Pada hari Rabu tanggal 04 Juni 2014
workshop Tulis Nusantara Riau dilaksanakan. Event tahunan yang ditaja oleh
beberapa penerbit, di antaranya Plot Point, Grasindo dan Nulis Buku, yang
bekerjasa sama dengan Kementerian Pariwisata Kreatif (Kemenparekraf) ini
berlangsung di gedung C FKIP Universitas Islam Riau. Tujuan kegiatan ini adalah
mengangkat tema lokalitas negeri untuk menjadi sebuah karya tulis yang
menginspirasi. Dan, untuk kota Riau ini, pembicara workshop di isi oleh Rhein
Fathia (Penulis novel Seven Days, Jadian 6 Bulan, dll) dan Arief Ash Shidiq
(Perwakilan dari Plot Point).
Semulanya saya tidak bisa mengikuti
acara ini, mengingat ada perkulihan yang harus saya ikuti pada waktu yang sama.
Tetapi, karena merasa ini merupakan kesempatan langka—jarang sekali ada
workshop kepenulisan di Riau yang diisi oleh penulis nasional dan perwakilan
penerbit besar—saya memutuskan untuk meminta izin pada dosen saya agar bisa
menghadiri workshop ini. Alhamdulillah … dosen saya memberikan izin karena dia
tahu tentang kesukaan saya pada dunia literasi.
Jam 12.30—selesai sholah zhuhur—saya
sampai di ruang acara workshop diadakan. Pada saat itu keadaan ruangan masih
sangat sepi, hanya ada beberapa panitia yang hilir mudik mempersiapkan hal
teknis. Saya peserta pertama yang masuk ke ruangan. Karena masih ada waktu
setengah jam lagi acara akan dimulai, saya memutuskan untuk membaca modul yang
tadi diserahkan panitia. Tanpa terasa satu persatu peserta lain mulai
berdatangan.
Entah apa yang membuat saya menoleh
ke belakang pada waktu itu. Tapi, saya sangat mensyukuri apapun yang telah
membuat saya menoleh ke belakang. Karena ternyata di sana sudah duduk seseorang
yang sejak masuk ruangan sudah saya cari-cari. Ya, beliau adalah Mbak Rhein
Fathia—saya tahu itu Mbak Rhein setelah memastikan dengan membandingkan fotonya
di novel beliau yang saya bawa dan bertanya pada panitia yang kebetulan lewat. Meski
malu, saya tidak membuang sia-sia kesempatan itu menghampiri Mbak Rhein. Tak lupa
saya membawa serta novel Seven Days yang saya bawa untuk minta ditandatangani
oleh Mbak Rhein.
Ternyata Mbak Rhein kenal sama
saya—yaiyalah, soalnya beberapa hari sebelumnya kami sempat komen-komenan di
facebook. Kesan pertama yang saya tangkap dari Mbak Rhein adalah ramah. Ya,
beliau begitu ramah saat mengobrol dengan saya. Banyak hal yang kami obrolkan,
dari tentang karya beliau, karyaku, hingga tentang kuliah dan UAS. Obrolan kami
baru berhenti saat acara akan dimulai. Mbak Rhein pergi ke meja pembicaraan
yang sudah disediakan dan saya kembali ke tempat saya.
Workshop dibuka oleh kata sambutan
dari perwakilan Kemenparekraf. Selanjutnya oleh salah satu sastrawan Riau.
Setelah itu baru diisi oleh Mbak Rhein Fathia dengan membicarakan tentang
bagaimana proses kreatif beliau saat menulis. Saya sangat menikmati sesi ini.
Karena Mbak Rhein membawanya dengan santai—sesekali nyeletuk dan tertawa. Saya
terus menyimaknya dengan sesekali mencatat beberapa poin yang saya rasa penting
untuk saya terapkan. Salah satu yang saya ingat dari perkataan beliau adalah, “Tidak ada karya yang bagus atau buruk, yang
ada hanya karya yang menarik dan tidak menarik.”
Hingga tibalah sesi tanya jawab.
Saya menjadi peserta pertama yang bertanya. Saat itu saya bertanya, “Sahkah bila seorang penulis memodifikasi
storyline dari sebuah film atau novel yang sudah terbit sebelumnya?”
Dan Mbak Rhein menjawab kurang lebih
intinya seperti ini: “Sah atau tidaknya
itu tergantung kamu. Meski saya akui memang tak ada ide yang orisinil lagi.
Tetapi semuanya kembali lagi ke apa
tujuan kamu menulis.”
Setelah sesi pertanyaan untuk Mbak
Rhein selesai, acara selanjutnya diisi oleh Mas Arief Ash Shidiq. Karena beliau
perwakilan dari Plot Point, jadi pertama kali yang Mas Arief lakukan adalah
memperkenalkan Plot Point ke peserta workshop. Mulai dari apa itu penerbit Plot
Point hingga buku-buku yang sudah Plot Point terbitkan.
Setelah itu Mas Arief meminta
kami—para peserta—untuk menyebutkan masalah-masalah menulis yang sering kami
alami. Di sini, saya menyumbangkan dua permasalahan yang sering saya
alami—sebagai penulis pemula, tentunya. Dua permasalahan itu adalah:
1. Bagaimana
cara menuliskan pembuka cerita yang menarik sehingga dilirik oleh penerbit?
2. Point
of View (sudut pandang) apa yang paling mudah digunakan oleh para penulis
pemula?
Setelah
ditotalkan ada 11 permasalahan yang disebutkan oleh para peserta. Dan, mulailah
Mas Arief menjelaskan satu-persatu. Mas Arif menjelaskannya dengan baik,
beserta contoh-contohnya. Saya kembali mencatat poin-poin yang saya rasa sangat
penting. Salah satunya tentang pertanyaan saya mengenai pembukaan cerita yang
menarik sehingga dilirik oleh penerbit.
“Kalau
pertanyaan ini saya jawab, tentu larinya akan ke tips-tips yang sangat panjang
sekali. Tetapi, secara garis besarnya naskah yang dilirik itu memiliki dua hal,
yaitu bermanfaat dan mudah diakses. Namun, sebenarnya ada
satu hal lagi yang membuat naskah disukai, yaitu memiliki kebaruan. Kebaruan itu bisa dari apa saja. Contohnya saja karakter.
Tentu akan lebih menarik karakter satpam wanita daripada satpam lelaki, karena
satpam wanita itu baru sedangkan satpam lelaki biasa dan umum. Atau satpam
banci, tentu lebih menarik lagi daripada satpam lelaki dan satpam wanita,”
jelas Mas Arief menjawab pertanyaan saya.
Selain menjawab
permasalahan-permasalahan, Mas Arief juga memberi kami latihan menulis
kilat—saking kilatnya kami hanya diberi waktu kurang dari 10 menit. Beliau
meminta kami menulis tentang deskripsi suatu ruangan tetapi terdapat perubahan
di ruangan tersebut tanpa ada karakter (untuk tugas ini, saya tidak bisa
membuatnya) dan menuliskan deskripsi suatu tempat kesukaan kita dengan sudut
pandang orang pertama. Untuk tugas kedua saya berhasil menulisnya. Deskripsi
saya tersebut seperti ini:
Tak terhitung lagi sudah berapa banyak waktu yang saya habiskan untuk duduk berdiam diri di atas meja kayu tersebut. Saya sangat menyukai tekstur kayunya yang kasar saat tersentuh kulit. Selain itu, dari sudut ini saya bisa melihat banyak hal. Mulai dari semburat keemasan yang merangkak naik dari sela dedaunan akasia yang berembun di pagi hari, keramaian aktivitas di emperan toko-toko di seberang jalan—karyawan yang antre di foto kopian, pegawai foto kopian yang kewalahan melayani pelanggan—dan saat malam tiba, bintang-bintang bersama bulan tampak begitu jelas indahnya menghiasi kanvas langit. Namun, hal yang benar-benar membuat saya betah duduk berlama-lama di atas meja ini adalah saat hujan turun menyapa bumi, saat jendela kamar dipenuhi oleh gelur-gelur air hujan, saat saya merasakan sensasi menggelitik, dingin namun meneduhkan takkala saya menempelkan sebelah pipi di kaca jendela. Bagi saya, tidak ada tempat senyaman dan sebaik apapun di dunia ini selain di atas meja kayu yang menghadap jendela di kamar saya. Karena itu adalah spot yang paling saya sukai.
Sesi pembicaraan Mas Arief pun berakhir dengan pemberian 3 buah novel kepada peserta workshop yang bertanya—dan tentu juga beruntung. Saya menjadi salah satu yang mendapatkan reward itu, sebagai peserta workshop terewel, saking banyaknya bertanya. Saya mendapatkan novel Chrus dari Veronica Latifiane. Ternyata Mbak Rhein juga sudah menyediakan 4 novelnya untuk dibagi-bagikan. Dan, saya—sayangnya—tidak mendapatkan novel dari Mbak Rhein—padahal kepengin dapat novel Couplove.
Acara workshop pun berakhir pada jam
16.30. Acara tersebut ditutup dengan peng\abadian moment—foto bersama—para
peserta workshop dengan panitia dan para pembicara. Dan, di foto itu—kalau saya
tidak lupa—saya berdiri di sebelah Mbak Rhein. Sebelum keluar ruangan saya tak
lupa bersalaman dan mengucapkan terima kasih pada Mbak Rhein dan Mas Arief.
Karena apa yang mereka sampaikan telah menambah wawasan saya tentang dunia
literasi. Saya berharap di kemudian hari ada kesempatan untuk bertemu mereka
lagi. Dan, tentunya juga ada workshop-workshop tentang kepenulisan keren
lainnya di kota bertuah saya ini. Amiiiin … ^^
Mungkin sekian oleh-oleh yang saya
bawa dari workshop Tulis Nusantara. Semoga sedikit kisah ini bisa membagi ilmu
pada teman-teman yang membaca. Terakhir saya mau mengatakan satu quote yang Mbak Rhein tuliskan di novel
Seven Days milik saya.
Love
never choice, Life is choice
Sampai jumpa lagi pada postingan
berikutnyaaaa …. ^^
Pekanbaru,
07 Juni 2014, 00:24
@KAgusta
No comments:
Post a Comment