“Seandainya saja kenangan bisa diperjualbelikan.”
Aku
menatap gadis di hadapanku. Bisa kulihat mata bulatnya menerawang jauh. Aku
bisa menangkap ada kesedihan di matanya. Ia menarik napas lalu tersenyum getir.
Sore itu
kami sedang berada di sebuah caffe langganan kami, menikmati secangkir teh
hangat ditemani beberapa potong biskuit. Kebiasaan ini sudah sering kami
lakukan sepulang sekolah sejak berpacaran. Sekedar melewati senja bersama dalam
obrolan ringan untuk mempererat hubungan.
“Memangnya
mengapa kalau kenangan bisa diperjualbelikan?” tanyaku tanpa mengalihkan
pandangan dari wajahnya yang sore ini terlihat murung.
Bahkan sejak tadi tak ada
kutemukan rona kemerahan di pipinya yang membuatku jatuh cinta padanya.
Ia
menoleh padaku sekejap lalu menunduk kepala. Telunjuknya yang lentik kini
bermain-main di bibir cangkir. “Aku ingin membelinya, lalu memberikanya pada
adikku” jawabnya sendu.
Seandainya
keadaan tidak semuram ini, mungkin aku sudah tertawa geli mendengar jawabannya
barusan. Namun kali ini aku termenung. Ada satu pertanyaan yang menari-nari di
benakku.
“Memangnya
ada apa dengan adikmu?”
Aku
memang belum mengenal apapun tentang keluarganya, bahkan adiknya. Kami baru saling
mengenal empat bulan lalu dan berpacaran
dua bulan berikutnya. Hubungan kami masih seumur jagung. Selama ini pembicaraan
kami hanya sebatas diriku atau dirinya, tanpa sedikitpun menyinggung perihal
keluarga. Jadi, wajar saja kalau aku tidak tahu tentang adiknya.
“Dia
kehilangan ingatannya karena kecelakaan. Aku sedih melihatnya. Yang paling
menyakitkan, dia tak lagi mau berbicara denganku. Makanya jika ada orang yang
menjual kenangan, aku ingin membelinya dan aku memberikannya pada adikku. Aku
ingin dia bisa mengingat dan mau berbicara lagi denganku.”
Sebaris
air mata tergelincir dari sudut matanya lalu jatuh ke dalam cangkir teh
miliknya. Aku juga melihat bahunya berguncang.
“Ingin rasanya aku mencari
orang yang telah membuat adikku kehilangan ingatan dan menjebloskannya ke penjara
agar dia merasakan penderitaan yang keluarga kami rasakan.”
Ini pertama kalinya aku
melihat ia menangis penuh emosi dan aku tidak tahu harus mengatakan apa agar ia
berhenti menangis. Satu-satunya hal yang terpikirkan olehku hanyalah
menggenggam tangannya.
“Maaf
aku malah merusak sore ini dengan tangisku,” bisiknya lirih.
“Tidak
apa-apa, Keyla.
Aku tahu ini pasti berat bagimu.”
“Makasih
kamu sudah mau mengerti.” Ia mengusap air mata di pipinya.
Aku
mengangguk. Tiba-tiba ada suatu rencana menyelinap di benakku. “Kenangan memang
tidak bisa dibeli, tapi bisa dibuat. Bagaimana kalau kita membuat kenangan
untuk adikmu? Semoga saja itu bisa membuatnya lebih baik.”
Ia
menatapku lama, kemudian tersenyum—senyum yang di mataku begitu manis terlihat.
Sore
itu aku menyetujui ajakannya untuk berkenalan dengan adiknya. Kupikir tidak ada
salahnya untuk memulai mengenal anggota keluarganya, terutama adiknya.
***
Malam
itu aku terbangun dengan tubuh basah oleh keringat. Beberapa saat kemudian
pintu kamarku terbuka. Bunda masuk dengan raut cemas. “Ada apa, Ravi? Mengapa
kamu berteriak-teriak?”
Aku
mengusap wajahku. Tanganku gemetaran. Aku masih ketakutan.
“Aku
mimpi kejadian itu lagi. Aku takut, Bunda,” kataku dengan suara bergetar.
Bunda
meraih tubuhku lalu memeluknya. Aku tahu sudah tidak sepantasnya cowok berumur
tujuh belas tahun masih dipeluk bundanya, tapi kali ini aku sungguh
menginginkan pelukan Bunda. Karena aku sedang membutuhkan sandaran dan
perlindungan.
Bunda
mengelus punggungku lembut. “Itu hanya mimpi. Kejadian itu bukan salahmu. Jadi,
kamu tidak perlu takut.”
“Tapi
aku yang menabrak anak itu, Bunda!”
“Bukan.
Anak itu yang berlari ke mobilmu. Anak itu yang menabrakkan dirinya. Jadi, itu
bukan salahmu, Sayang.”
“Tapi,
Bun—”
“Sekali
lagi Bunda tegaskan itu bukan salah kamu. Jadi, kamu tidak perlu menyalahkan
dirimu.”
Aku
mengangguk. Mungkin Bunda benar, kejadian kecelakaan itu bukan salahku. Tapi,
mengapa hatiku tetap saja merasa takut?
***
Sepulang
sekolah, aku memacu Ninjaku melaju ke sekolah Keyla. Sesuai kesepakatan, hari
ini aku akan main ke rumah Keyla dan berkenalan dengan adiknya. Saat aku sampai
di sekolahnya, Keyla sudah menunggu di gerbang.
“Kita
langsung ke rumah?” tanyaku saat Keyla naik ke boncengan.
“Kamu
tidak keberatan, kan, kalau kita mampir dulu ke toko kue? Aku ingin membelikan brownies coklat kesukaan adikku.”
Aku
menggeleng. Sama sekali tidak keberatan. “Kalau begitu biar aku saja yang
belikan.”
Keyla
tampak ingin menolak usulku itu, tapi aku segera memberikan alasan. “Anggap
saja itu sebagai jalan bagiku untuk berkenalan dengan adikmu,” kataku yang
akhirnya membuat Keyla menerimanya.
Setengah
jam kemudian kami sudah sampai di rumah Keyla. Gadis itu langsung turun lalu
mengajakku masuk. Kedatangan kami di sambut oleh Ibunya. Ternyata Keyla sudah
mengatakan pada ibunya kalau ada temannya yang akan datang dan ingin berkenalan
dengan adiknya. Dengan ramah, ibu Kayla mempersilahkanku duduk sementara
menunggu Keyla mengganti baju.
“Diminum
tehnya, Nak,” ucap Ibu Keyla.
Aku
tersenyum sungkan. “Iya, Tante.” Lalu kuraih cangkir the yang telah disajikan
Ibu Keyla untukku.
“Sudah
lama berpacaran dengan Keyla?”
Sebenarnya
aku malu untuk membahas ini. Tapi, karena Ibu Keyla yang bertanya, aku pun
menjawabnya. “Baru dua bulan, Tante. Maaf.”
“Nak
Ravi tidak perlu minta maaf. Tante maklum kok kalau kalian berpacaran. Tapi,
Tante harap Nak Ravi bisa menjaga Keyla.”
Aku
mengangguk. Dadaku merasa lega karena Ibu Keyla mengizinkan aku berpacaran
dengan anaknya. “Makasih, Tante. Aku akan ingat pesan Tante.”
“Diminum
lagi tehnya.”
“Iya,
Tante.”
Aku
meraih cangkir tehku. Saat aku hendak meminumnya.
“Ravi, ini adikku,” Itu
suara Keyla.
Aku menoleh dan mataku
berserobok dengan seraut wajah yang sangat kukenal. Cangkir di tanganku
terlepas dan jatuh mengenai bajuku.
“Ravi,
kamu kenapa?” tanya Keyla bingung. Begitupun Ibu Keyla.
Aku
tak mampu menjawab pertanyaan Keyla. Karena saat itu mataku tertuju pada sosok
di hadapanku. Sosok yang hanya menatap keributan ini dengan tatapan kosong.
Dia adik Keyla?!
Kenyataan yang baru saja kudapatkan membuat tubuhku
gemetaran. Tiba-tiba aku merasa ketakutan. Aku masih menatap wajah itu. Wajah
yang selalu hadir di mimpi burukku. Wajah yang beberapa minggu lalu
kutinggalkan sekarat di jalanan. Aku tidak akan pernah melupakan wajah anak
yang kutabrak.
“Ravi,
ada apa denganmu?” Keyla masih bertanya dengan wajah bingung.
Aku
tetap membisu. Benakku kini dipenuhi hal-hal buruk. Bagaimana kalau Keyla tahu?
Ia pasti memutuskan hubungan kami. Ia pasti akan membenciku. Tiba-tiba ucapan
Keyla saat di caffe ketika ia menangis terngingat di telingaku. Aku makin
ketakutan.
Aku ingin menjebloskannya ke penjara agar
dia merasakan penderitaan yang keluarga kami rasakan….
“Tidak!
Aku tidak mau dipenjara!” teriakku histeris.
Aku pun segera kabur dari
rumah Keyla. Melupakan keinginanku untuk membantu Keyla membangkitkan kenangan untuk adiknya.[]
Cerpen ini bagus banget alurnya :) Ini tuh dikirim kapan mas? And kirimnya ke email apa? Thanks yah ...
ReplyDeleteTerima kasih. Kirimnya 8 April. Untuk emailnya, baca di majalahnya, ya. :)
Delete