung.
Aneh! Kakiku tak mau bergerak. Ada puluhan akar-akar tetumbuhan perdu yang
tiba-tiba melilit.
Aku memberontak berusaha melepaskan diri dari lilitan. Namun, akar-akar
tetumbuhan perdu itu menjeratku semakin kuat. Aku terperangkap.
Tiba-tiba api berkobar. Melalap rumah panggung dengan ganas. Terdengar
bunyi letupan kayu terpanggang disertai percikan bunga api. Aku mengerang
menyaksikan Abah dijilati lidah api. Kulit keriputnya melepuh dengan darah yang
mendidih membasahi. Aku mengerang. Memanggil-manggil nama Abah. Namun, suaraku
tak mampu memadamkan si Merah yang semakin meraja. Aku terkulai dalam jerat
akar tetumbuhan perdu.
***
Aku terjaga dari tidur dengan tubuh bermandikan keringat. Napasku
tersengal-sengal karena sesak. Kulirik jendela. Secercah cahaya masuk dari
lubang ventilasi. Dari luar terdengar cericit burung bernyanyi. Pagi ternyata
telah menggawang.
Mimpi buruk tentang Abah itu kembali berputar dalam ingatanku. Tubuh Abah
yang melepuh terpanggang, percikan bunga api, aku yang menangis histeris dalam
jerat akar tetumbuhan perdu. Semua terasa nyata. Kuusap wajahku yang penuh
bulir keringat. Meredakan gemuruh perasaan yang meledak.
"Tuhan, apa
arti mimpi ini? Tolong lindungi Abah hamba."
***
Mimpi-mimpi buruk tentang Abah selalu mengisi tidurku. Hal inilah yang
membawaku berada di ruang tunggu di
bandara Hang Nadim di kota Batam. Menunggu
panggilan petugas untuk menaiki pesawat yang akan membawaku ke tanah
kelahiran. Bertahun-tahun jatuh-bangun dalam usaha meredam kerinduan yang
menguras emosi, menunggu, penuh harap, serta memohon dalam ribuan bait doa
sampai akhirnya pasrah dalam keikhlasan, akhirnya saat yang dinantikan itu tiba
juga.
Senyum bahagia tercetak di bibir. Namun, seulas cemas juga membayang di sana. Akankah pertemuan
yang dinanti selama empat tahun ini akan memekarkan indah kelopak-kelopak
kerinduan itu?
Di hadapanku berdiri seorang pria menggendong seorang balita perempuan
yang cantik. Seketika aku ditarik dan dihempas pada kenangan usang masa
kecilku. Saat aku berusia enam tahun, Abah masih sering menggendongku.
Meninabobokanku dalam rengkuhan hangatnya. Sebelum tidur Abah selalu
menceritakan tentang kisah-kisah putri kerajaan. Ia baru akan berhenti kala aku
terlelap dalam buaian malam.
Suara petugas terdengar dari pengeras suara. Ia menginfokan bahwa pesawat dengan tujuan
Pekanbaru akan take-off. Para
penumpang diharapkan segera memasuki pesawat.
Aku segera bangun dari duduk lalu mengamit koper serta bawaanku yang
lain. Dengan mantap aku menapakkan kaki
menuju pesawat yang akan membawaku pada Abah.
"Abah ...
sebentar lagi kerinduan ini akan mengakhiri penantiannya."
***
Pesawat landing di Bandara Sulthan Syarif Qasim, Pekanbaru, sesuai
jadwal. Setelah melalui pemeriksaan, aku bergegas mengambil koper dan bawaanku.
Barang-barang telah ada di tanganku. Dengan cepat aku bergegas mencari taksi.
Bandara SSQ terlihat sesak dipenuhi orang yang berdatangan atau
berpergian. Di antara pengunjung aku menemukan raut kebahagian. Namun, ada juga
pengunjung yang menangis sambil berpelukan. Aku merasa wajar karena bandara
adalah tempat orang bertemu dan berpisah.
Akhirnya aku mendapatkan taksi yang akan membawaku ke terminal tempat
travel yang menuju rumah Abah. Lima jam lagi, kelopak-kelopak kerinduan itu
akan bermekaran bahagia.
"Abah ...
tinggal sebentar lagi."
***
Mobil travel membawaku meninggalkan kota Pekanbaru menuju desa kecil di
Kabupaten Kuantan Singingi, Cerenti. Mobil melesat bergerak mendaki tanjakan.
Melintasi perkebunan sawit yang senyap. Meninggalkan deretan perpohonan
getah yang cepat bergerak ke belakang.
Di bangku tepat belakang sopir, aku tersenyum memandangi pemandangan yang sudah
lama tak kulihat.
Sebuah rasa getar yang indah berderap kuat di hatiku. Perasaan rindu pada
Abah yang membuncah. Semakin dekat jarak dan waktu untuk bertemu Abah,
kelopak-kelopak kerinduan itu semakin bermekaran indah. Bersemerbak tak terkendali. Semakin sedikit,
Abah. Kelopak-kelopak kerinduan ini akan terkembang megah.
***
Senja menyapa
Cerenti. Tampak layung seolah terbakar di langit barat. Jejak 'Mata Dewa' yang
tertinggal.
Kini langkah kakiku telah memasuki jalan setapak yang kedua sisinya masih
ditumbuhi illalang dan tetumbuhan perdu. Rumah panggung yang dihuni seseorang
yang kurindukan telah ada di depan mataku.
"Abah ...!" panggilku sembari meniti anak tangga.
Senyap. Tak ada
sahutan. Aku terus memanggil-manggil Abah. Namun tetap sama, rumah ini kosong.
"Sudah
pulang kamu, Rosna?"
Aku menoleh, di
bawah kulihat Pak Burhan; Tetanggaku.
"Sudah,
Pak. Baru saja sampai."
"Kamu
mencari, Abah?"
"Bapak tahu
di mana Abah?" tanyaku senang.
Pak Burhan
mengangguk. Namun, ada raut sedih di wajahnya.
"Kamu ikut
aku," pinta Pak Burhan.
Aku mengikuti
langkah Pak Burhan. Di dalam hati aku terus bertanya ke mana dia akan
membawaku. Tapi, bukankah ini jalan menuju pemakaman? Ya Allah apa maksudnya
ini?
"Abahmu di
sini, Rosna." Pak Burhan menunjuk areal pemakaman.
"Maksud
Bapak?" tanyaku tak mengerti.
"Abahmu ada
di dalam."
Seketika pikiran
buruk memenuhi diriku. Tak mungkin Abah meninggal.
"Kuatkan
hatimu, Rosa."
Pak Burhan
kembali membimbingku memasuki pemakaman. Air mata telah pecah dari bola mataku.
Membentuk aliran sungai kecil.
Di atas kuburan
yang terlihat masih baru aku melihat. Aku tertegun. Hanya tangisan yang pecah
dari bibirku.
"Itu
Abahmu." tunjuk Pak Burhan.
"Abah
...!" isakku.
Aku mendekat, lalu memeluk sosok yang duduk merenung di atas kuburan.
Abah terlihat lusuh dan kurus, tak terawat. Apa yang terjadi denganmu, Bah?Abah
menoleh kepadaku.
"Siapa
kamu!" bentaknya garang.
"Aku Rosna,
Bah. Anakmu."
"Anak?
Anak? Hahaha ...."
Kelopak-kelopak rindu yang telah lama terpupuk dan siap untuk bermekaran,
seketika melayu. Kelopak-kelopak rindu itu kering. Satu-persatu mulai
berguguran dan jatuh pada lubang hatiku yang menghitam. Penantian akan mekarnya
kelopak-kelopak rindu hanya sebatas harapan.
Aku mencoba mengemasi kembali kelopak-kelopak rindu yang berserakan.
Namun, kelopak-kelopak rindu itu tak kan mampu disatukan dan mekar lagi. Napas
kehidupan kelopak-kelopak rindu itu telah terenggut oleh ketidakberdayaan.
Aku tak mampu lagi menjawab. Hanya pelukanku yang semakin erat pada tubuh Abah. Beliau tak lagi mengenaliku.
Abah telah gila. Entah apa penyebabnya. Aku tak tahu.[]
NB: Cerpen ini terdapat dalam antologi When ... I Miss You
|
Rp. 30.000 |