Saturday, 14 June 2014

Novel: Cinta Tak Kenal Logika (Sudah Terbit)



Halooo semuaaaa …..
Huaaa … kali ini saya bahagia sekali. Akhirnya salah satu novel saya sudah terbit. Walau belum terdistribusi merata ke seluruh Gramedia se-Indonesia. Tapi, tetap saja saya boleh berbahagia, bukan? Mengingat ini adalah novel debut saya (walau bukan naskah pertama yang saya tulis)
Baiklah, ini sekilas tentang novel saya ini.

Cinta Tak Kenal Logika
“…jika memang ini bukan cinta, izinkan aku tetap mengagumimu.”

Cover Depan
  
Blurb:
Memang benar tak ada alasan yang tepat untuk jatuh cinta. Terkadang kita bisa saja dengan mudah mencintai orang yang baru saja kita kenal, atau bahkan baru pertama kali bertemu. Cinta memang aneh, ia tak mengenal segala logika yang coba dihadirkan.
Aku tahu apakah aku harus mengakui rasa ini, atau aku harus menyimpannya dalam hati saja karena aku tahu ada dia yang lebih mencintaimu. Dia yang akan selalu mencoba membuatmu merasa nyaman. Sementara aku? Aku hanya akan terlalu sering membuatmu khawatir, membuatmu mengalah, membuatmu hanya menghabiskan waktu untuk memahamiku.
Jika memang tak ada logika yang bisa meyakinkanku untuk mampu menerimamu, untuk mencintaimu, maka biarkan aku mengagumimu saja. Karena aku yakin, bahagia itu ada, meski pada akhirnya bukan cinta yang menyatu.
Cover Belakang
***
            Yang penasaran sama cuplikan kisah di novel ini, silakan baca Prolongnya di sini.

 Terakhir ... jangan lupa beli novel ini, ya. Dan, saya tunggu kritikan dan sarannya untuk perbaikan pada tulisan saya berikutnya. ^^

Tuesday, 10 June 2014

Sneak Peek: Cinta Tak Kenal Logika (Terbit Juni 2014)



Halooo semua ... kembali lagi dengan saya. Kali ini saya akan memposting bocoran untuk novel saya, Cinta Tak Kenal Logika, yang akan terbit di bulan Juni Fantasis ini. Nantinya kalian bisa mendapatkan novel ini di seluruh Gramedia se-Indonesia.  
Kalian bisa melihat gambaran kisahnya di postingan blogku sebelumnya ini: Tentang Cinta Tak Kenal Logika
Saya berharap setelah membaca ini kalian jadi tertarik untuk membelinya. ^-^

 
(bukan cover yang sebenarnya) 
 
PROLOG

 "...pengkhianatanmu menyakitkanku teramat sangat."
     Gerai MC Donald tinggal beberapa langkah lagi. Dada Seisa makin berdebar-debar setiap kali langkahnya semakin mendekati gerai ayam goreng tepung itu. Sementara kakinya tiba-tiba terasa kian berat untuk diayunkan.
Orang-orang menatapnya dengan berbagai ekspresi—melecehkan, kasihan, bingung, jijik, serta lain sebagainya—dan berkasak-kusuk saat berpapasan dengannya. Pasti mereka menggosipkan penampilan Seisa yang kali ini berantakkan. Ingin rasanya Seisa memutar arah dan melupakan apa yang disampaikan Nindy sejam lalu melalui telepon. Tapi rasa penasaran dan keinginan untuk membuktikan kebenaran informasi Nindy—bahkan sering kali disampaikan teman-temannya yang lain—membuat Seisa membuang jauh keinginan untuk memutar arah.
            Aku ngeliat Prema dan Yuri di mall, Sa. Mereka mesra banget. Kamu masih pacaran dengan Prema ‘kan?
Begitulah info dari Nindy yang membuat Seisa langsung melesat ke mall ini tanpa memoles wajahnya dengan segala tetek bengek yang dibutuhkan para gadis-gadis seusianya agar tampil cantik, bahkan untuk berganti baju pun ia tak sempat. Seisa masih mengenakan baju rumahan, kaus biru bergambar Hello Kitty dengan celana pipa panjang.
       Lima menit yang lalu Nindy—yang ia pinta untuk terus mengikuti Prema dan Yuri—kembali menghubungi dan mengatakan bahwa target sedang makan di MC Donald.
            Dengan dada yang semakin berdebar, Seisa memasuki gerai MC Donald. Seorang pelayan lansung menyambutnya dengan senyuman ramah, tapi Seisa hanya meresponnya dengan senyuman kaku. Pikirannya saat ini hanya tertuju pada satu hal: menemukan Prema dan Yuri secepatnya.
           Di meja paling pojok Seisa melihat pemandangan yang membuat hatinya serasa diremas-remas ribuan tangan. Prema dan Yuri duduk berduaan, saling menatap dan melempar senyuman, bagi siapapun  yang melihatnya pasti dapat menangkap kemesraan di antara mereka. Hati Seisa benar-benar remuk saat menyaksikan Prema mengusap sudut bibir Yuri dengan tisu.
       Seisa memejamkan mata, menahan air mata yang terasa mulai mendesak untuk mengalir. Dengan perasaan sakit, terluka, benci serta kecewa ia mendekati dua orang yang menyakitinya itu.
            “Prema,” panggilnya pelan, berusaha mengatur emosinya agar tidak meledak-ledak. Seisa masih tahu malu untuk tidak menimbulkan keributan di tempat keramaian seperti ini.
            “Seisa!” Prema terkejut dan langsung bangkit dari duduknya. “Se-sejak kapan kamu ada di sini?”
            “Cukup untuk melihat betapa mesranya kalian berdua,” ucap Seisa lirih seraya menoleh pada Yuri . Saat tatapan mereka bertemu, Seisa menangkap sorot kebencian di mata Yuri. Tatapan yang selalu ia terima  sejak Yuri mengetahui perasaannya pada Prema.
            “Aku bisa jelaskan,” Prema meraih tangan Seisa yang langsung ditepis gadis itu.
            “Nggak ada yang mesti dijelaskan lagi, Prema.”
            “Ini nggak seperti yang kamu lihat.”
            “Oh, ya?” Seisa tertawa sumbang. “Emang seperti apa yang aku lihat, um?”
            Orang-orang mulai memperhatikan mereka. Yuri bangkit dari duduknya bermaksud untuk pergi, tapi Seisa segera menahannya. Saat ini ia ingin bertanya sesuatu dengan sahabatnya itu.
            “Kenapa kamu begitu teganya?” tanya Seisa dengan irama terluka yang tidak bisa ia sembunyikan.
Yuri  menatap Seisa dengan sorot kebencian yang menusuk, lalu ia  mendengus. Yuri menyentakkan tangannya dengan kasar.
“Tega?” Nada suara Yuri terdengar jijik. “Kamu pikir dulu kamu nggak tega?”
Yuri langsung melengang pergi tanpa menunggu jawaban Seisa. Sementara Seisa terdiam sambil mengigit bibirnya. Jadi, begini akhirnya?
            Tanpa bisa Seisa tahan lagi, air matanya mulai jatuh lalu mengalir membasahi pipi. Ia segera menyekanya agar orang-orang tidak tahu bahwa ia menangis. Tapi, semua percuma. Semakin sering ia menyekanya, air mata itu kian deras berguguran. Saat ini hatinya benar-benar sakit. Hatinya benar-benar hancur. Berkeping-keping. Tak berbentuk lagi.
            “Kita harus bicara,” bisik Prema dengan suara pelan.
           Seisa memalingkan muka, lalu berucap dengan suara yang sama pelannya. “Semua udah jelas, Prema, lebih baik kita udahan aja.”
         Selepas itu Seisa langsung angkat kaki dari hadapan Prema. Orang-orang masih menjadikan mereka sebagai tontonan, tapi Seisa sudah tidak peduli lagi. Prema terus mengejarnya, berusaha membujuk Seisa untuk mau membicarakan masalah ini. Tapi, Seisa menulikan telinganya dari semua permohonan yang terucap dari bibir Prema dan terus berlari menghindari Prema.
            “Dengarin dulu alasanku, Sa,” pinta Prema saat berhasil menahan kepergian Seisa.
            “Cukup Prema! Semua udah jelas. Aku nggak percaya kamu tega mengkhianati aku seperti ini.”
            “Ini nggak seperti yang kamu pikirkan.”
            “Apa yang aku lihat itulah yang aku pikirkan. Kalian bermesraan. Dan, itu kenyataannya, kan?”
            Prema ingin menyangkalnya, tapi apa yang ingin ia katakan tersangkut di tenggorokannya. Sementara Seisa terus menyusut air matanya. Ia tidak ingin menunjukkan pada cowok di hadapannya itu bahwa ia hancur akibat pengkhianatan cowok tersebut.
       “Kita putus!” tandas Seisa tegas sambil menghapus sisa-sisa air matanya, namun semua terasa sia-sia.
    Setelah mengucapkan itu, Seisa segera pergi membawa hatinya yang hancur. Pikirannya yang kalut membuat Seisa berlari tanpa tujuan. Saat ini yang ia pikirkan hanya pergi sejauh mungkin dari Prema. Menjauhi salah satu pelaku yang telah meremukkan hatinya.
       Saat menyeberangi jalan raya, Seisa tidak menyadari sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Klakson mobil itu memekak seperti halilintar yang siap mengoyak gendang telinga. Mobil itu sudah semakin dekat dengan kecepatan yang tidak berkurang. Seisa tidak sanggup lagi bergerak karena tubuhnya terasa membeku. Matanya membelalak dan rasanya ia sangat ingin berteriak, tapi tak ada suara apapun yang keluar dari bibirnya.
        Seisa memejamkan matanya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Hidupnya akan berakhir dengan tragis. Tubuh Seisa bergetar menyongsong detik-detik terakhir kehidupannya. Sebentar lagi ia pasti mati. Dia akan mati!
          Namun, tiba-tiba seseorang menariknya kuat sekali. Seisa yang sudah lemas terhuyung mengikuti gaya tarikan tersebut. Dalam pikiran yang setengah melayang itu, Seisa masih bisa merasakan desingan mobil yang melaju cepat di belakangnya.
        Seisa terlalu syok untuk menyadari segala yang baru saja terjadi. Tapi, samar-samar ia bisa menangkap aroma papermint yang begitu menenangkan. Hingga ia pun sadar bahwa ia sedang berada dalam pelukan seseorang.
Seisa segera melepaskan tubuhnya dari pelukan seseorang tersebut. Jarak mereka yang teramat dekat membuat Seisa mundur beberapa langkah. Ketika ia mengangkat mukanya, Seisa terkejut mengetahui siapa pahlawan yang telah menyelamatkan nyawanya dari kematian.
            “Bego! Apa kamu mau mati, ha?”
***

Monday, 9 June 2014

After A Long Time karya Kamal Agusta dan Retno Handini (Coming Soon)


Judul: After A Long Time
Penulis: Kamal Agusta & Retno Handini
Published: Sheila Fiction (Imprint Penerbit Andi)

Blurb:
Setelah sekian lama aku merasa jarak dan waktu mengkhianatiku, akhirnya kita dipertemukan kembali oleh waktu. Aku tidak mengerti, entah takdir berubah pikiran sehingga memihak kita, atau mungkin malah mengutuk kita dengan sapaan lembutnya melalui pertemuan kedua ini. Entah juga ini hanya sebuah belas kasihan dari waktu.
Kupikir saat itu langit akan runtuh, atau hanya aku saja yang terlalu berharap padamu sehingga tidak terima ketika semua berlalu untukku. Dan, kupikir bumi akan meledak, atau hanya aku saja yang terlalu lelah memutar otak untuk alasan yang tak mampu kutemukan. Alasan mengapa aku masih saja mencintaimu setelah sekian lama semua berlalu.
Aku tidak pernah menyesali pertemuan kita. Yang kusesali adalah waktu yang seakan memusuhi kita. Lalu, haruskah aku menaklukan waktu agar dapat memiliki, atau pasrah menjadi budak takdir dan melepaskanmu untuk yang lain?
***
Cerita ini berkisah tentang sepasang anak manusia, Aluna dan Arre, yang bersahabat di masa putih abu-abu. Sebenarnya keduanya punya ketertarikan yang lebih dari sebatas sahabat. Mereka saling menyukai. Suka layaknya seseorang ke lawan jenis. Tetapi, karena ketidakberanian mengungkapkan perasaan, keduanya bertahan dengan label persahabatan. Menyimpan rasa cinta itu rapat-rapat di hati, yang dinikmati sendiri-sendiri.
Hingga perpisahan itu terjadi. Arre terpaksa pergi keluar negeri atas permintaan Papanya. Arre yang berat berpisah dengan Aluna—takut mengucapkan selamat tinggal—pergi begitu saja tanpa memberitahu Aluna. Tentu saja hal itu melukai Aluna.
Bertahun-tahun berlalu. Kini Aluna sudah menjadi seorang penulis. Saat ingin mewawancara narasumber untuk referensi novelnya, Alun dipertemukan lagi dengan Arre. Ternyata Arre adalah pemusik yang jadi narasumber Aluna. Pertemuan itu memancing kembali cinta bertahun-tahun lalu yang terkunci di dasar hati masing-masing. Kini Arre mempunyai keberaniannya untuk menyatakan perasaannya pada Aluna. Aluna yang masih mencinta Arre menyambut perasaan Arre.
Mereka menjalin hubungan. Tapi, semakin lama hubungan mereka semakin sulit. Hubungan itu jadi berantakan saat rahasia mereka masing-masing terbuka: Arre ternyata sudah bertunangan dan Aluna sudah memiliki kekasih.
Sekarang haruskah mereka mempertahankan perasaan cinta mereka, tetapi menyakiti pasangan yang selama ini ada untuk mereka? Atau berpisah dan kembali pada pasangan masing-masing adalah jalan terbaik?
Temukan jawabannya di novel After A Long Time. Sebuah novel percintaan tentang takdir, kesempatan, pengorbanan dan kesetiaan.
***


Saturday, 7 June 2014

Oleh-Oleh dari Tulis Nusantara Riau



          Pada hari Rabu tanggal 04 Juni 2014 workshop Tulis Nusantara Riau dilaksanakan. Event tahunan yang ditaja oleh beberapa penerbit, di antaranya Plot Point, Grasindo dan Nulis Buku, yang bekerjasa sama dengan Kementerian Pariwisata Kreatif (Kemenparekraf) ini berlangsung di gedung C FKIP Universitas Islam Riau. Tujuan kegiatan ini adalah mengangkat tema lokalitas negeri untuk menjadi sebuah karya tulis yang menginspirasi. Dan, untuk kota Riau ini, pembicara workshop di isi oleh Rhein Fathia (Penulis novel Seven Days, Jadian 6 Bulan, dll) dan Arief Ash Shidiq (Perwakilan dari Plot Point).
            Semulanya saya tidak bisa mengikuti acara ini, mengingat ada perkulihan yang harus saya ikuti pada waktu yang sama. Tetapi, karena merasa ini merupakan kesempatan langka—jarang sekali ada workshop kepenulisan di Riau yang diisi oleh penulis nasional dan perwakilan penerbit besar—saya memutuskan untuk meminta izin pada dosen saya agar bisa menghadiri workshop ini. Alhamdulillah … dosen saya memberikan izin karena dia tahu tentang kesukaan saya pada dunia literasi.
            Jam 12.30—selesai sholah zhuhur—saya sampai di ruang acara workshop diadakan. Pada saat itu keadaan ruangan masih sangat sepi, hanya ada beberapa panitia yang hilir mudik mempersiapkan hal teknis. Saya peserta pertama yang masuk ke ruangan. Karena masih ada waktu setengah jam lagi acara akan dimulai, saya memutuskan untuk membaca modul yang tadi diserahkan panitia. Tanpa terasa satu persatu peserta lain mulai berdatangan.
            Entah apa yang membuat saya menoleh ke belakang pada waktu itu. Tapi, saya sangat mensyukuri apapun yang telah membuat saya menoleh ke belakang. Karena ternyata di sana sudah duduk seseorang yang sejak masuk ruangan sudah saya cari-cari. Ya, beliau adalah Mbak Rhein Fathia—saya tahu itu Mbak Rhein setelah memastikan dengan membandingkan fotonya di novel beliau yang saya bawa dan bertanya pada panitia yang kebetulan lewat. Meski malu, saya tidak membuang sia-sia kesempatan itu menghampiri Mbak Rhein. Tak lupa saya membawa serta novel Seven Days yang saya bawa untuk minta ditandatangani oleh Mbak Rhein.
            Ternyata Mbak Rhein kenal sama saya—yaiyalah, soalnya beberapa hari sebelumnya kami sempat komen-komenan di facebook. Kesan pertama yang saya tangkap dari Mbak Rhein adalah ramah. Ya, beliau begitu ramah saat mengobrol dengan saya. Banyak hal yang kami obrolkan, dari tentang karya beliau, karyaku, hingga tentang kuliah dan UAS. Obrolan kami baru berhenti saat acara akan dimulai. Mbak Rhein pergi ke meja pembicaraan yang sudah disediakan dan saya kembali ke tempat saya.
            Workshop dibuka oleh kata sambutan dari perwakilan Kemenparekraf. Selanjutnya oleh salah satu sastrawan Riau. Setelah itu baru diisi oleh Mbak Rhein Fathia dengan membicarakan tentang bagaimana proses kreatif beliau saat menulis. Saya sangat menikmati sesi ini. Karena Mbak Rhein membawanya dengan santai—sesekali nyeletuk dan tertawa. Saya terus menyimaknya dengan sesekali mencatat beberapa poin yang saya rasa penting untuk saya terapkan. Salah satu yang saya ingat dari perkataan beliau adalah, “Tidak ada karya yang bagus atau buruk, yang ada hanya karya yang menarik dan tidak menarik.”
            Hingga tibalah sesi tanya jawab. Saya menjadi peserta pertama yang bertanya. Saat itu saya bertanya, “Sahkah bila seorang penulis memodifikasi storyline dari sebuah film atau novel yang sudah terbit sebelumnya?”
            Dan Mbak Rhein menjawab kurang lebih intinya seperti ini: “Sah atau tidaknya itu tergantung kamu. Meski saya akui memang tak ada ide yang orisinil lagi. Tetapi semuanya kembali lagi ke apa tujuan kamu menulis.”
            Setelah sesi pertanyaan untuk Mbak Rhein selesai, acara selanjutnya diisi oleh Mas Arief Ash Shidiq. Karena beliau perwakilan dari Plot Point, jadi pertama kali yang Mas Arief lakukan adalah memperkenalkan Plot Point ke peserta workshop. Mulai dari apa itu penerbit Plot Point hingga buku-buku yang sudah Plot Point terbitkan.
            Setelah itu Mas Arief meminta kami—para peserta—untuk menyebutkan masalah-masalah menulis yang sering kami alami. Di sini, saya menyumbangkan dua permasalahan yang sering saya alami—sebagai penulis pemula, tentunya. Dua permasalahan itu adalah:
1.      Bagaimana cara menuliskan pembuka cerita yang menarik sehingga dilirik oleh penerbit?
2.      Point of View (sudut pandang) apa yang paling mudah digunakan oleh para penulis pemula?
Setelah ditotalkan ada 11 permasalahan yang disebutkan oleh para peserta. Dan, mulailah Mas Arief menjelaskan satu-persatu. Mas Arif menjelaskannya dengan baik, beserta contoh-contohnya. Saya kembali mencatat poin-poin yang saya rasa sangat penting. Salah satunya tentang pertanyaan saya mengenai pembukaan cerita yang menarik sehingga dilirik oleh penerbit.
            “Kalau pertanyaan ini saya jawab, tentu larinya akan ke tips-tips yang sangat panjang sekali. Tetapi, secara garis besarnya naskah yang dilirik itu memiliki dua hal, yaitu bermanfaat dan mudah diakses. Namun, sebenarnya ada satu hal lagi yang membuat naskah disukai, yaitu memiliki kebaruan. Kebaruan itu bisa dari apa saja. Contohnya saja karakter. Tentu akan lebih menarik karakter satpam wanita daripada satpam lelaki, karena satpam wanita itu baru sedangkan satpam lelaki biasa dan umum. Atau satpam banci, tentu lebih menarik lagi daripada satpam lelaki dan satpam wanita,” jelas Mas Arief menjawab pertanyaan saya.
            Selain menjawab permasalahan-permasalahan, Mas Arief juga memberi kami latihan menulis kilat—saking kilatnya kami hanya diberi waktu kurang dari 10 menit. Beliau meminta kami menulis tentang deskripsi suatu ruangan tetapi terdapat perubahan di ruangan tersebut tanpa ada karakter (untuk tugas ini, saya tidak bisa membuatnya) dan menuliskan deskripsi suatu tempat kesukaan kita dengan sudut pandang orang pertama. Untuk tugas kedua saya berhasil menulisnya. Deskripsi saya tersebut seperti ini:
             
Tak terhitung lagi sudah berapa banyak waktu yang saya habiskan untuk duduk berdiam diri di atas meja kayu tersebut. Saya sangat menyukai tekstur kayunya yang kasar saat tersentuh kulit. Selain itu, dari sudut ini saya bisa melihat banyak hal. Mulai dari semburat keemasan yang merangkak naik dari sela dedaunan akasia yang berembun di pagi hari, keramaian aktivitas di emperan toko-toko di seberang jalan—karyawan yang antre di foto kopian, pegawai foto kopian yang kewalahan melayani pelanggan—dan saat malam tiba, bintang-bintang bersama bulan tampak begitu jelas indahnya menghiasi kanvas langit. Namun, hal yang benar-benar membuat saya betah duduk berlama-lama di atas meja ini adalah saat hujan turun menyapa bumi, saat jendela kamar dipenuhi oleh gelur-gelur air hujan, saat saya merasakan sensasi menggelitik, dingin namun meneduhkan  takkala saya menempelkan sebelah pipi di kaca jendela. Bagi saya, tidak ada tempat senyaman dan sebaik apapun di dunia ini selain di atas meja kayu yang menghadap jendela di kamar saya. Karena itu adalah spot yang paling saya sukai.
         
   Sesi pembicaraan Mas Arief pun berakhir dengan pemberian 3 buah novel kepada peserta workshop yang bertanya—dan tentu juga beruntung. Saya menjadi salah satu yang mendapatkan reward itu, sebagai peserta workshop terewel, saking banyaknya bertanya. Saya mendapatkan novel Chrus dari Veronica Latifiane. Ternyata Mbak Rhein juga sudah menyediakan 4 novelnya untuk dibagi-bagikan. Dan, saya—sayangnya—tidak mendapatkan novel dari Mbak Rhein—padahal kepengin dapat novel Couplove.
            Acara workshop pun berakhir pada jam 16.30. Acara tersebut ditutup dengan peng\abadian moment—foto bersama—para peserta workshop dengan panitia dan para pembicara. Dan, di foto itu—kalau saya tidak lupa—saya berdiri di sebelah Mbak Rhein. Sebelum keluar ruangan saya tak lupa bersalaman dan mengucapkan terima kasih pada Mbak Rhein dan Mas Arief. Karena apa yang mereka sampaikan telah menambah wawasan saya tentang dunia literasi. Saya berharap di kemudian hari ada kesempatan untuk bertemu mereka lagi. Dan, tentunya juga ada workshop-workshop tentang kepenulisan keren lainnya di kota bertuah saya ini. Amiiiin … ^^
            Mungkin sekian oleh-oleh yang saya bawa dari workshop Tulis Nusantara. Semoga sedikit kisah ini bisa membagi ilmu pada teman-teman yang membaca. Terakhir saya mau mengatakan satu quote yang Mbak Rhein tuliskan di novel Seven Days milik saya.
Love never choice, Life is choice
            Sampai jumpa lagi pada postingan berikutnyaaaa …. ^^

Pekanbaru, 07 Juni 2014, 00:24

@KAgusta