Sudah
setengah jam lebih aku memperhatikan dan mengikuti gadis itu. Sekarang dia
menuangkan keranjang belanjaannya di meja kasir. Sambil menunggu Mbak Kasir
menghitung belanjaannya, gadis itu menoleh ke arahku. Sepertinya sadar kalau
aku perhatikan. Tapi, untung saja saat itu aku sedang berada di depan rak
makanan ringan, sehingga aku bisa berpura-pura sedang memilih-milih camilan.
Setelah membayar belanjaannya gadis
itu keluar dengan tergesa-gesa. Bahkan dia tidak mengambil uang kembalian. Aku
pun kembali mengikutinya. Namun, tetap menjaga jarak agar gadis itu tidak tahu
kalau aku mengikutinya.
Gadis itu memasuki sebuah kafe. Dan,
aku pun ikut masuk. Di dalam kafe tidak begitu ramai. Hanya ada tiga meja yang
di tempati. Gadis itu langsung menuju meja di sudut, dekat jendela. Sementara
aku memilih meja lain, tapi masih bisa berhadap-hadapan dengannya.
Meskipun aku tidak haus, tetapi aku
tetap memesan segelas fruit punch pada
waiter. Harganya lumayan mahal untuk standar uang sakuku. Tapi biarlah. Tidak
masalah aku harus mengorbankan uang sakuku. Asal rencanaku bisa berjalan
lancar.
Beberapa menit kemudian minumanku
datang. Pesanan gadis itu juga sudah ada di mejanya. Sekarang saatnya. Aku
mengangkat gelas minumku lalu membawanya ke meja gadis tersebut.
“Aku harap kamu tidak merasa
terganggu dengan keberadaanku,” kataku seraya menarik bangku di hadapan gadis
tersebut.
Kulihat
kening gadis itu mengeryit. Mungkin bingung dihampiri olehku.
“A-apa
kamu mengenalku?” tanya terbata-bata seraya menyelipkan helai rambutnya di
telinga.
Aku
menggeleng lalu tersenyum. Bukan senyum mesum tentunya.
“Ta-tapi
kamu dari tadi membuntutiku, kan? Apa kamu punya niat jahat padaku?” Gadis itu
gelisah. Wajah manisnya juga mulai pucat.
Sekali
lagi aku memberikannya senyuman. “Aku memang membuntutimu. Tapi, percayalah,
aku tidak punya sedikitpun niat jahat.”
Gadis
itu terlihat masih tidak percaya. Dia masih memandangiku takut-takut.
“Sejujurnya
aku sengaja membuntutimu hanya ingin berkenalan denganmu. Jujur, aku tidak bisa
menahan diri lagi untuk tidak berkenalan denganmu. Apa itu salah?”
Gadis
itu diam. Tapi aku tahu rasa takutnya mulai menguap. Kini dia tidak lagi
menatapku takut-takut. Melainkan menatapku lekat-lekat.
“Ya
tentu saja salah. Kau membuatku takut.”
Aku
tersenyum dan menatapnya teduh. “Maaf kalau aku membuatmu takut. Sebenarnya aku
tidak inginbertindak seperti itu. Tapi jujur, aku tidak tahu lagi bagaimana
caranya mengajak kamu berkenalan. Cuma cara ini yang terpikirkan olehku.
Percayalah, aku berkata jujur. Aku bukan orang jahat. Aku hanya cowok jujur,
yang tidak bisa membohongi diri sendiri lagi untuk ingin mengenalmu lebih
dekat.”
Gadis
itu semakin menatapku lekat. Seolah menilaiku. Memastikan ucapanku benar.
“Aku
berkata jujur. Aku jujur kalau ingin memuji kalau kamu manis sekali ...”
Gadis
itu membekap mulutnya dengan tangannya. Terlihat kaget.
“Aku
tahu kamu terkejut. Kamu pasti menganggap aku cowok gila. Cowok iseng. Tapi,
jujur aku tidak bisa membohongi kata hatiku. Kuharap kamu bukan orang yang
merasa heran dengan kejujuran. Kuharap lagi kamu adalah orang yang bisa
menghargai kejujuran tersebut.”
Gadis
itu tersenyum. Senyum pertama yang berhasil kudapatkan darinya.
“Namaku
Ferdi. Sekarang boleh aku tahu siapa namamu?”
“Devi.”
“Namamu
cantik sekali. Secantik orangnya.”
Hari
itu dengan kejujuranku, aku berhasil berkenalan dengan gadis manis yang
kubuntuti itu. Ternyata tidak hanya sampai di situ. Sebulan kemudian aku resmi
berpacaran dengannya. Ah, tidak menyangka gombalan cowok jujurku mujarab
sekali.
***
Gadis
berseragam putih abu-abu itu duduk di dalam halte. Sendirian. Wajah cantiknya
terlihat mengkilap karena keringat.
Aku datang mendekat. Gadis itu
menoleh saat aku duduk di sebelahnya.
“Aku harap kamu tidak terganggu
dengan keberadaanku,” kataku seraya melemparkan senyum terbaik yang kupunya.
Gadis itu mengangguk pelan lalu
kembali menatap ke jalanan.
“Sejujurnya, aku sudah sejak tadi
memperhatikanmu,” kataku lagi.
Gadis itu mengangguk-angguk kecil.
Tapi masih tetap tidak berkata-kata.
“Sejujurnya pula, aku sudah sejak
lama ingin duduk sedekat ini denganmu. Aku tidak menyangka hari ini keinginanku
menjadi nyata.”
Kini gadis itu menatapku lekat. Lalu
dia berkata, “Kamu mau apa?”
Aku kembali memberikannya senyum
terbaikku dan menjawab, “Tenang saja, aku tidak ingin berbuat jahat atau iseng
padamu. Aku cowok baik-baik. Kalau boleh jujur, aku hanya ingin berkelanan
denganmu. Jujur, aku tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak berkenalan
denganmu.”
“Oh begitu.”
“Mungkin kamu akan menganggap aku
gila. Tapi, aku akan marah pada diriku sendiri kalau tidak berkata jujur padamu
... kalau kamu cantik sekali.”
Gadis
itu mendengus. “Gila!”
“Jujur,
aku memang sudah gila. Tergila-gila padamu.”
Kali
ini gadis itu melotot padaku. Membuatnya terlihat semakin cantik. Dan aku masih
setia memasang senyum.
“Kurasa
aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama. Percayalah. Aku hanya ingin
berkata jujur. Kuharap kamu bisa memahami kejujuran kata-kataku. Dan kuharap
lagi bisa menghargainya.”
Gadis
itu mengangguk-angguk. “Ya. Ya. Ya. Aku memahami kejujuranmu. Lalu?”
Aku
berdiri di hadapannya lalu menyodorkan tangan. “Seperti yang kubilang tadi, aku
hanya ingin mengenalmu.”
“Ooh!”
“Namaku
Ferdi. Sekarang aku boleh tahu namamu?”
“Sisil.”
“Nama
yang can—”
Gadis
itu mengangkat tangannya lalu segera memotong ucapanku. “Aku tahu namaku
cantik. Secantik aku. Iya kan?”
Aku
mengangguk.
“Katamu
tadi kamu berkata jujur kalau menyukaiku kan?”
“Iya.”
Aku menjawab.
“Kalau
begitu boleh aku bertanya sesuatu?”
Aku
mengiyakan dengan senang hati.
“Kamu
kenal Devi?”
Aku
terkejut. Mulutku rasanya mau jatuh. Tergeragap aku bertanya, “Ka-kamu siapa?”
“Oh,
aku juga ingin jujur padamu. Aku akan marah pada diriku sendiri kalau tidak
mengatakan yang sebenarnya ... kalau aku ini sahabatnya Devi. Gadis yang kamu
buntuti dan ajak kenalan sebulan lalu. Seminggu kemudian kamu pacari. Kamu masih
ingat sama Devi, kan? Pasti masih ingat dong! Kan baru dua hari lalu kamu
putusin dia begitu saja.”
Jantungku
rasanya mau berhenti berdetak mendengar kata-kata Sisil. Jadi, gadis cantik
yang tengah kugombali ini sahabatnya Devi? Astaga!
Tanpa
buang-buang waktu lagi aku segera kabur dari hadapan Sisil. Ambil langkah
seribu. Dan, tak pernah menoleh lagi.
Sial!
Gombalan cowok jujurku kali ini kena batunya.
Kamar Hijau,
03 Januari 2015,
23.27 WIB
No comments:
Post a Comment