Lewat media sosial, dua penulis ini saling mengenal hati. Hingga akhirnya sepakat menikah dan mempunyai anak. Ketahui kisahnya di sini!
DeJavu: Dream Or Real?
Oleh Kamal
Agusta dan El Eyra
Pernah tidak sih, membayangkan kalau kamu dibenci oleh
sebagian besar teman sekelasmu? Gadis yang duduk diam itu sedang mengalaminya.
Hanya karena mereka menganggap gadis itu aneh. Gadis yang tidak pantas untuk
dijadikan teman. Karena sesuatu yang buruk akan datang pada orang-orang yang dekat dengannya.
Efrilla,
sebut saja ia dengan nama itu. Ia akan menoleh padamu dan memberikan senyum
paling sempurna yang dipunyainya. Gadis jenius yang
seharusnya menjadi pujaan di tempat ia menuntut ilmu.
Selain karena otaknya yang encer, ia juga memiliki wajah yang cantik. Sayangnya
kecerdasan dan kecantikan bisa jadi tidak berguna jika kamu memiliki sisi yang
tidak dapat diterima oleh manusia lainnya.
Efrilla
duduk memunggungi sebatang pohon akasia di taman sekolah. Ia berdiam diri di
sana sejak bel istirahat berbunyi. Hanya untuk memastikan bahwa dirinya akan
baik-baik saja. Setidaknya dengan begini, ia bisa sedikit bernapas lega. Tidak
ada mata yang memandanginya dengan pandangan yang ganjil, tidak ada perkataan
yang membuatnya terluka. Mungkin menyendiri adalah keahlian terbaik yang Tuhan
berikan untuk melindunginya.
Nah, kabar
baiknya, walau ia tidak memiliki banyak teman, ia masih memiliki dua orang sahabat
yang sangat peduli dengannya. Apa pun yang terjadi, meski Efrila memiliki
kecenderungan untuk mendatangkan sesuatu yang buruk bagi mereka. Mereka tidak
peduli, karena mereka percaya, itu bukan keinginan Efrilla.
“Efrillaaa…, kamu kemana aja sih? Tahu nggak, paniknya aku nyariin
kamu,” kata Voni begitu mendapati Efrilla di taman sekolah. Voni—satu dari dua
orang sahabat Efrilla—langsung duduk di samping gadis itu.
Efrilla hanya
mengulum senyum, “Maaf, aku keluar nggak bilang-bilang dulu. Zaza mana?”
Voni
merapikan rambutnya yang beterbangan diterpa angin, “Dia juga nyariin kamu.
Takutnya kamu dikunciin Ferdy lagi di toilet kayak kemarin. Habisnya kamu juga
sih, istirahat langsung keluar nggak bilang-bilang. Biasanya kamu kan ngajakin
kita.”
“Iya,
iya ... tadi aku juga sudah minta maaf, tiba-tiba aku dapat penglihatan lagi.”
Efrilla mulai bercerita. “penglihatan yang sama, sebulan ini hanya itu yang ada
di mimpi-mimpiku.”
“Cowok
itu lagi?” tanya Voni memastikan.
Efrila
tidak menjawab, ia hanya tersenyum.
“Mungkin
dia yang akan melepas kutukan kamu,” tukas Voni membalas senyum Efrilla.
“Apaan
sih kamu. Kutukan? Aku nggak pernah dikutuk kok, kamu tuh kebanyakan nonton
film animasi! Aku hanya berbeda, kamu kan tahu sendiri kalau ....”
Belum
sempat Efrilla meneruskan kalimatnya, seseorang datang sambil berteriak, “Efrillaaaaaaaa,
kamu harus tahu tentang ini!”
Efrilla
terdiam, ia melihat Zaza berlari ke arahnya. Ada apa?
***
Efrilla
Setelah
pulang sekolah, aku berdiam diri di depan cermin, mungkin cukup lama.
Bertanya-tanya, apa yang salah denganku? Cantik? Hmm, kurasa itu bukan
kesalahan, itu anugrah yang diberikan Tuhan. Cerdas? Itu juga bukan kesalahan,
tapi suatu kekuasaan Tuhan. Berbeda? Ya, itulah masalahnya, aku berbeda dari
yang lain.
Mama
meninggal karena melahirkanku, Papa pergi meninggalkan aku dan memilih tinggal
bersama istrinya yang baru. Teman-teman yang dekat denganku, pasti akan
memperoleh kesialan. Dinda, baru saja kami berkenalan saat masuk sekolah, ia
langsung sakit. Rasta, ia kecelakaan saat kami hendak belajar kelompok. Martin,
sehari jadian denganku, ia meninggal. Masih banyak yang mendapat hal serupa
jika berdekatan denganku. Aku kesepian, aku sendirian ... andai mereka tahu
betapa sulit semua ini untuk kuhadapi.
Dulu,
aku gadis yang normal, memiliki banyak teman, selalu menjadi idola di sekolah
karena prestasi akademik yang kuperoleh. Tapi semua itu hancur berkeping-keping
saat aku mulai berbeda, tepatnya saat aku mendapat mimpi, mendapat penglihatan
akan masa depan. Kelebihan yang harus dibayar mahal. Bagaimana cara melepaskan
diri dari semua ini? Entahlah, aku tidak tahu.
Yang membuatku lega, setidaknya aku masih memiliki dua
orang sahabat yang ada saat suka maupun duka. Juga Kakek yang tinggal
bersamaku. Namun bagiku, mungkin meninggalkan adalah pilihan yang terbaik untuk
sekarang ini.
“Kamu mendapat beasiswa pertukaran pelajar itu, Efrilla!” Itu kata Zaza tadi pagi. Kata-kata yang masih
terngiang jelas dalam benakku.
Separuh hatiku sangat bahagia, separuhnya lagi bersedih.
Bahagia karena aku akan memulai hidup baru, sedih karena harus meninggalkan
orang-orang yang kusayangi. Tapi kembali lagi pada hal yang sama, bahwa
meninggalkan adalah pilihan terbaik untuk saat ini. Ya, meninggalkan ....
***
Darrel
Langit London cerah dengan sinar
matahari yang begitu hangat pagi ini. Namun tidak denganku. Pagi ini, aku
terpaksa tersaruk-saruk menyeret tubuhku memasuki gedung sekolahku, Newton High
School, dengan mata mengantuk.
Semalam aku terbangun dini hari lagi
karena bermimpi. Bukan mimpi seram, namun agak sedikit aneh. Mimpi itu seolah
nyata. Aku sedang bersama seorang gadis, berjalan kaki di pusat kota London
menikmati hangat matahari di musim panas dengan obrolan menarik yang seolah
tiada habisnya. Aku merasa gadis itu semacam my girlfriend, ada chemistry yang
mengikat kami. Dan, saat aku terbangun aku sudah tidak mengingat lagi wajahnya.
Satu-satu yang kuingat dari gadis yang menjadi pacarku di dalam mimpi itu hanya
suaranya. Ini sungguh aneh, bukan?
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku saat
menabrak seorang murid perempuan ketika berbelok di koridor menuju kelas
sejarah.
Murid itu memungut buku-buku beserta
sebuah kertas denah sekolah. Dan, saat
gadis itu melihat padaku, matanya membulat besar. Mata bulatnya yang hitam dan
jernih seolah menimbulkan desiran aneh di dadaku. Kantukku menguap. Ada tarikan
aneh yang membuatku merasa dekat dengannya. Padahal aku baru pertama kali
melihatnya.
Gadis itu masih diam dengan ekspresi
yang sulit kumengerti, antara bingung, terkejut, senang, juga … entahlah! Dan,
itu membuatku merasa khawatir.
“Are
you okay?” tanyaku sambil mengamatinya. Mata gadis itu mengerjap lalu
menggeleng cepat sambil mengucapkan sesuatu dalam bahasa yang tidak kumengerti
sama sekali. Keningku makin berkerut.
“Aku tidak mengerti yang
kaubicarakan.”
“Oh,” gadis itu terkesiap. “Aku
tidak apa-apa.”
“Syukurlah,” ucapku lega. Kelegaan
yang aneh.
“Maaf,” gadis itu masih menatapku,
“apa kau … Darrel?”
Detik itu juga aku seperti tersengat
aliran listrik saat mendengar gadis itu menyebut namaku. Suaranya
mengingatkanku akan seseorang yang baru saja kupikirkan. Gadis dalam mimpiku.
***
Efrilla
“Maaf, apa kau … Darrel?”
Jantungku bergemuruh saat tanpa
sadar bibirku menyebut satu nama yang tiba-tiba terlintas di benakku. Aku tidak
pernah mengenal nama itu, tapi hatiku berkata sebaliknya.
Anak
laki-laki berwajah tirus, kulit putih agak sedikit merah, dan penuh
bintik-bintik hitam di hidung itu menatapku dengan mata hijau tosca-nya yang sudah sering kulihat. Aku
balas menatapnya, mencoba meyakinkan bahwa aku benar-benar melihat mata itu.
Sekarang aku tidak salah lagi, mata hijau tosca
dan wajah itu memang yang sering hadir di mimpiku. Perutku langsung
tergelitik seolah ada yang berterbangan dengan liarnya.
“Kau
Darrel?” ulangku, kini penuh harap.
Anak
laki-laki itu mengangguk kecil. “Kau … Efrilla?” tanyanya balik dalam bahasa inggris yang fasih dengan aksen british yang kental.
Dan,
saat mendengarnya menyebut namaku, jantungku berdetak berpuluh-puluh kali lipat
dari biasanya. Detak jantung yang tentu saja tidak normal.
***
Darrel
Efrilla. Begitulah nama gadis
bermata bulat dengan warna hitam jernih dan memiliki garis wajah asia itu. Aku
merasa ini ajaib, bahkan lebih ajaib daripada tujuh keajaiban dunia. Bertemu secara nyata
dengan gadis yang selama ini hanya kau temui dan kenal di dunia mimpi, kau
pasti akan berpikir ini juga ajaib kan?
Sebulan sudah berlalu sejak
pertemuanku dengan Efrilla. Ternyata Efrila adalah peserta exchange student dari Indonesia. Dan di pagi pertemuan pertama kami
itu adalah hari pertama dia memulai belajar di sekolahku.
Sejak hari itu aku dan Efrila selalu
bersama-sama, baik di kelas, di kantin, bahkan aku sudah beberapa kali bermain
ke flat-nya yang tidak jauh dari sekolah,
cukup berjalan kaki saja untuk sampai ke flat-nya.
Aku juga selalu membantunya bila mengalami kesulitan. Bahkan saat weekend pun kami sering melewatinya
bersama-sama dengan naik kereta bawah tanah atau berjalan-jalan di Carnaby,
memanjakan kulit dengan hangat matahari sambil menonton pertunjukan pengamen
jalanan yang meraup uang di sepanjang trotoar Carnaby.
“Aku menyukai musik klasik,” bisik
Efrilla dengan pandangan
takjub pada sekumpulan pria-pria muda yang memainkan bermacam alat musick yang
terdengar semacam lagu pertunjukan opera. “Ini sungguh mengagumkan!”
Bibirku tersenyum mendengar nada
antusias dan puas dari suaranya. “Aku senang bila kau menyukainya, Efrilla.”
“Kau sungguh lelaki yang baik,
Darrel.” Aku bisa melihat rona merah di pipinya. Wajahku ikut memerah karena
debaran aneh yang menyelusup di dadaku.
Dan,
entah sejak kapan mulanya, timbul keinginan dalam hatiku untuk selalu melihat gadis itu tersenyum. Bahagia. Apa ini
tanda-tanda aku mulai jatuh hati pada gadis Indonesia ini?
***
Dini hari itu, Efrilla terbangun begitu mendapat gedoran
pintu dari luar flat-nya. Peluh
sebesar biji jagung menetes dari dahinya. Ada perasaan cemas yang merayapi
benaknya. Gedoran kedua terdengar lagi, kali ini diikuti dengan sebuah suara,
“Efrilla, are you okay? You screaming
when sleeping.”
Itu pasti suara Mr. Gilbert, tetangganya. Dengan suara
parau Efrilla menyahut, “I am okay, Sir. Don’t
worry.”
Sudah lewat tengah malam untuk menyambut seseorang
meskipun ia dua kali lebih tua dibanding umurmu. Untuk itu Efrilla urung
membukakan pintu. Lagipula Mr. Gilbert pasti mengerti. Meskipun berada di
lingkungan baru, Efrilla masih bisa menjaga adat istiadat Indonesia.
Efrilla langsung turun dari ranjangnya, ia segera meraih
ponsel dan membuat sambungan telepon pada seseorang. Beberapa kali Efrilla
menekan keypad pada ponselnya. “Hmh,
tidak diangkat,” desah Efrilla cemas.
Efrilla terus menelepon orang itu sambil berdiri di daun
jendela. Menatap panorama malam yang menenangkan. Ia berdiri di sana sampai
matahari terbit. Takut jika ia kembali tertidur, maka ia mendapati mimpi itu
lagi.
***
Darrel
Pagi itu
aku bangun dari tidur dengan perasaan cemas. Semalam aku tertidur begitu
pulasnya sampai-sampai tidak mendengar dering ponselku yang berbunyi
berkali-kali. Setelah kuperiksa di sana tertera nama Efrilla, menelepon
sebanyak tiga belas kali.
Aku
segera menghubunginya, takut jika terjadi sesuatu terhadapnya atau ia butuh
bantuanku. Namun sialnya nomor Efrilla tidak aktif. Berkali-kali aku mencoba
menghubunginya, berkali-kali pula ada suara operator yang memberitahukan nomor
Efrilla tidak aktif dan berada di luar jangkauan.
Sungguh,
aku ingin memaki diriku sendiri. Kenapa semalam aku tidak terbangun ketika
Efrilla menelepon? Maka hari ini aku berangkat ke sekolah lebih awal dari
biasanya. Aku ingin cepat bertemu dengan Efrilla.
Beruntung
karena begitu sampai di halaman sekolah, aku melihat Efrilla duduk di teras
kelas. Ia sedang membaca buku yang lumayan tebal dan mendengarkan sesuatu
melalui earphone-nya. Aku segera
menghampirinya dan duduk di sampingnya.
“Efrilla,”
kutepuk bahunya agar ia memperhatikanku, “kenapa kau meneleponku semalam? Aku cemas
sekali, kukira ada sesuatu yang buruk terjadi padamu. Pagi ini aku menelponmu
tapi nomormu tidak aktif. Ada apa sebenarnya?”
Efrilla
menutup buku yang ia baca, kemudian melepaskan earphone yang melekat pada telinganya. Ia melihatku dengan mata
yang ganjil. “Apa kita saling mengenal?” tanyanya.
Deg!
Seperti ada sesuatu yang menohok hatiku. Sakit sekali. Perlu beberapa detik
bagiku untuk menguasai diri. “Efrilla, ada apa denganmu?” tanyaku memastikan.
“Maaf,
aku tidak terbiasa berbicara dengan orang yang belum kukenal.” Efrilla beranjak dari duduknya, ia pergi tanpa memandangku,
bahkan menoleh pun tidak.
Aliran
darahku beku. Apa yang terjadi padamu,
Efrilla?
***
Efrilla
Tahukah
apa yang paling kutakutkan di dunia ini? Kalau kau menebak kematianku, itu
salah besar. Mungkin aku malah akan bahagia jika aku mati. Tapi melihat orang
yang kau sayangi mati dalam mimpimu, bagaimana perasaanmu?
Mungkin
jika kau orang Jawa, itu berarti umur panjang untuk orang yang kauimpikan.
Namun mimpiku, tidak seperti itu. Apa yang kumimpikan bisa menjadi kenyataan.
Itulah sebabnya benci bermimpi!
Martin—cinta
pertamaku— meninggal karena terjatuh saat main flying fox. Kepalanya terbentur di bebatuan. Cukup mengenaskan
untuk dimimpikan bukan? Sayangnya mimpi itu hadir lima menit sebelum kejadian
berlangsung. Bagaimana aku dapat mencegahnya? Bahkan menelepon untuk mengatakan
jangan naik saja aku tidak bisa melakukannya. Semuanya terjadi begitu cepat.
Sekarang,
aku bermimpi tentang Darrel, bukan mimpi seperti biasanya. Namun bermimpi
tentang kematian Darrel. Sudah kuduga ini akan terjadi suatu saat nanti, karena
kautahu sendiri, aku dapat mendatangkan kesialan bagi orang-orang yang dekat
denganku. Tapi tidak kusangka mimpi itu akan datang secepat ini.
Pagi itu
aku melihat Darrel. Ia baik-baik saja. Apa kautahu betapa leganya aku bisa
melihatnya? Semua itu tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata karena kupikir aku
tidak bisa melihatnya lagi.
Aku sudah
membuat keputusan final tentang hal ini. Semalam suntuk aku tidak tidur hanya
untuk memikirkan apa yang harus kulakukan ketika aku melihatnya masih hidup.
Sesuatu yang bahkan tidak bisa aku peroleh ketika bersama Martin.
Aku
memutuskan untuk menjauh darinya, sejauh-jauhnya. Hanya ini satu-satunya cara
untuk menyelamatkannya, untuk membuatnya tetap hidup. Bersama denganku tidak
akan membuat keadaan menjadi baik, malah mungkin sebaliknya. Aku tidak ingin
mendapat mimpi tentang kematian lagi, lebih-lebih kematian orang yang sekarang
ini mengisi hatiku—Darrel.
Saat aku
bertemu dengannya di teras tadi, aku mengatakan sesuatu yang begitu jahat
padanya. “Apa kita saling mengenal?”
Kau tahu bagaimana reaksinya? Shock, tentu saja. Aku langsung berdiri dan pergi meninggalkannya. Aku
tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, yang kutahu ia beberapa kali memanggil
namaku dan berusaha mengejarku.
***
Darrel
Efrilla tidak mengenalku? Ini pasti
salah. Efrilla pasti hanya pura-pura tidak mengenalku. Mungkin ia kesal karena
insiden aku yang tidak mengangkat
teleponnya semalam. Ya, gadis itu hanya marah sehingga menghindariku.
Seusai sekolah siang ini, aku
bertekad akan meminta maaf pada Efrilla. Tapi, gadis itu ternyata sudah hilang
entah kemana. Aku segera mencarinya yang akhirnya kutemui di persimpangan jalan
menuju flat-nya.
Aku bisa menyadari wajah tidak suka
Efrilla saat aku mencegat langkahnya. Tanpa bisa kuduga, Efrilla langsung
menyerangku dengan bentakkan yang sangat menyakitkan.
“Sudah kubilang aku tidak
mengenalmu. Aku sangat muak dengan orang asing yang sok kenal. Mulai sekarang jangan
ganggu aku lagi atau kau akan menyesal karena menguntitku!”
Setelah itu Efrilla menyeberang
jalan, meninggalkanku yang terguncang oleh bentakannya. menyadarkanku bahwa
Efrilla tidak berpura-pura.
***
Efrilla
Aku
tahu apa yang kulakukan tadi sungguh keterlaluan, tapi aku tidak punya cara
lain lagi agar Darrel selamat. Aku tidak ingin hidupnya berakhir seperti mimpi
burukku yang selalu jadi kenyataan bila ia masih di dekatku.
Air mataku jatuh saat menyeberangi
jalan. Aku tak berniat menyusutnya. Kubiarkan air mata itu terus berguguran.
Saat ini aku ingin menangis. Bukankah tangisan merupakan proyeksi untuk
melepaskan rasa?
Namun, tubuhku membeku saat
mendengar decitan rem, disusul pekikan yang memekakkan telinga. Jantungku
langsung memburu oleh ketakutan yang menyelubungiku tiba-tiba. Saat aku
berbalik ke sumber keributan, ketakutan itu semakin menjadi-jadi.
Di tengah jalan, di depan mobil boks
yang berhenti secara tidak wajar, aku melihat sosok menggelepar dan bersimbah
darah. Selanjutnya aku berteriak histeris dan berlari seperti orang gila ke
sosok seperti sedang merenggang nyawa. Darrel.
“K-kau mengingatku,” ucap Darrel
susah payah saat aku memeluk dan memanggil namanya dengan histeris. Darrel
tersenyum, membuatku makin merasa hancur. “K-kau mengingatku, E-Ef. Aku
s-senang kau m-mengingatku.”
Setelah mengucapkan itu tubuh Darrel
menegang sesaat lalu terkulai tak berdaya. Aku tak lagi mendengar deru
napasnya, tak lagi merasakan detak jantungnya. Mata tosca yang kusukai itu tertutup untuk selamanya. Darrel telah
pergi. Dan, semua karena mimpiku. Karena berada di dekatku. Karena aku. Aku
sudah membunuh Darrel. Aku seorang pembunuh!
Kenyataan
itu membuatku meratap memanggil-manggil nama Darrel seperti orang gila.
***
Efrilla terbangun tengah malam.
Napasnya memburu. Lagi-lagi ia bermimpi tentang Darrel. Tentang kematian anak
laki-laki itu. Ia menangis tersedu-sedu karena mimpi itu sekarang sudah jadi
kenyataan. Darrel telah tiada. Dan, semua karena keabnormalan yang ia miliki.
Keesokan paginya Efrilla berangkat
ke sekolah dengan mata merah dan sembab. Saat ia memasuki gedung sekolah,
murid-murid lain memperhatikannya lalu saling berbisik seperti
mempergunjingkannya. Sekarang mereka pasti tahu bahwa Efrilla adalah gadis aneh
yang membawa orang-orang terdekatnya menuju kematian.
Efrilla tak berani menangkat
wajahnya. ia berjalan dengan kepala menunduk. Orang-orang masih saja melihatnya
lalu berdengung membicarakannya. Karena berjalan dengan kepala tertunduk
Efrilla tanpa sengaja menabrak seseorang. Buku-buku yang dibawanya berjatuhan
di lantai.
Efrilla bermaksud ingin meminta
maaf. Namun, saat melihat siapa yang ada di depannya, mulutnya terkunci. Ia
tidak mampu bersuara. Sosok itu terus melihat Efrilla.
“Are
you okay?” anak laki-laki itu bertanya khawatir.
Efrilla linglung. Apakah sekarang ia sedang bermimpi lagi?
Atau ini benar-benar nyata? oceh Efrilla dalam bahasa Indonesia. Ia sudah
seperti orang gila yang tidak bisa lagi membedakan dimana ia berada sekarang.
Mimpi dan nyata tak ada lagi pembedanya.
Anak laki-laki itu masih berdiri di
hadapannya, memandangnya dengan khawatir. Tiba-tiba Efrilla menangis antara
bahagia dan ketakutan. Dan, hal terakhir yang diingatnya, anak laki-laki bermata
tosca itu mengabur dari
pandangannya.[]
* SELESAI *
Biodata Penulis
El Eyra,
penulis asli kudus ini sempat berhenti berkarya sebelum akhirnya memutuskan
mendalami sastra Jawa. Karya teranyarnya dimuat di majalah Story dan Kalawarti
Penjabar.
Kamal Agusta,
penulis asal Pekanbaru ini tidak pernah terpikir akan menjadi penulis karena
semasa sekolah ia tidak menyukai pelajaran bahasa Indonesia, maupun Bahasa
lainnya. Jadi, bila sekarang ia bercita-cita jadi penulis, semua adalah
keajaiban. Kamal dapat dihubungi di @KAgusta dan 083186972428.
Kedua
penulis dipertemukan oleh jejaring sosial yang diciptakan Mark Zuckerberg lewat
sebuah grup kepenulisan. Samudera Hindia yang memisahkan kedua penulis ini
ternyata tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk bersahabat dan
berkolaborasi menulis cerpen.