Senoa’s Island
Minggu
pagi Freya dan Julian sudah berada di atas pompong—kapal kecil—yang disewa dari
nelayan setempat di desa Sepempeng. Freya tampak takjub dengan perjalanannya
menuju pulau Senoa. Ia benar-benar menikmatinya. Meskipun ini perjalanan
lautnya yang pertama kali, Freya tidak mengalami mabuk laut.
Percikan-percikan
air laut membasahi wajah Freya. Sesekali Freya membidikan kameranya pada
sesuatu yang menurutnya sangat menarik. Julian yang duduk di belakangnya
tersenyum puas saat menyadari Freya menyukai perjalanan ini.
“Ini
benar-benar menakjubkan,” puji Freya seraya berhasil membidikan kameranya
sekali lagi. Ia tersenyum penuh terima kasih pada Julian karena telah
mengajaknya ke tempat seindah ini.
Julian
mengangguk, “Aku senang bisa membuatmu
menyukai perjalanan ini.”
“Kamu
benar-benar cowok yang baik, Julian.”
“Oh,
ya?”
“Kamu
meragukan pujianku?”
Julian
tertawa saat melihat bibir Freya yang merengut. “Jadi, tadi kamu sedang
memujiku?” goda Julian.
Freya memutar bola matanya.
“Kalo begitu aku tarik lagi apa yang aku katakan tadi.”
Ternyata
Julian benar-benar menikmati keadaan mereka saat ini. Ia suka saat melihat
Freya merengut begitu. Julian semakin ingin menggoda Freya.
“Kata-kata
yang mana? Apa yang kamu maksud adalah kata-kata saat kamu memujiku sebagai
cowok yang baik?”
Freya
mengangguk. Lalu kembali menikmati keindahan laut yang biru.
“Apa
itu berarti kamu tidak menyesal berkencan denganku?”
Freya
menoleh pada Julian dengan pipi memerah seperti udang rebus. Sementara Julian
tersenyum sambil menaik-naikan alisnya. Membuat Freya jadi salah tingkah.
Permbicaraan
mereka pun berhenti. Dalam perjalanan menuju pulau Senoa Freya tidak hanya
terkagum-kagum dengan pemandangan lautnya yang indah, tapi saat ia melongok ke
bawah laut, ia dapat melihat terumbu-terumbu karang yang indah. Ikan-ikan
berwarna-warni berenang kesana-kemari. Bahkan
ia juga menemukan penyu-penyu kecil di antara ikan-ikan tersebut.
Tidak
hanya itu, mulut Freya juga ternganga
saat melihat pesona gunung Ranai yang puncaknya di selimuti awan putih yang
sangat tebal. Bagi Freya Gunung Ranai
tampak seperti Gunung Fuji di Jepang. Kokoh, cantik, dan menawan. Freya merasa
Indonesia memiliki panorama yang tak kalah mengagumkannya dibandingkan luar
negeri. Hanya saja, keindahan-keindahan negeri ini belum terekpos dan terkelola
dengan baik. Seperti keindahan yang sedang dinikamati Freya saat ini.
“Itu
pulau Senoa,” tunjuk Julian seraya berdiri.
Freya
ikut berdiri dan menoleh ke arah yang ditunjuk Julian. Benar saja, dari jauh
pulau yang tampak seperti wanita hamil yang tidur terlentang itu terlihat
begitu indah. Pasir pantainya yang putih, berkilauan tertimpa cahaya matahari
pagi. Freya jadi tidak sabar ingin menjejakkan kakinya di pasir pantai yang
rasanya pasti selembut beledu.
Freya
membidikkan kamera DSLR-nya ke pulau Senoa. Mengabadikan keindahan pulau
tersebut dalam sebuah foto. Foto yang di masa depan akan bercerita padanya
bahwa ia pernah mendatangi pulau kecil nan indah bernama Senoa.
“Benar-benar
indah, bukan?” tanya Julian setelah melihat hasil potretan Freya. Lalu ia
mengangkat kameranya yang sejak tadi tergantung di lehernya dan melakukan hal
yang sama dengan Freya, mengabadikan pulau Senoa dalam bentuk foto.
“Siap
untuk berkencan?” alis Julian naik turun. Bibirnya tersenyum jahil.
Freya
tertawa melihat tingkah genit Julian lalu mengangguk. “Siapa takut!”
♣♣♣
Benar
saja, saat Freya pertama kali menginjakkan kakinya di pulau Senoa, pasir pantai
yang lembut langsung memanjakannya. Berjalan di tepi pantai membuatnya seolah
berjalan di atas karpet beludru saking lembutnya pasir pantai di pulau Senoa
ini.
Pada
hari libur—seperti
hari ini—pulau Senoa ternyata banyak pengunjungnya. Baik oleh masyarakat sekitar, turis
dosmetik, bahkan ada beberapa turis mancanegara juga. Mereka berlibur ke pulau
Senoa bersama keluarga maupun teman-teman. Ada yang sekedar duduk-duduk di tepi
pantai seraya menikmati bekal makanan, ada yang bermain bola, mandi-mandi di
laut yang dangkal. Tidak hanya itu, di pulau ini ternyata juga dikunjungi oleh
masyarakat sebagai tujuan untuk memancing.
“Di
sini banyak terdapat ikan-ikan yang berukuran sedang dan tergolong mudah untuk
mendapatkannya. Kita cukup memancing di bibir pantai atau pinggir bebatuan,”
terang Julian saat Freya bertanya ketika tertarik melihat kegiatan memancing di
depannya.
Mereka
melanjutkan kembali perjalanan untuk berkeliling ke tempat-tempat menarik di
pulau Senoa. Saat mereka berjalan-jalan, Julian dengan sengaja memegang tangan
Freya. Hal itu membuat Freya jadi jengah, tapi tidak berusaha untuk
melepaskannya.
“Pulau
ini benar-benar tidak berpenghuni, ya?”
Julian mengangguk. “Ya, begitulah. Di pulau Senoa
ini tidak ada pemukiman penduduk. Tapi, ada beberapa penjaga sarang burung
walet yang terkadang bermalam di sini.”
“Penjaga
burung walet?”
“Aku
belum cerita padamu bahwa pulau Senoa juga terkenal dengan gua sarang waletnya,
ya?”
Freya
menggeleng. Perhatiannya terfokus pada Julian. Padahal saat memerhatikan guru menerangkan
di kelas ia tidak sefokus ini.
“Di
sini terdapat gua sarang burung walet yang langsung menghadap ke bibir laut. Di
sekelilingnya di penuhi bebatuan besar yang curam. Dari puncak bukit gua sarang
walet itu kita juga bisa menikmati
pemandangan indah seperti Gunung Ranai, Pantai Tanjung, dan Batu Sindu.”
“Benarkah?”
Freya makin tertarik dengan cerita Julian.
“Apa
selama ini aku pernah berbohong?” Julian memasang mimik terluka yang membuat
Freya malah memukul pelan lengannya hingga akhirnya mereka tertawa
bersama-sama.
“Ajak
aku ke sana!” pinta Freya dengan tatapan penuh memohon.
Julian
menggoda Freya dengan pura-pura tidak mendengar. Tapi, Freya tidak mau
menyerah, ia terus meminta pada Julian dengan menarik-narik lengan baju Julian
hingga akhirnya Julian menyetujui.
Ternyata
yang dikatakan Julian benar. Gua sarang walet benar-benar tempat yang
menakjubkan. Freya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Sesampainya di
puncak gua walet yang seperti bukit, ia langsung membidikkan kameranya ke
segala arah. Gunung Ranai yang puncaknya tertutup awan, Pantai Tanjung yang
tampak berkilauan, dan Batu Sindu yang berdiri kokoh, semuanya terabadikan
dalam bentuk foto oleh Freya. Julian ternyata juga tidak mau ketinggalan untuk
memotret. Tapi, objek fotonya bukan Gunung Ranai, Pantai Tanjung, maupun Batu
Sindu. Melainkan gadis cantik yang tampak serius dengan kameranya, Freya.
Ketika
matahari semakin terik dan posisinya tepat di atas kepala mereka, Julian memutuskan untuk mengajak
Freya kembali ke pantai. Sudah waktunya
untuk makan siang. Meski berat meninggalkan tempat yang
indah ini, Freya akhirnya menyetujui Julian untuk kembali ke pantai. Lagi pula
perutnya sudah kelaparan.
Saat
berjalan menuju pantai mereka kembali bergandengan tangan. Julian kembali
bercerita tentang pulau Senoa dan Freya mendengarkannya dengan saksama.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletejadi penasaran dengan novel ini,, menakjubkan rasanya cerita ini bisa membawa saya k kampung halaman, Natuna. ceritanya menarik :)
ReplyDelete