Hai, Sahabat ...
Bagaimana kabarmu di sana? Apakah baik-baik saja? Aneh, ya, padahal setiap hari kita selalu bertemu. Tapi, aku sama sekali tidak tahu bagaimana sesungguhnya keadaanmu. Jika dari luar aku melihatmu baik-baik saja. Tapi, belum tentu dengan bagian dalammu kan?
Sahabat, andai aku bisa, ingin rasanya aku bisa membaca pikiranmu dan menyelam di dasar hatimu. Aku ingin tahu akan apa yang kau pikirkan tentangku dan rasakan padaku. Agar aku paham di mana letak kesalahanku.
Baru satu minggu kita tidak berbicara seperti selayaknya, dan kurasakan ada yang kosong di sini, hatiku. Kau ingin tahu rasanya? Menyakitkan! Hingga untuk menutupi rasa sakit itu aku lagi-lagi harus berpura-pura. Pura-pura tertawa dan pura-pura semuanya baik-baik saja.
Ah ... seandainya bisa, ingin rasanya aku berbicara padamu. Tapi, kau selalu menghindar. Di mana ada aku, kau selalu menjauhinya. Jika terpaksaa bertemu, tak sedikit pun kulihat niatmu untuk menyapaku. Apakah persahabatan kita sudah berakhir?
Sahabat, teman-teman yang lain sekarang mulai menanyakan tentang kita. Mengapa aku sendiri? Mengapa aku tidak bersamamu? Kemana kamu? Ah ... apa yang mesti kujawab atas pertanyaan ini? Apa aku harus jujur? Tidak! Aku tidak bisa jujur, atau mungkin tidak mau. Akhirnya aku hanya menjawab dengan senyum gurauan. Lagi-lagi semua hanya berpura-pura.
Sahabat, sekarang kita terlihat seperti dua orang asing. Dimana untuk memula percakapan pun terasa teramat berat. Saling bertatapan pun rasanya mustahil. Padahal, semua orang tahu bagaimana kedekatan kita. Seperti saudara kembar. Selalu bersama. Saling melengkapi. Dan, sekarang? Sebelah sisiku begitu goyah tanpa dirimu.
Aduh ... dari tadi aku selalu memanggilmu dengan sebutan sahabat. Padahal belum tentu kamu mau menyebutku begitu. Sekarang aku ingin bertanya, apakah aku ini sahabatmu? Atau hanya aku sendiri yang dengan tidak malunya mengaku-ngaku sebagai sahabatmu? Tolong jawab yah! Biar aku tidak salah persepsi dengan kedekatan kita dulu. Namun, kamu harus tahu, meski bagaimanapun jawabanmu, kamu tetaplah sahabatku. Terbaik.
Terakhir, aku hanya ingin katakan: aku berharap semuanya akan baik-baik saja. Kamu, aku, kita. Kembali seperti sedia kala. Berangkulan dan menertawai dunia ini bersama-sama.
Bagaimana kabarmu di sana? Apakah baik-baik saja? Aneh, ya, padahal setiap hari kita selalu bertemu. Tapi, aku sama sekali tidak tahu bagaimana sesungguhnya keadaanmu. Jika dari luar aku melihatmu baik-baik saja. Tapi, belum tentu dengan bagian dalammu kan?
Sahabat, andai aku bisa, ingin rasanya aku bisa membaca pikiranmu dan menyelam di dasar hatimu. Aku ingin tahu akan apa yang kau pikirkan tentangku dan rasakan padaku. Agar aku paham di mana letak kesalahanku.
Baru satu minggu kita tidak berbicara seperti selayaknya, dan kurasakan ada yang kosong di sini, hatiku. Kau ingin tahu rasanya? Menyakitkan! Hingga untuk menutupi rasa sakit itu aku lagi-lagi harus berpura-pura. Pura-pura tertawa dan pura-pura semuanya baik-baik saja.
Ah ... seandainya bisa, ingin rasanya aku berbicara padamu. Tapi, kau selalu menghindar. Di mana ada aku, kau selalu menjauhinya. Jika terpaksaa bertemu, tak sedikit pun kulihat niatmu untuk menyapaku. Apakah persahabatan kita sudah berakhir?
Sahabat, teman-teman yang lain sekarang mulai menanyakan tentang kita. Mengapa aku sendiri? Mengapa aku tidak bersamamu? Kemana kamu? Ah ... apa yang mesti kujawab atas pertanyaan ini? Apa aku harus jujur? Tidak! Aku tidak bisa jujur, atau mungkin tidak mau. Akhirnya aku hanya menjawab dengan senyum gurauan. Lagi-lagi semua hanya berpura-pura.
Sahabat, sekarang kita terlihat seperti dua orang asing. Dimana untuk memula percakapan pun terasa teramat berat. Saling bertatapan pun rasanya mustahil. Padahal, semua orang tahu bagaimana kedekatan kita. Seperti saudara kembar. Selalu bersama. Saling melengkapi. Dan, sekarang? Sebelah sisiku begitu goyah tanpa dirimu.
Aduh ... dari tadi aku selalu memanggilmu dengan sebutan sahabat. Padahal belum tentu kamu mau menyebutku begitu. Sekarang aku ingin bertanya, apakah aku ini sahabatmu? Atau hanya aku sendiri yang dengan tidak malunya mengaku-ngaku sebagai sahabatmu? Tolong jawab yah! Biar aku tidak salah persepsi dengan kedekatan kita dulu. Namun, kamu harus tahu, meski bagaimanapun jawabanmu, kamu tetaplah sahabatku. Terbaik.
Terakhir, aku hanya ingin katakan: aku berharap semuanya akan baik-baik saja. Kamu, aku, kita. Kembali seperti sedia kala. Berangkulan dan menertawai dunia ini bersama-sama.
Teruntuk (yang kuanggap) sahabat, masih adakah kesempatan bagiku untuk menjalani hari-hari bersamamu?
Kamar sempitku, 13 Januari 2013
Kamar sempitku, 13 Januari 2013
No comments:
Post a Comment