Monday, 31 December 2012

Draft Novel: Sesungguhnya Cinta (Aluna dan Khrisna)

     Hatiku nyeri saat melihat Khrisna tidur di sofa. Pria itu masih mengenakan kemeja putih bergaris-garis biru --pakaian yang ia kenakan semalam. Dasinya yang berwarna biru pekat terikat longgar di lehernya. Dada Khrisna naik turun teratur. Sementara kedua tangannya terlipat di perut.

     Aku masuk ke kamar, mengambil selimut. Saat aku hendak menyelimuti Khrisna, tiba-tiba pria itu terbangun. Matanya mengerjap-ngerjap, lalu mengusap wajah dengan kedua tangannya. Khrisna tersenyum saat melihatku.

     "Kamu sudah bangun, Sayang?" tanyanya lembut, sambil menarikku untuk duduk di sebelahnya. "Bagaimana kondisimu?"

     Aku mengabaikan pertanyaan dan malah menatap wajahnya yang terlihat lelah. Ada garis hitam di kantung matanya. "Kamu bergadang semalam?" Aku malah balik bertanya.

     Khrisna balas menatapku. "Aku mengkhawatirkanmu, Aluna. Baru kemarin aku lihat kamu menangis seperti itu," ucap Khrisna lembut. Jemarinya yang panjang masuk di helai-helai rambutku.

     "Maaf aku membuatmu repot," sesalku. Kuusap wajah Khrisna, ingin menghapus raut lelah di wajah tampan pria itu.

     "Itu sudah kewajibanku untuk menjagamu, Aluna." Hatiku terenyuh ketika mendengarnya.

     "Aku tidak akan membiarkan gadis yang kucintai terluka sendirian," Khrisna mengecup pipiku, mataku terpejam merasakan kelembutan deru napasnya yang menggelitik kulitku.

     "Terima kasih, Khris," bisikku.

     Khrisna tersenyum, disampirkannya rambut yang jatuh menutupi wajahku. "Cinta sejati melakukan apa pun demi seseorang yang dicintainya, Aluna. Semua dilakukan dengan dasar ketulusan, tanpa mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih. Jadi, saat aku melakukan apa pun untukmu, kamu tidak perlu berterima kasih. Karena aku mencintaimu. Dan, itulah sesungguhnya cintaku."

     Air mata jatuh dari sudut mata dan mengalir membasahi pipiku. Khrisna yang melihatnya, segera menghapus air mataku dengan jemarinya.

     "Jangan menangis," pintanya.

     Yah, Tuhan, apa yang telah kulakukan terhadap pria yang mencintaiku dengan tulus ini? Mengapa aku bisa begitu tega menkhianatinya? Di saat aku menangis karena luka yang ditoreh pria lain yang kucintai , hanya dia yang hadir dan menguatkanku.
"Maafkan aku," Hanya kata itu yang mampu kuucapkan sebagai penebus atas kesalahan yang kubuat secara sadar.

     "Cinta selalu memaafkan." Khrisna mendekapku erat. Dan, telapak tangannya mengelus punggungku. Menenangkanku agar berhenti menangis.


     Tuhan, mengapa kau tidak membuatku jatuh cinta pada pria ini saja?

Tuesday, 25 December 2012

Short Story: Kelopak Kerinduan



Oleh: Kamal Agusta


Aku menatap takjub kanvas langit. Bintang-bintang seperti bermandian gemawan, berkelip riang dalam lelap kesayupan. Seperti ribuan kunang-kunang yang bermain dalam gelapnya lembah berbunga.
Di atas rumah panggung yang berdinding kayu mahoni, aku duduk di atas kaki tangga. Menanti seorang lelaki tua yang kupanggil Abah.
Sesekali kupalingkan wajah ke jalan sempit menuju rumah. Masih sunyi diselimuti gelap. Tak ada tanda-tanda orang yang datang. Hanya angin malam serasa sehela-sehelaan menerpa padang ilalang dan tetumbuhan perdu di sisi jalan. Menciptakan desau yang ritmis dalam senyap malam.
"Ke mana Abah? Kenapa ia belum pulang juga?" bisikku mulai diliputi resah. Aku melirik jam usang yang tergantung ringkih di dinding kayu yang mulai lapuk. Jarum jam merangkak pelan ke angka sembilan. Sudah hampir larut malam. Tapi lelaki tua yang kutunggu itu tak jua menampakkan diri. Ke mana Abah? Tak biasanya ia seperti ini?
Di tengah gelisah yang mulai membuncah. Sayup-sayup terdengar bunyi getas dedaunan kering terinjak dan derak-derak rantai  berkarat yang dipaksa berputar. Di titik yang tercapai cahaya temaram lampu togok dari rumah, kulihat sosok yang kunanti. Abah dengan sepeda tuanya yang sesak oleh barang-barang usang.
Seraut cemas yang sejak tadi bergelayutan di rupaku raib seketika. Bergegas aku menuruni anak tangga. Membantu mengangkut barang temuan Abah ke kolong rumah.
"Kenapa lama pulangnya, Bah?" tanyaku seraya menumpukan kardus-kurdus usang terakhir di atas timbunan benda serupa.
Abah mengelap keringat di wajah keriputnya. Perlahan kaki-kaki tuanya menapak pada anak tangga.
"Tadi Abah singgah ke rumah Mak Cik Anis meminjam duit untukmu ke Batam," jawab Abah, merebahkan tubuh rentanya pada lantai papan.
Aku menghela napas. Kutatap Abah. Ada keletihan terurai jelas di wajahnya.
Abah adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki. Sejak aku mengenal dunia, hanya ada Abah di sisiku. Menghidupkanku dari barang-barang usang yang ia bawa pulang setiap senja. Abah selalu menjagaku dengan limpahan kasih sayang. Sementara Emak, aku tidak pernah tahu siapa Emak. Lantas tegakah aku meninggalkan Abah di masa senjanya? Aku gamang.
"Aku tidak jadi ke Batam. Aku tidak tega meninggalkan Abah di sini."
"Tidak perlu kamu pikirkan Abah. Kamu sudah dewasa. Sudah seharusnya kamu memulai hidup."
"Tapi, Bah...." Aku masih berusaha menolak.
"Abah ingin lihat kamu maju, Rosna. Pergilah Batam. Ubah hidup kamu di sana," terang Abah.
Aku terdiam. Abah benar. Di Cerenti ini lapangan pekerjaan susah. Apalagi untuk seorang gadis seusiaku. Teringat akan sahabatku; Tuti, yang kini jaya bekerja di Batam. Dari ia lah aku tahu tentang lapangan pekerjaan untuk seusiaku hingga akhirnya aku mengatakan hajat ini pada Abah. Tapi melihat Abah yang semakin tua membuatku goyah.
"Pergilah ...."
"Baiklah, Bah," putusku akhirnya.
Abah tersenyum menguatkanku. Meski kutahu ada keterpaksaan di bening mata rabunnya.
***
Aku tersentak dari lamunan. Keping-keping kenangan di malam terakhir bersama Abah kembali berputar di dalam rongga otakku. Kerinduan yang membuncah pada Abah kembali menyesak.
Sedang apa Abah sekarang? Bagaimana keadaannya? Sehatkah? Beribu pertanyaan menggerogoti lubang hatiku. Pertanyaan yang sampai saat ini tak mampu terucap dari bibirku.
"Ya Allah, kerinduan Hamba pada Abah sudah tak tertahankan. Tunjukkan jalanmu menggiring pulang rasa rindu ini," pintaku pada bait doa hampir di setiap sujud malamku.
Namun, meski empat tahun telah berselang. Kesempatan yang setiap waktu kuharapkan itu belum jua menjelang.
Kelopak-kelopak kerinduan makin melebar. Tumbuh subur disiram air suci dari muara mataku yang retak. Ah... Kapankah rindu ini mendapatkan persinggahannya. Aku terpaksa menelan pahit duri-duri penantian.
Bergegas aku merangkak ke atas dipan. Melepaskan penat yang mendera badan karena bekerja seharian. Mataku mulai terpejam. Dalam gelap, aku melihat siluet wajah Abah. Ia tersenyum hangat kepadaku. Mengalirkan kekuatan untuk bertahan menopang hati.
"Abah..., tunggu anakmu ini pulang, Bah."
***
Di hadapanku berdiri rumah panggung yang tak asing bagiku. Rumah panggung yang terdapat anak tangga di mukanya. Rumah panggung yang terbuat dari kayu mahoni.
Di depan rumah, terdapat jalan kecil. Jalan setapak yang dipenuhi kerikil-kerikil kecil. Di kedua sisinya dipenuhi padang ilalang dan tetumbuhan perdu.
Aku tahu. Ini rumah panggung tempatku dibesarkan Abah. Lalu di mana Abah?
"Abah...!" teriakku nyaring.
Pintu terbuka. Di sana Abah berdiri dalam baju batik yang kukirim di tahun awal aku merantau. Abah tersenyum seraya melambai ke arahku.
Kucoba melangkahkan kaki ke sosok yang menantiku di atas rumah panggung. Aneh! Kakiku tak mau bergerak. Ada puluhan akar-akar tetumbuhan perdu yang tiba-tiba melilit.
Aku memberontak berusaha melepaskan diri dari lilitan. Namun, akar-akar tetumbuhan perdu itu menjeratku semakin kuat. Aku terperangkap.
Tiba-tiba api berkobar. Melalap rumah panggung dengan ganas. Terdengar bunyi letupan kayu terpanggang disertai percikan bunga api. Aku mengerang menyaksikan Abah dijilati lidah api. Kulit keriputnya melepuh dengan darah yang mendidih membasahi. Aku mengerang. Memanggil-manggil nama Abah. Namun, suaraku tak mampu memadamkan si Merah yang semakin meraja. Aku terkulai dalam jerat akar tetumbuhan perdu.
***
Aku terjaga dari tidur dengan tubuh bermandikan keringat. Napasku tersengal-sengal karena sesak. Kulirik jendela. Secercah cahaya masuk dari lubang ventilasi. Dari luar terdengar cericit burung bernyanyi. Pagi ternyata telah menggawang.
Mimpi buruk tentang Abah itu kembali berputar dalam ingatanku. Tubuh Abah yang melepuh terpanggang, percikan bunga api, aku yang menangis histeris dalam jerat akar tetumbuhan perdu. Semua terasa nyata. Kuusap wajahku yang penuh bulir keringat. Meredakan gemuruh perasaan yang meledak.
"Tuhan, apa arti mimpi ini? Tolong lindungi Abah hamba."
***
Mimpi-mimpi buruk tentang Abah selalu mengisi tidurku. Hal inilah yang membawaku  berada di ruang tunggu di bandara Hang Nadim di kota Batam. Menunggu  panggilan petugas untuk menaiki pesawat yang akan membawaku ke tanah kelahiran. Bertahun-tahun jatuh-bangun dalam usaha meredam kerinduan yang menguras emosi, menunggu, penuh harap, serta memohon dalam ribuan bait doa sampai akhirnya pasrah dalam keikhlasan, akhirnya saat yang dinantikan itu tiba juga.
Senyum bahagia tercetak di bibir. Namun, seulas  cemas juga membayang di sana. Akankah pertemuan yang dinanti selama empat tahun ini akan memekarkan indah kelopak-kelopak kerinduan  itu?
Di hadapanku berdiri seorang pria menggendong seorang balita perempuan yang cantik. Seketika aku ditarik dan dihempas pada kenangan usang masa kecilku. Saat aku berusia enam tahun, Abah masih sering menggendongku. Meninabobokanku dalam rengkuhan hangatnya. Sebelum tidur Abah selalu menceritakan tentang kisah-kisah putri kerajaan. Ia baru akan berhenti kala aku terlelap dalam buaian malam.
Suara petugas terdengar dari pengeras suara. Ia  menginfokan bahwa pesawat dengan tujuan Pekanbaru akan take-off. Para penumpang diharapkan segera memasuki pesawat.
Aku segera bangun dari duduk lalu mengamit koper serta bawaanku yang lain. Dengan mantap aku menapakkan kaki  menuju pesawat yang akan membawaku pada Abah.
"Abah ... sebentar lagi kerinduan ini akan mengakhiri penantiannya."
***
Pesawat landing di Bandara Sulthan Syarif Qasim, Pekanbaru, sesuai jadwal. Setelah melalui pemeriksaan, aku bergegas mengambil koper dan bawaanku. Barang-barang telah ada di tanganku. Dengan cepat aku bergegas mencari taksi.
Bandara SSQ terlihat sesak dipenuhi orang yang berdatangan atau berpergian. Di antara pengunjung aku menemukan raut kebahagian. Namun, ada juga pengunjung yang menangis sambil berpelukan. Aku merasa wajar karena bandara adalah tempat orang bertemu dan berpisah.
Akhirnya aku mendapatkan taksi yang akan membawaku ke terminal tempat travel yang menuju rumah Abah. Lima jam lagi, kelopak-kelopak kerinduan itu akan bermekaran bahagia.
"Abah ... tinggal sebentar lagi."
***
Mobil travel membawaku meninggalkan kota Pekanbaru menuju desa kecil di Kabupaten Kuantan Singingi, Cerenti. Mobil melesat bergerak mendaki tanjakan. Melintasi perkebunan sawit yang senyap. Meninggalkan deretan perpohonan getah  yang cepat bergerak ke belakang. Di bangku tepat belakang sopir, aku tersenyum memandangi pemandangan yang sudah lama tak kulihat.
Sebuah rasa getar yang indah berderap kuat di hatiku. Perasaan rindu pada Abah yang membuncah. Semakin dekat jarak dan waktu untuk bertemu Abah, kelopak-kelopak kerinduan itu semakin bermekaran indah.  Bersemerbak tak terkendali. Semakin sedikit, Abah. Kelopak-kelopak kerinduan ini akan terkembang megah.
***
Senja menyapa Cerenti. Tampak layung seolah terbakar di langit barat. Jejak 'Mata Dewa' yang tertinggal.
Kini langkah kakiku telah memasuki jalan setapak yang kedua sisinya masih ditumbuhi illalang dan tetumbuhan perdu. Rumah panggung yang dihuni seseorang yang kurindukan telah ada di depan mataku.
"Abah ...!" panggilku sembari meniti anak tangga.
Senyap. Tak ada sahutan. Aku terus memanggil-manggil Abah. Namun tetap sama, rumah ini kosong.
"Sudah pulang kamu, Rosna?"
Aku menoleh, di bawah kulihat Pak Burhan; Tetanggaku.
"Sudah, Pak. Baru saja sampai."
"Kamu mencari, Abah?"
"Bapak tahu di mana Abah?" tanyaku senang.
Pak Burhan mengangguk. Namun, ada raut sedih di wajahnya.
"Kamu ikut aku," pinta Pak Burhan.
Aku mengikuti langkah Pak Burhan. Di dalam hati aku terus bertanya ke mana dia akan membawaku. Tapi, bukankah ini jalan menuju pemakaman? Ya Allah apa maksudnya ini?
"Abahmu di sini, Rosna." Pak Burhan menunjuk areal pemakaman.
"Maksud Bapak?" tanyaku tak mengerti.
"Abahmu ada di dalam."
Seketika pikiran buruk memenuhi diriku. Tak mungkin Abah meninggal.
"Kuatkan hatimu, Rosa."
Pak Burhan kembali membimbingku memasuki pemakaman. Air mata telah pecah dari bola mataku. Membentuk aliran sungai kecil.
Di atas kuburan yang terlihat masih baru aku melihat. Aku tertegun. Hanya tangisan yang pecah dari bibirku.
"Itu Abahmu." tunjuk Pak Burhan.
"Abah ...!" isakku.
Aku mendekat, lalu memeluk sosok yang duduk merenung di atas kuburan. Abah terlihat lusuh dan kurus, tak terawat. Apa yang terjadi denganmu, Bah?Abah menoleh kepadaku.
"Siapa kamu!" bentaknya garang.
"Aku Rosna, Bah. Anakmu."
"Anak? Anak? Hahaha ...."
Kelopak-kelopak rindu yang telah lama terpupuk dan siap untuk bermekaran, seketika melayu. Kelopak-kelopak rindu itu kering. Satu-persatu mulai berguguran dan jatuh pada lubang hatiku yang menghitam. Penantian akan mekarnya kelopak-kelopak rindu hanya sebatas harapan.
Aku mencoba mengemasi kembali kelopak-kelopak rindu yang berserakan. Namun, kelopak-kelopak rindu itu tak kan mampu disatukan dan mekar lagi. Napas kehidupan kelopak-kelopak rindu itu telah terenggut oleh ketidakberdayaan.
Aku tak mampu lagi menjawab. Hanya pelukanku yang semakin erat  pada tubuh Abah. Beliau tak lagi mengenaliku. Abah telah gila. Entah apa penyebabnya. Aku tak tahu.[]




NB: Cerpen ini terdapat dalam antologi When ... I Miss You

Rp. 30.000
 

Sunday, 23 December 2012

My Book: Long Distance Hearts: Kisah Cinta yang Terpisahkan Jarak

ISBN:9786022200352
Pengarang:@LongDistance_R
Penerbit:Bukune
Rencana Terbit:April 2012
Halaman:220
Ukuran:190x130 mm
Berat:200 gram




Sore Valentine di Waroeng Coffe
Oleh Kamal Agusta 



14 Februari 2011

Aku duduk sendiri di  Waroeng Coffe, menikmati sore valentine. Jemariku mengetuk-ngetuk meja, menunggu kedatangan pramusaji. Sesekali mataku melirik beberapa pasangan kekasih yang juga menikmati sore valentine
"Mau pesan apa, Mas?" tanya Pramusaji ramah seraya tersenyum hangat.
"Hot chocolate dan French fries. Masing-masing dua, Mbak," ucapku menyebutkan pesanan. Pramusaji yang kutaksir umurnya seusia denganku itu mencatat pesananku di note yang dia bawa.
"Ada lagi, Mas?"
"Itu dulu, Mbak. Nanti kalau ada perlu akan aku panggil lagi."
Pramusaji mengangguk, lalu memintaku untuk sabar menunggu datangnya pesanan. Aku tersenyum.
Aku memalingkan pandangan ke arah jendela kaca besar yang menjadi dinding caffe ini. Di dinding tembus pandang itu terdapat gelur-gelur bening hasil percikan hujan. Gelur-gelur tersebut seperti butiran-butiran kristal.
Dari balik jendela, kulihat awan kelabu bergalantungan di kaki langit. Angin bertiup, menggoyangkan ranting-ranting peneduh rimbun. Beberapa daun terlepas, terbang dibawa angin sekejap sebelum akhirnya jatuh mengecap tanah  yang basah. Membiarkan hujan menghujamnya dengan ribuan jarum cairnya.
Pandanganku kembali beralih ke meja ketika pramusaji itu telah datang membawakan pesananku. Dengan cekatan, pesananku telah berpindah dari nampan ke atas meja. Kepulan uap hangat menyembul dari dua cangkir hot Chocolate.
"Selamat menikmati," ucap Pramusaji tak lupa dengan senyuman ramah. Aku mengangguk, membalas senyumannya. Pramusaji itu beranjak untuk kembali melayani pengunjung yang lain.
Aku meraih cangkir hot chocolate, mengembus pelan lalu menyeruputnya. Rasa hangat mengalir bersama rasa manis chocolate di kerongkonganku.
Mataku kembali melirik pasangan di sebelahku. Otakku tiba-tiba melayang kepada seseorang. Seseorang yang biasanya menemaniku di sini. Sedang apakah dia sekarang? bisikku dalam hati. Tanpa dapat dicegah, bayang-bayang masa lalu menyergap dan membawaku ke masanya.

***

14 Februari 2010

Aku duduk sendiri di kursi dekat jendela besar Waroeng Coffe, menunggu kedatangan seseorang. Jemariku mengetuk-ngetuk meja, sementara ekor mataku sesekali melirik pintu masuk.
Dari balik jendela, kulihat rona kelam membungkus langit. Ribuan jarum-jarum cair jatuh menusuk bumi. Bunyi rintikannya berkecipak menjamah dedaunan di ranting peneduh. Jendela besar itu kabur, bergelur-gelur terkena percikan hujan.
Pintu masuk terkuak, aku mengalihkan pandangan dari jendela ke pintu masuk. Seorang gadis cantik menyembul dari balik pintu. Tubuh rampingnya dibalut cardigan biru langit, rambutnya tergerai terlihat sedikit basah. Gadis itu Chika, Kekasih yang  kutunggu.
Chika melangkah anggun menujuku. Bibir penuhnya menyunggingkan seulas senyuman, memberi rona merah di pipinya yang putih.
"Sorry, Beb, aku telat," ucap Chika sembari duduk di hadapanku. Aku  mengangguk sambil menyodorkan hot chocolate, kesukaannya, yang tadi terlebih dahulu kupesan. Dia tersenyum menerima hot chocolate yang masih mengepulkan uap. Chika meniupnya sekejap sebelum menyeruput hot chocholate.
"Happy Valentine," seru Chika ceria seperti biasanya. Aku menyukai keceriaan itu.
"Happy valentine too, Beb," jawabku ikut tertawa.
Selanjutnya kami larut dalam pusaran gelombang  cinta. Tersenyum, sesekali tertawa, dan saling menggenggam tangan. Membiarkan perasaan kami berbicara apa adanya. Semua terasa begitu indah. Berharap waktu berhenti merangkak maju dan membirkan keadaan begini selamanya.
"Beb, aku mau ngomong sesuatu yang penting," raut wajah Chika tiba-tiba berubah serius. Aku mengeryit melihat perubahan itu.
"Ngomong apa?" tanyaku panik.
"Bulan depan Papa akan pindah tugas ke Kuala lumpur."
"Kuala lumpur? Lalu?"
"Papa mengatakan kalau kami sekeluarga akan pindah ke sana. Sekolahku juga akan ikut pindah," kristal bening mulai menganak di pelupuk mata bulatnya. Aku tertegun mendengarnya.
"Lalu bagaimana dengan kita? Hubungan cinta kita?" tanyaku pilu menatap wajahnya.
Chika bangkit dari tempat duduknya, lalu berdiri di jendela besar. Menatap keadaan luar dari kaca yang kabur.
"Aku sudah berusaha meminta sama Papa untuk tetap tinggal. Tapi Papa menolaknya. Aku bingung harus  bagaimana lagi," ucap Chika terisak.  Bahunya bergetar.
Aku turut bangkit dari dudukku, lalu berdiri di samping Chika. Jemariku meraih jemarinya. Menggenggam tangan itu dengan erat.
"Aku akan tetap mencintaimu di sini," kataku berusaha menenangkannya. Chika menoleh ke arahku. Menatap ke dalam mataku dengan raut tidak mengerti.     
"Maksud kamu, Beb?"
"Jarak tak akan membunuh cinta kita. Selama kita saling percaya dan menjaga cinta ini, cinta di antara kita akan tetap utuh. Aku akan menunggumu di sini, selalu. jika ada waktu aku yang mengunjungimu di sana," jawabku mantap.
"Jadi kita LDR?" Chika mencari kepastiaan. Ada rasa haru terdengar dari suaranya.
"Yah, tidak ada jalan lain. Aku percaya kamu akan selalu menjaga hati dan cintaku."
"Aku pasti menjaganya, Karena aku mencintaimu," ucap Chika tersenyum.
Aku membalas senyumnya. Kurasakan genggaman Chika mengerat. Genggaman itu hangat. Kami kembali menatap hujan yang masih turun dari balik jendela besar.
Sebuah keputusan hubangan cinta ini telah kami ambil.

***

14 Februari 2011

Aku tersentak ketika mendengar suara bising. Kepalaku melongok ke belakang, sepasang kekasih terdengar sedang berdebat hebat. Entah apa yang mereka debatkan aku tidak tahu. Sudahlah, itu masalah mereka.
Kembali ku raih cangkir hot chocolate, menyeduhnya. Aroma  hot chocolate membuatku terasa dekat dengan Chika. Sangat dekat sekali.
Lantunan lagu I Will Love You yang dinyanyikan Whitney Houston mengalun lembut berpadu dengan gemericik air hujan yang terdengar dari luar. Perpaduan itu memberikan kesan tenang, damai, dan romantis. Nuansa yang cocok pada sore valentine. Ah... aku merasa sepi tanpa Chika.
Chika, kamu sedang apa di sana? Aku merindukanmu bisikku dalam hati.
Ponselku berdering. Kulihat, ada sebuah pesan yang masuk. Apa mungkin ini pesan dari Chika?

Happy Valentine, Beb. Aku kangen kamu.
I Will Love you forever. J

Aku tersenyum membaca pesan dari Chika. Baru saja aku memikirkannya, dia telah hadir lewat pesannya.
Ternyata ikatan cinta sejati antara dua kekasih itu begitu kuat. Jarak pun tak akan bisa menjadi penghalang untuk memisahkannya. Sekarang aku yakin, cinta itu tidak harus selalu berdekatan, cinta itu tidak harus selalu bersama, cinta itu tidak selalu harus bertemu. Cinta pun bisa terjalin, meski terpisah jarak. Selama cinta itu didasari kepercayaan.  Percaya untuk saling menjaga perasaan satu sama lainnya. Cinta itu pasti akan selalu terjaga. LDR ternyata indah karena hati selalu saling merindukan.
Aku segera membalas pesan Chika, tetapi sebelum sempat terkirim, ponselku kembali berdering. Layar ponselku berkedip menampilkan nama ‘My Lovely’. Senyumku semakin mengembang. Perasaanku menghangat membaca nama itu. Perasaan rindu itu mulai memainkan fungsinya.
Klik, telepon ku angkat.
“Halo, Beb. Baru aja memikirkanmu. Aku kangen kamu juga.” [] 


Pekanbaru, 15 Januari 2012


NB: Ini adalah kisah yang kutulis di dalam buku Long Distance Hearts

Short Story: Selalu di Hati



            



 Oleh Kamal Agusta


           Angin menelisik, menggerakkan puncak-puncak pohon dan rerantingan. Dedaunan yang timpang tindih saling bergesekan, menimbulkan gemerisik. Beberapa helai daun terlepas dari pegangan ranting. Gugur. Terbang sekejap dibawa angin, lalu jatuh menyentuh rerumputan yang basah. Bekas hujan siang tadi.
Aku merapatkan sweater dan mengencangkan lilitan syal di leherku. Duduk santai di salah satu bangku yang berada di sudut taman. Rambutku yang mulai panjang, berterbangan digerai angin.
“Bian … buruan lihat ini!” teriak seorang gadis kecil bertopi biru. Ia jongkok di bawah peneduh Akasia. Tangannya menggurat sesuatu di batang pohon.
Tak jauh, sesorang bocah lelaki bermantel bulu yang asyik mengamati sisa hujan membentuk kristal-kristal di atas rerumputan itu menoleh. Bocah itu bangun, lalu mendekat ke arah gadis kecil yang memanggilnya tadi. Wajah bocah itu memerah. Kedinginan.
“Baguskan, Bian?” Gadis kecil itu dengan riang menunjukan sesuatu yang dibuatnya di batang Akasia.
Bocah lelaki yang bernama Bian itu diam. Matanya menatap bergantian ke arah batang pohon dan gadis kecil tersebut. Lalu beralih kembali ke batang pohon.
“Kasihan pohonnya. Pasti dia kesakitan, Rasi. Lihat pohonnya berdarah.” Bian berucap lirih.
Kesakitan? Pohonnya berdarah?
Aku tertegun. Jantungku terasa berhenti berdetak. Darahku berdesir naik memenuhi kepala. Ucapan itu … bukankah itu ucapan yang pernah dikatakannya padaku? Di sini, sembilan tahun silam.
Parade kenangan itu mulai mengejarku. Merasuki pikiran. Mengiringku untuk melihatnya sekali lagi.
                                                                  ***           
Tangan kecilku memegang erat cutter. Menggurat sesuatu pada batang Akasia. Seulas senyum tercetak di bibir mungilku.
Angin menelisik, mengusap pipiku yang memerah karena kedinginan. Kuperhatiakn hasil guratanku yang telah selesai. Sempurna!
“Evan … buruan lihat ini!” teriakku sambil melambai pada bocah bermantel yang asyik bermain bola sendirian. Ia menoleh sejenak, lalu mendekat ke arahku.
Evan ikut jongkok di sebelahku, lalu menatap penuh tanya.
“Baguskan?” pamerku sambil menunjukan kreasiku. Aku tersenyum, memperlihatkan sederet gigi yang ompong dua di depannya.
Evan menatapku tanpa berkedip, lalu menoleh ke hasil guratanku. Menatapku lagi, menoleh pada guratan itu lagi. Begitu terus hingga beberapa kali.
“P-pohon sahabat E-Evan dan Kelsi?” eja Evan dengan kening berkerut. Aku tersenyum.
“Kasihan pohonnya disayat gitu. Pasti dia kesakitan. Lihat, berdarah kan?” ucap Evan sambil meringis. Mata kami bersipandang.
Aku menatap guratan pada batang pohon. Ada getah yang keluar dari bekas-bekas sayatan. Au ikut meringis sambil meremas ujung-ujung mantel buluku.
“Maafin Kelsi, Van.”
Evan menyeringai, menampakan giginya yang juga ompong. “Udah, nggak apa-apa. lain kali jangan diulangi lagi yah.” Jemari Evan mengusap puncak kepalaku. Aku mengangguk.
“Evan suka dengan apa yang Kelsi buat. Cantik. Terimakasih.”
Aku mendongak. Menatap wajah Evan yang lucu ketika menyeringai. Tatapannya terasa lembut. Di kedua pipinya menyembul lesung pipi. Wajahku  jadi makin bersemu.
“Main bola, yuk!” ajak Evan.
Aku mengangguk. Jemari Evan menarik lengan mungilku untuk ikut bersamanya.
***
“Evan jangan pergi. Kelsi nggak mau ditinggal sendiri,” rengekku sambil terus memeluk tubuh Evan.
Evan menyeringai. Melihatkan sederet giginya yang putih, tak ada lagi yang ompong seperti lima tahun silam. Evan mengusap lembut puncak kepalaku.
“Kalo Evan nggak pergi, terus Evan harus tinggal di mana? Ayah dan Bunda Evan kan harus pergi.” Evan berusaha membujukku. Tapi aku masih terus merengek.
“Di rumah Kelsi aja. Papa dan Mama pasti mau menerima Evan.”
“Tapi Evan kan harus sekolah di sana Kelsi. Apa Kelsi mau lihat Evan bodoh karena nggak sekolah?” Evan tersenyum.
Aku menggeleng. Aku nggak mau Evan jadi bodoh.
“Evan janji kan sering mengunjungi Kelsi ke sini. Lagipula jarak Singapura dengan Pekanbaru kan nggak terlalu jauh.”
“Evan janji?” Aku meminta kepastian.
Evan mengangguk mantap, lalu mengusap airmata yang masih basah di pipiku.
“Kelsi jelek kalo lagi cengeng” ejek Evan menghiburku. Aku tersenyum mendengar ejekannya.
Sore ini menjadi perpisahanku dengan Evan. Evan sekeluarga akan pindah ke negara tetangga karena kepindahan tugas Ayahnya.
Selamat jalan, Evan.
***
“Rasi minta maaf, Bian.” Gadis kecil itu menunduk seraya meremas ujung-ujung mantelnya.
Kulihat Bian mengangguk. “Besok jangan diulangi lagi, Rasi. Nanti pohonnya kesakitan. Janji?” Bian mengusap lembut kepala Rasi yang ditutupi topi. Rasi mengangguk.
“Bian juga mau berterimakasih. Rasi udah buatin ini untuk Bian. Ukiran Rasi cantik. Bian suka.” Bian tersenyum, sepasang lesung pipi menyembul di pipi chubby-nya yang bersemu merah.
Rasi mendongak. Tersenyum. Wajahnya ikut bersemu.
“Kita main petak umpet, yuk!” ajak Bian semangat.
Rasi mengangguk, lalu tangan kecil Bian menarik tangan mungil Rasi untuk ikut berdiri bersama. Dua bocah itu kulihat melenggang sambil berpegangan tangan. Senyum bahagia melekat di bibir mungil mereka.
Sepeninggalan mereka, aku beranjak dari tempat duduk memperhatikan mereka tadi. Kudekati pohon akasia, lalu jongkok tepat di posisi dua bocah tadi. Aku mengamati guratan yang dibuat oleh gadis kecil itu. Rasi sahabat sejati Bian. Guratan itu tepat dibuat di bawah guratan sembilan tahun lalu. Guratan yang kubuat dengan tangan kecilku. Guratan itu kini mulai tak jelas.
“Rasi sahabat sejati Bian? Siapa mereka?”
Aku menoleh. Ternyata lelaki yang kutunggu telah ikut jongkok di sebelahku. Memamerkan lesung pipinya yang selalu kusukai. Entah sejak kapan ia berada di sebelahku.
“Hanya sepasang bocah kecil seperti kita dulu.” ujarku seraya tersenyum dan bangkit dari posisi jngkok.
Lelaki itu ikut bangkit dan menyejajari langkahku. Ia adalah Evan. Wajah Evan bersinar. Lagi-lagi ia mengenakan kemeja putih. Oh iya, Evan selalu mengenakan baju itu sejak pesawat yang ia tumpangi untuk mengunjungiku mengalami kecelakaan. Kecelakaan itu harus merenggut nyawanya dari dunia. Tapi tidak bisa merenggutnya dari hatiku.
Aku mengandeng tangan Evan yang berkilauan.[]