Tuesday, 23 February 2016

WAJIB BACA! LEWAT FACEBOOK DUA PENULIS INI PUN PUNYA ANAK.


 Lewat media sosial, dua penulis ini saling mengenal hati. Hingga akhirnya sepakat menikah dan mempunyai anak. Ketahui kisahnya di sini!

DeJavu: Dream Or Real?
Oleh Kamal Agusta dan El Eyra
           
Pernah tidak sih, membayangkan kalau kamu dibenci oleh sebagian besar teman sekelasmu? Gadis yang duduk diam itu sedang mengalaminya. Hanya karena mereka menganggap gadis itu aneh. Gadis yang tidak pantas untuk dijadikan teman. Karena sesuatu yang buruk akan datang pada orang-orang yang  dekat dengannya.
            Efrilla, sebut saja ia dengan nama itu. Ia akan menoleh padamu dan memberikan senyum paling sempurna yang dipunyainya. Gadis jenius yang seharusnya menjadi pujaan di tempat ia menuntut ilmu. Selain karena otaknya yang encer, ia juga memiliki wajah yang cantik. Sayangnya kecerdasan dan kecantikan bisa jadi tidak berguna jika kamu memiliki sisi yang tidak dapat diterima oleh manusia lainnya.
            Efrilla duduk memunggungi sebatang pohon akasia di taman sekolah. Ia berdiam diri di sana sejak bel istirahat berbunyi. Hanya untuk memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Setidaknya dengan begini, ia bisa sedikit bernapas lega. Tidak ada mata yang memandanginya dengan pandangan yang ganjil, tidak ada perkataan yang membuatnya terluka. Mungkin menyendiri adalah keahlian terbaik yang Tuhan berikan untuk melindunginya.
            Nah, kabar baiknya, walau ia tidak memiliki banyak teman, ia masih memiliki dua orang sahabat yang sangat peduli dengannya. Apa pun yang terjadi, meski Efrila memiliki kecenderungan untuk mendatangkan sesuatu yang buruk bagi mereka. Mereka tidak peduli, karena mereka percaya, itu bukan keinginan Efrilla.
            “Efrillaaa, kamu kemana aja sih? Tahu nggak, paniknya aku nyariin kamu,” kata Voni begitu mendapati Efrilla di taman sekolah. Voni—satu dari dua orang sahabat Efrilla—langsung duduk di samping gadis itu.
            Efrilla hanya mengulum senyum, “Maaf, aku keluar nggak bilang-bilang dulu. Zaza mana?”
            Voni merapikan rambutnya yang beterbangan diterpa angin, “Dia juga nyariin kamu. Takutnya kamu dikunciin Ferdy lagi di toilet kayak kemarin. Habisnya kamu juga sih, istirahat langsung keluar nggak bilang-bilang. Biasanya kamu kan ngajakin kita.”
            “Iya, iya ... tadi aku juga sudah minta maaf, tiba-tiba aku dapat penglihatan lagi.” Efrilla mulai bercerita. “penglihatan yang sama, sebulan ini hanya itu yang ada di mimpi-mimpiku.”
            “Cowok itu lagi?” tanya Voni memastikan.
            Efrila tidak menjawab, ia hanya tersenyum.
            “Mungkin dia yang akan melepas kutukan kamu,” tukas Voni membalas senyum Efrilla.
            “Apaan sih kamu. Kutukan? Aku nggak pernah dikutuk kok, kamu tuh kebanyakan nonton film animasi! Aku hanya berbeda, kamu kan tahu sendiri kalau ....”
            Belum sempat Efrilla meneruskan kalimatnya, seseorang datang sambil berteriak, “Efrillaaaaaaaa, kamu harus tahu tentang ini!”
            Efrilla terdiam, ia melihat Zaza berlari ke arahnya. Ada apa?
***
Efrilla
            Setelah pulang sekolah, aku berdiam diri di depan cermin, mungkin cukup lama. Bertanya-tanya, apa yang salah denganku? Cantik? Hmm, kurasa itu bukan kesalahan, itu anugrah yang diberikan Tuhan. Cerdas? Itu juga bukan kesalahan, tapi suatu kekuasaan Tuhan. Berbeda? Ya, itulah masalahnya, aku berbeda dari yang lain.
            Mama meninggal karena melahirkanku, Papa pergi meninggalkan aku dan memilih tinggal bersama istrinya yang baru. Teman-teman yang dekat denganku, pasti akan memperoleh kesialan. Dinda, baru saja kami berkenalan saat masuk sekolah, ia langsung sakit. Rasta, ia kecelakaan saat kami hendak belajar kelompok. Martin, sehari jadian denganku, ia meninggal. Masih banyak yang mendapat hal serupa jika berdekatan denganku. Aku kesepian, aku sendirian ... andai mereka tahu betapa sulit semua ini untuk kuhadapi.
            Dulu, aku gadis yang normal, memiliki banyak teman, selalu menjadi idola di sekolah karena prestasi akademik yang kuperoleh. Tapi semua itu hancur berkeping-keping saat aku mulai berbeda, tepatnya saat aku mendapat mimpi, mendapat penglihatan akan masa depan. Kelebihan yang harus dibayar mahal. Bagaimana cara melepaskan diri dari semua ini? Entahlah, aku tidak tahu.
Yang membuatku lega, setidaknya aku masih memiliki dua orang sahabat yang ada saat suka maupun duka. Juga Kakek yang tinggal bersamaku. Namun bagiku, mungkin meninggalkan adalah pilihan yang terbaik untuk sekarang ini.
“Kamu mendapat beasiswa pertukaran pelajar itu, Efrilla!” Itu kata Zaza tadi pagi. Kata-kata yang masih terngiang jelas dalam benakku.
Separuh hatiku sangat bahagia, separuhnya lagi bersedih. Bahagia karena aku akan memulai hidup baru, sedih karena harus meninggalkan orang-orang yang kusayangi. Tapi kembali lagi pada hal yang sama, bahwa meninggalkan adalah pilihan terbaik untuk saat ini. Ya, meninggalkan ....
***
Darrel
            Langit London cerah dengan sinar matahari yang begitu hangat pagi ini. Namun tidak denganku. Pagi ini, aku terpaksa tersaruk-saruk menyeret tubuhku memasuki gedung sekolahku, Newton High School, dengan mata mengantuk.
            Semalam aku terbangun dini hari lagi karena bermimpi. Bukan mimpi seram, namun agak sedikit aneh. Mimpi itu seolah nyata. Aku sedang bersama seorang gadis, berjalan kaki di pusat kota London menikmati hangat matahari di musim panas dengan obrolan menarik yang seolah tiada habisnya. Aku merasa gadis itu semacam my girlfriend, ada chemistry yang mengikat kami. Dan, saat aku terbangun aku sudah tidak mengingat lagi wajahnya. Satu-satu yang kuingat dari gadis yang menjadi pacarku di dalam mimpi itu hanya suaranya. Ini sungguh aneh, bukan?
            “Kau tidak apa-apa?” tanyaku saat menabrak seorang murid perempuan ketika berbelok di koridor menuju kelas sejarah.
            Murid itu memungut buku-buku beserta sebuah  kertas denah sekolah. Dan, saat gadis itu melihat padaku, matanya membulat besar. Mata bulatnya yang hitam dan jernih seolah menimbulkan desiran aneh di dadaku. Kantukku menguap. Ada tarikan aneh yang membuatku merasa dekat dengannya. Padahal aku baru pertama kali melihatnya.
            Gadis itu masih diam dengan ekspresi yang sulit kumengerti, antara bingung, terkejut, senang, juga … entahlah! Dan, itu membuatku merasa khawatir.
            Are you okay?” tanyaku sambil mengamatinya. Mata gadis itu mengerjap lalu menggeleng cepat sambil mengucapkan sesuatu dalam bahasa yang tidak kumengerti sama sekali. Keningku makin berkerut.
            “Aku tidak mengerti yang kaubicarakan.”
            “Oh,” gadis itu terkesiap. “Aku tidak apa-apa.”
            “Syukurlah,” ucapku lega. Kelegaan yang aneh.
            “Maaf,” gadis itu masih menatapku, “apa kau … Darrel?”
            Detik itu juga aku seperti tersengat aliran listrik saat mendengar gadis itu menyebut namaku. Suaranya mengingatkanku akan seseorang yang baru saja kupikirkan. Gadis dalam mimpiku.
***
Efrilla
            “Maaf, apa kau … Darrel?”
            Jantungku bergemuruh saat tanpa sadar bibirku menyebut satu nama yang tiba-tiba terlintas di benakku. Aku tidak pernah mengenal nama itu, tapi hatiku berkata sebaliknya.
Anak laki-laki berwajah tirus, kulit putih agak sedikit merah, dan penuh bintik-bintik hitam di hidung itu menatapku dengan mata hijau tosca-nya yang sudah sering kulihat. Aku balas menatapnya, mencoba meyakinkan bahwa aku benar-benar melihat mata itu. Sekarang aku tidak salah lagi, mata hijau tosca dan wajah itu memang yang sering hadir di mimpiku. Perutku langsung tergelitik seolah ada yang berterbangan dengan liarnya.
“Kau Darrel?” ulangku, kini penuh harap.
Anak laki-laki itu mengangguk kecil. “Kau … Efrilla?” tanyanya balik dalam bahasa inggris yang fasih dengan aksen british yang kental.
Dan, saat mendengarnya menyebut namaku, jantungku berdetak berpuluh-puluh kali lipat dari biasanya. Detak jantung yang tentu saja tidak normal.
***
Darrel
            Efrilla. Begitulah nama gadis bermata bulat dengan warna hitam jernih dan memiliki garis wajah asia itu. Aku merasa ini ajaib, bahkan lebih ajaib daripada tujuh keajaiban dunia. Bertemu secara nyata dengan gadis yang selama ini hanya kau temui dan kenal di dunia mimpi, kau pasti akan berpikir ini juga ajaib kan?
            Sebulan sudah berlalu sejak pertemuanku dengan Efrilla. Ternyata Efrila adalah peserta exchange student dari Indonesia. Dan di pagi pertemuan pertama kami itu adalah hari pertama dia memulai belajar di sekolahku.
            Sejak hari itu aku dan Efrila selalu bersama-sama, baik di kelas, di kantin, bahkan aku sudah beberapa kali bermain ke flat-nya yang tidak jauh dari sekolah, cukup berjalan kaki saja untuk sampai ke flat-nya. Aku juga selalu membantunya bila mengalami kesulitan. Bahkan saat weekend pun kami sering melewatinya bersama-sama dengan naik kereta bawah tanah atau berjalan-jalan di Carnaby, memanjakan kulit dengan hangat matahari sambil menonton pertunjukan pengamen jalanan yang meraup uang di sepanjang trotoar Carnaby.
            “Aku menyukai musik klasik,” bisik Efrilla dengan pandangan takjub pada sekumpulan pria-pria muda yang memainkan bermacam alat musick yang terdengar semacam lagu pertunjukan opera. “Ini sungguh mengagumkan!”
            Bibirku tersenyum mendengar nada antusias dan puas dari suaranya. “Aku senang bila kau menyukainya, Efrilla.”
            “Kau sungguh lelaki yang baik, Darrel.” Aku bisa melihat rona merah di pipinya. Wajahku ikut memerah karena debaran aneh yang menyelusup di dadaku.
Dan, entah sejak kapan mulanya, timbul keinginan dalam hatiku untuk selalu  melihat gadis itu tersenyum. Bahagia. Apa ini tanda-tanda aku mulai jatuh hati pada gadis Indonesia ini?
***
Dini hari itu, Efrilla terbangun begitu mendapat gedoran pintu dari luar flat-nya. Peluh sebesar biji jagung menetes dari dahinya. Ada perasaan cemas yang merayapi benaknya. Gedoran kedua terdengar lagi, kali ini diikuti dengan sebuah suara, “Efrilla, are you okay? You screaming when sleeping.”
Itu pasti suara Mr. Gilbert, tetangganya. Dengan suara parau Efrilla menyahut, “I am okay, Sir. Don’t worry.”
Sudah lewat tengah malam untuk menyambut seseorang meskipun ia dua kali lebih tua dibanding umurmu. Untuk itu Efrilla urung membukakan pintu. Lagipula Mr. Gilbert pasti mengerti. Meskipun berada di lingkungan baru, Efrilla masih bisa menjaga adat istiadat Indonesia.
Efrilla langsung turun dari ranjangnya, ia segera meraih ponsel dan membuat sambungan telepon pada seseorang. Beberapa kali Efrilla menekan keypad pada ponselnya. “Hmh, tidak diangkat,” desah Efrilla cemas.
Efrilla terus menelepon orang itu sambil berdiri di daun jendela. Menatap panorama malam yang menenangkan. Ia berdiri di sana sampai matahari terbit. Takut jika ia kembali tertidur, maka ia mendapati mimpi itu lagi.
***
Darrel
            Pagi itu aku bangun dari tidur dengan perasaan cemas. Semalam aku tertidur begitu pulasnya sampai-sampai tidak mendengar dering ponselku yang berbunyi berkali-kali. Setelah kuperiksa di sana tertera nama Efrilla, menelepon sebanyak tiga belas kali.
            Aku segera menghubunginya, takut jika terjadi sesuatu terhadapnya atau ia butuh bantuanku. Namun sialnya nomor Efrilla tidak aktif. Berkali-kali aku mencoba menghubunginya, berkali-kali pula ada suara operator yang memberitahukan nomor Efrilla tidak aktif dan berada di luar jangkauan.
            Sungguh, aku ingin memaki diriku sendiri. Kenapa semalam aku tidak terbangun ketika Efrilla menelepon? Maka hari ini aku berangkat ke sekolah lebih awal dari biasanya. Aku ingin cepat bertemu dengan Efrilla.
            Beruntung karena begitu sampai di halaman sekolah, aku melihat Efrilla duduk di teras kelas. Ia sedang membaca buku yang lumayan tebal dan mendengarkan sesuatu melalui earphone-nya. Aku segera menghampirinya dan duduk di sampingnya.
            “Efrilla,” kutepuk bahunya agar ia memperhatikanku, “kenapa kau meneleponku semalam? Aku cemas sekali, kukira ada sesuatu yang buruk terjadi padamu. Pagi ini aku menelponmu tapi nomormu tidak aktif. Ada apa sebenarnya?”
            Efrilla menutup buku yang ia baca, kemudian melepaskan earphone yang melekat pada telinganya. Ia melihatku dengan mata yang ganjil. “Apa kita saling mengenal?” tanyanya.
            Deg! Seperti ada sesuatu yang menohok hatiku. Sakit sekali. Perlu beberapa detik bagiku untuk menguasai diri. “Efrilla, ada apa denganmu?” tanyaku memastikan.
            “Maaf, aku tidak terbiasa berbicara dengan orang yang belum kukenal.” Efrilla beranjak dari duduknya, ia pergi tanpa memandangku, bahkan menoleh pun tidak.
            Aliran darahku beku. Apa yang terjadi padamu, Efrilla?
***
Efrilla
            Tahukah apa yang paling kutakutkan di dunia ini? Kalau kau menebak kematianku, itu salah besar. Mungkin aku malah akan bahagia jika aku mati. Tapi melihat orang yang kau sayangi mati dalam mimpimu, bagaimana perasaanmu?
            Mungkin jika kau orang Jawa, itu berarti umur panjang untuk orang yang kauimpikan. Namun mimpiku, tidak seperti itu. Apa yang kumimpikan bisa menjadi kenyataan. Itulah sebabnya benci bermimpi!
            Martin—cinta pertamaku— meninggal karena terjatuh saat main flying fox. Kepalanya terbentur di bebatuan. Cukup mengenaskan untuk dimimpikan bukan? Sayangnya mimpi itu hadir lima menit sebelum kejadian berlangsung. Bagaimana aku dapat mencegahnya? Bahkan menelepon untuk mengatakan jangan naik saja aku tidak bisa melakukannya. Semuanya terjadi begitu cepat.
            Sekarang, aku bermimpi tentang Darrel, bukan mimpi seperti biasanya. Namun bermimpi tentang kematian Darrel. Sudah kuduga ini akan terjadi suatu saat nanti, karena kautahu sendiri, aku dapat mendatangkan kesialan bagi orang-orang yang dekat denganku. Tapi tidak kusangka mimpi itu akan datang secepat ini.
            Pagi itu aku melihat Darrel. Ia baik-baik saja. Apa kautahu betapa leganya aku bisa melihatnya? Semua itu tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata karena kupikir aku tidak bisa melihatnya lagi.
            Aku sudah membuat keputusan final tentang hal ini. Semalam suntuk aku tidak tidur hanya untuk memikirkan apa yang harus kulakukan ketika aku melihatnya masih hidup. Sesuatu yang bahkan tidak bisa aku peroleh ketika bersama Martin.
            Aku memutuskan untuk menjauh darinya, sejauh-jauhnya. Hanya ini satu-satunya cara untuk menyelamatkannya, untuk membuatnya tetap hidup. Bersama denganku tidak akan membuat keadaan menjadi baik, malah mungkin sebaliknya. Aku tidak ingin mendapat mimpi tentang kematian lagi, lebih-lebih kematian orang yang sekarang ini mengisi hatiku—Darrel.
            Saat aku bertemu dengannya di teras tadi, aku mengatakan sesuatu yang begitu jahat padanya. “Apa kita saling mengenal?”
Kau tahu bagaimana reaksinya? Shock, tentu saja. Aku langsung berdiri dan pergi meninggalkannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, yang kutahu ia beberapa kali memanggil namaku dan berusaha mengejarku.
***
Darrel
            Efrilla tidak mengenalku? Ini pasti salah. Efrilla pasti hanya pura-pura tidak mengenalku. Mungkin ia kesal karena insiden aku yang tidak mengangkat    teleponnya semalam. Ya, gadis itu hanya marah sehingga menghindariku.
            Seusai sekolah siang ini, aku bertekad akan meminta maaf pada Efrilla. Tapi, gadis itu ternyata sudah hilang entah kemana. Aku segera mencarinya yang akhirnya kutemui di persimpangan jalan menuju flat-nya.
            Aku bisa menyadari wajah tidak suka Efrilla saat aku mencegat langkahnya. Tanpa bisa kuduga, Efrilla langsung menyerangku dengan bentakkan yang sangat menyakitkan.
            “Sudah kubilang aku tidak mengenalmu. Aku sangat muak dengan orang asing yang sok kenal. Mulai sekarang jangan ganggu aku lagi atau kau akan menyesal karena menguntitku!”
            Setelah itu Efrilla menyeberang jalan, meninggalkanku yang terguncang oleh bentakannya. menyadarkanku bahwa Efrilla tidak berpura-pura.
***
Efrilla
Aku tahu apa yang kulakukan tadi sungguh keterlaluan, tapi aku tidak punya cara lain lagi agar Darrel selamat. Aku tidak ingin hidupnya berakhir seperti mimpi burukku yang selalu jadi kenyataan bila ia masih di dekatku.
            Air mataku jatuh saat menyeberangi jalan. Aku tak berniat menyusutnya. Kubiarkan air mata itu terus berguguran. Saat ini aku ingin menangis. Bukankah tangisan merupakan proyeksi untuk melepaskan rasa?
            Namun, tubuhku membeku saat mendengar decitan rem, disusul pekikan yang memekakkan telinga. Jantungku langsung memburu oleh ketakutan yang menyelubungiku tiba-tiba. Saat aku berbalik ke sumber keributan, ketakutan itu semakin menjadi-jadi.
            Di tengah jalan, di depan mobil boks yang berhenti secara tidak wajar, aku melihat sosok menggelepar dan bersimbah darah. Selanjutnya aku berteriak histeris dan berlari seperti orang gila ke sosok seperti sedang merenggang nyawa. Darrel.
            “K-kau mengingatku,” ucap Darrel susah payah saat aku memeluk dan memanggil namanya dengan histeris. Darrel tersenyum, membuatku makin merasa hancur. “K-kau mengingatku, E-Ef. Aku s-senang kau m-mengingatku.”
            Setelah mengucapkan itu tubuh Darrel menegang sesaat lalu terkulai tak berdaya. Aku tak lagi mendengar deru napasnya, tak lagi merasakan detak jantungnya. Mata tosca yang kusukai itu tertutup untuk selamanya. Darrel telah pergi. Dan, semua karena mimpiku. Karena berada di dekatku. Karena aku. Aku sudah membunuh Darrel. Aku seorang pembunuh!    
Kenyataan itu membuatku meratap memanggil-manggil nama Darrel seperti orang gila.  
***
            Efrilla terbangun tengah malam. Napasnya memburu. Lagi-lagi ia bermimpi tentang Darrel. Tentang kematian anak laki-laki itu. Ia menangis tersedu-sedu karena mimpi itu sekarang sudah jadi kenyataan. Darrel telah tiada. Dan, semua karena keabnormalan yang ia miliki.
            Keesokan paginya Efrilla berangkat ke sekolah dengan mata merah dan sembab. Saat ia memasuki gedung sekolah, murid-murid lain memperhatikannya lalu saling berbisik seperti mempergunjingkannya. Sekarang mereka pasti tahu bahwa Efrilla adalah gadis aneh yang membawa orang-orang terdekatnya menuju kematian.
            Efrilla tak berani menangkat wajahnya. ia berjalan dengan kepala menunduk. Orang-orang masih saja melihatnya lalu berdengung membicarakannya. Karena berjalan dengan kepala tertunduk Efrilla tanpa sengaja menabrak seseorang. Buku-buku yang dibawanya berjatuhan di lantai.
            Efrilla bermaksud ingin meminta maaf. Namun, saat melihat siapa yang ada di depannya, mulutnya terkunci. Ia tidak mampu bersuara. Sosok itu terus melihat Efrilla.
            Are you okay?” anak laki-laki itu bertanya khawatir.
            Efrilla linglung. Apakah sekarang ia sedang bermimpi lagi? Atau ini benar-benar nyata? oceh Efrilla dalam bahasa Indonesia. Ia sudah seperti orang gila yang tidak bisa lagi membedakan dimana ia berada sekarang. Mimpi dan nyata tak ada lagi pembedanya.
            Anak laki-laki itu masih berdiri di hadapannya, memandangnya dengan khawatir. Tiba-tiba Efrilla menangis antara bahagia dan ketakutan. Dan, hal terakhir yang diingatnya, anak laki-laki bermata tosca itu mengabur dari pandangannya.[]
* SELESAI *

Biodata Penulis

El Eyra, penulis asli kudus ini sempat berhenti berkarya sebelum akhirnya memutuskan mendalami sastra Jawa. Karya teranyarnya dimuat di majalah Story dan Kalawarti Penjabar.
Kamal Agusta, penulis asal Pekanbaru ini tidak pernah terpikir akan menjadi penulis karena semasa sekolah ia tidak menyukai pelajaran bahasa Indonesia, maupun Bahasa lainnya. Jadi, bila sekarang ia bercita-cita jadi penulis, semua adalah keajaiban. Kamal dapat dihubungi di @KAgusta dan 083186972428.
Kedua penulis dipertemukan oleh jejaring sosial yang diciptakan Mark Zuckerberg lewat sebuah grup kepenulisan. Samudera Hindia yang memisahkan kedua penulis ini ternyata tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk bersahabat dan berkolaborasi menulis cerpen.

1 comment:

  1. penelitian yang menarik nih kak.. kalau ingin tahu tentang cara membuat website yukk disini saja.. terimakasih

    ReplyDelete