Halooo semua ... kembali lagi dengan
saya. Kali ini saya akan memposting bocoran untuk novel saya, Cinta Tak
Kenal Logika, yang akan terbit di bulan Juni Fantasis ini. Nantinya kalian
bisa mendapatkan novel ini di seluruh Gramedia se-Indonesia.
Saya berharap setelah membaca ini kalian
jadi tertarik untuk membelinya. ^-^
(bukan cover yang sebenarnya)
PROLOG
"...pengkhianatanmu menyakitkanku teramat sangat."
Gerai MC Donald tinggal beberapa langkah lagi. Dada
Seisa makin berdebar-debar setiap kali langkahnya semakin mendekati gerai ayam
goreng tepung itu. Sementara kakinya tiba-tiba terasa kian berat untuk diayunkan.
Orang-orang menatapnya dengan berbagai ekspresi—melecehkan,
kasihan, bingung, jijik, serta lain sebagainya—dan berkasak-kusuk saat
berpapasan dengannya. Pasti mereka menggosipkan penampilan Seisa yang kali ini berantakkan.
Ingin rasanya Seisa memutar arah dan melupakan apa yang disampaikan Nindy sejam
lalu melalui telepon. Tapi rasa penasaran dan keinginan untuk membuktikan kebenaran
informasi Nindy—bahkan sering kali disampaikan teman-temannya yang lain—membuat
Seisa membuang jauh keinginan untuk memutar arah.
Aku ngeliat Prema dan Yuri di mall, Sa.
Mereka mesra banget. Kamu masih pacaran dengan Prema ‘kan?
Begitulah info dari Nindy yang membuat Seisa langsung
melesat ke mall ini tanpa memoles wajahnya dengan segala tetek bengek yang dibutuhkan
para gadis-gadis seusianya agar tampil cantik, bahkan untuk berganti baju pun
ia tak sempat. Seisa masih mengenakan baju rumahan, kaus biru bergambar Hello
Kitty dengan celana pipa panjang.
Lima
menit yang lalu Nindy—yang ia pinta untuk terus mengikuti Prema dan Yuri—kembali
menghubungi dan mengatakan bahwa target sedang makan di MC Donald.
Dengan
dada yang semakin berdebar, Seisa memasuki gerai MC Donald. Seorang pelayan
lansung menyambutnya dengan senyuman ramah, tapi Seisa hanya meresponnya dengan
senyuman kaku. Pikirannya saat ini hanya tertuju pada satu hal: menemukan Prema
dan Yuri secepatnya.
Di meja
paling pojok Seisa melihat pemandangan yang membuat hatinya serasa
diremas-remas ribuan tangan. Prema dan Yuri duduk berduaan, saling menatap dan
melempar senyuman, bagi siapapun yang
melihatnya pasti dapat menangkap kemesraan di antara mereka. Hati Seisa
benar-benar remuk saat menyaksikan Prema mengusap sudut bibir Yuri dengan tisu.
Seisa memejamkan mata, menahan air mata yang
terasa mulai mendesak untuk mengalir. Dengan perasaan sakit, terluka, benci
serta kecewa ia mendekati dua orang yang menyakitinya itu.
“Prema,”
panggilnya pelan, berusaha mengatur emosinya agar tidak meledak-ledak. Seisa
masih tahu malu untuk tidak menimbulkan keributan di tempat keramaian seperti
ini.
“Seisa!”
Prema terkejut dan langsung bangkit dari duduknya. “Se-sejak kapan kamu ada di
sini?”
“Cukup
untuk melihat betapa mesranya kalian berdua,” ucap Seisa lirih seraya menoleh
pada Yuri . Saat tatapan mereka bertemu, Seisa menangkap sorot kebencian di
mata Yuri. Tatapan yang selalu ia terima
sejak Yuri mengetahui perasaannya pada Prema.
“Aku
bisa jelaskan,” Prema meraih tangan Seisa yang langsung ditepis gadis itu.
“Nggak
ada yang mesti dijelaskan lagi, Prema.”
“Ini
nggak seperti yang kamu lihat.”
“Oh,
ya?” Seisa tertawa sumbang. “Emang seperti apa yang aku lihat, um?”
Orang-orang
mulai memperhatikan mereka. Yuri bangkit dari duduknya bermaksud untuk pergi,
tapi Seisa segera menahannya. Saat ini ia ingin bertanya sesuatu dengan
sahabatnya itu.
“Kenapa
kamu begitu teganya?” tanya Seisa dengan irama terluka yang tidak bisa ia
sembunyikan.
Yuri menatap
Seisa dengan sorot kebencian yang menusuk, lalu ia mendengus. Yuri menyentakkan tangannya dengan
kasar.
“Tega?” Nada suara Yuri terdengar jijik. “Kamu pikir
dulu kamu nggak tega?”
Yuri langsung melengang pergi tanpa menunggu jawaban
Seisa. Sementara Seisa terdiam sambil mengigit bibirnya. Jadi, begini akhirnya?
Tanpa
bisa Seisa tahan lagi, air matanya mulai jatuh lalu mengalir membasahi pipi. Ia
segera menyekanya agar orang-orang tidak tahu bahwa ia menangis. Tapi, semua
percuma. Semakin sering ia menyekanya, air mata itu kian deras berguguran. Saat
ini hatinya benar-benar sakit. Hatinya benar-benar hancur. Berkeping-keping.
Tak berbentuk lagi.
“Kita
harus bicara,” bisik Prema dengan suara pelan.
Seisa
memalingkan muka, lalu berucap dengan suara yang sama pelannya. “Semua udah
jelas, Prema, lebih baik kita udahan aja.”
Selepas
itu Seisa langsung angkat kaki dari hadapan Prema. Orang-orang masih menjadikan
mereka sebagai tontonan, tapi Seisa sudah tidak peduli lagi. Prema terus
mengejarnya, berusaha membujuk Seisa untuk mau membicarakan masalah ini. Tapi,
Seisa menulikan telinganya dari semua permohonan yang terucap dari bibir Prema
dan terus berlari menghindari Prema.
“Dengarin
dulu alasanku, Sa,” pinta Prema saat berhasil menahan kepergian Seisa.
“Cukup
Prema! Semua udah jelas. Aku nggak percaya kamu tega mengkhianati aku seperti
ini.”
“Ini
nggak seperti yang kamu pikirkan.”
“Apa
yang aku lihat itulah yang aku pikirkan. Kalian bermesraan. Dan, itu
kenyataannya, kan?”
Prema
ingin menyangkalnya, tapi apa yang ingin ia katakan tersangkut di
tenggorokannya. Sementara Seisa terus menyusut air matanya. Ia tidak ingin
menunjukkan pada cowok di hadapannya itu bahwa ia hancur akibat pengkhianatan
cowok tersebut.
“Kita
putus!” tandas Seisa tegas sambil menghapus sisa-sisa air matanya, namun semua
terasa sia-sia.
Setelah
mengucapkan itu, Seisa segera pergi membawa hatinya yang hancur. Pikirannya
yang kalut membuat Seisa berlari tanpa tujuan. Saat ini yang ia pikirkan hanya
pergi sejauh mungkin dari Prema. Menjauhi salah satu pelaku yang telah meremukkan
hatinya.
Saat
menyeberangi jalan raya, Seisa tidak menyadari sebuah mobil melaju kencang ke
arahnya. Klakson mobil itu memekak seperti halilintar yang siap mengoyak
gendang telinga. Mobil itu sudah semakin dekat dengan kecepatan yang tidak
berkurang. Seisa tidak sanggup lagi bergerak karena tubuhnya terasa membeku.
Matanya membelalak dan rasanya ia sangat ingin berteriak, tapi tak ada suara
apapun yang keluar dari bibirnya.
Seisa
memejamkan matanya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Hidupnya akan berakhir
dengan tragis. Tubuh Seisa bergetar menyongsong detik-detik terakhir
kehidupannya. Sebentar lagi ia pasti mati. Dia akan mati!
Namun,
tiba-tiba seseorang menariknya kuat sekali. Seisa yang sudah lemas terhuyung
mengikuti gaya tarikan tersebut. Dalam pikiran yang setengah melayang itu,
Seisa masih bisa merasakan desingan mobil yang melaju cepat di belakangnya.
Seisa
terlalu syok untuk menyadari segala yang baru saja terjadi. Tapi, samar-samar
ia bisa menangkap aroma papermint yang
begitu menenangkan. Hingga ia pun sadar bahwa ia sedang berada dalam pelukan
seseorang.
Seisa segera melepaskan tubuhnya dari pelukan
seseorang tersebut. Jarak mereka yang teramat dekat membuat Seisa mundur
beberapa langkah. Ketika ia mengangkat mukanya, Seisa terkejut mengetahui siapa
pahlawan yang telah menyelamatkan nyawanya dari kematian.
“Bego!
Apa kamu mau mati, ha?”
***