Tuesday, 6 May 2014

Cerpen: Pembeli Kenangan (Majalah Hai Edisi 17, 28 April - 4 Mei 2014)



            “Seandainya saja kenangan bisa diperjualbelikan.”
            Aku menatap gadis di hadapanku. Bisa kulihat mata bulatnya menerawang jauh. Aku bisa menangkap ada kesedihan di matanya. Ia menarik napas lalu tersenyum getir.
            Sore itu kami sedang berada di sebuah caffe langganan kami, menikmati secangkir teh hangat ditemani beberapa potong biskuit. Kebiasaan ini sudah sering kami lakukan sepulang sekolah sejak berpacaran. Sekedar melewati senja bersama dalam obrolan ringan untuk mempererat hubungan.
            “Memangnya mengapa kalau kenangan bisa diperjualbelikan?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari wajahnya yang sore ini terlihat murung. Bahkan sejak tadi tak ada kutemukan rona kemerahan di pipinya yang membuatku jatuh cinta padanya.
            Ia menoleh padaku sekejap lalu menunduk kepala. Telunjuknya yang lentik kini bermain-main di bibir cangkir. “Aku ingin membelinya, lalu memberikanya pada adikku” jawabnya sendu.
            Seandainya keadaan tidak semuram ini, mungkin aku sudah tertawa geli mendengar jawabannya barusan. Namun kali ini aku termenung. Ada satu pertanyaan yang menari-nari di benakku.
            “Memangnya ada apa dengan adikmu?”
            Aku memang belum mengenal apapun tentang keluarganya, bahkan adiknya. Kami baru saling mengenal empat bulan lalu dan  berpacaran dua bulan berikutnya. Hubungan kami masih seumur jagung. Selama ini pembicaraan kami hanya sebatas diriku atau dirinya, tanpa sedikitpun menyinggung perihal keluarga. Jadi, wajar saja kalau aku tidak tahu tentang adiknya.
            “Dia kehilangan ingatannya karena kecelakaan. Aku sedih melihatnya. Yang paling menyakitkan, dia tak lagi mau berbicara denganku. Makanya jika ada orang yang menjual kenangan, aku ingin membelinya dan aku memberikannya pada adikku. Aku ingin dia bisa mengingat dan mau berbicara lagi denganku.”
            Sebaris air mata tergelincir dari sudut matanya lalu jatuh ke dalam cangkir teh miliknya. Aku juga melihat bahunya berguncang.
“Ingin rasanya aku mencari orang yang telah membuat adikku kehilangan ingatan dan menjebloskannya ke penjara agar dia merasakan penderitaan yang keluarga kami rasakan.”
Ini pertama kalinya aku melihat ia menangis penuh emosi dan aku tidak tahu harus mengatakan apa agar ia berhenti menangis. Satu-satunya hal yang terpikirkan olehku hanyalah menggenggam tangannya.
            “Maaf aku malah merusak sore ini dengan tangisku,” bisiknya lirih.
            “Tidak apa-apa, Keyla. Aku tahu ini pasti berat bagimu.”
            “Makasih kamu sudah mau mengerti.” Ia mengusap air mata di pipinya.
            Aku mengangguk. Tiba-tiba ada suatu rencana menyelinap di benakku. “Kenangan memang tidak bisa dibeli, tapi bisa dibuat. Bagaimana kalau kita membuat kenangan untuk adikmu? Semoga saja itu bisa membuatnya lebih baik.”
            Ia menatapku lama, kemudian tersenyum—senyum yang di mataku begitu manis terlihat.
            Sore itu aku menyetujui ajakannya untuk berkenalan dengan adiknya. Kupikir tidak ada salahnya untuk memulai mengenal anggota keluarganya, terutama adiknya.
***
            Malam itu aku terbangun dengan tubuh basah oleh keringat. Beberapa saat kemudian pintu kamarku terbuka. Bunda masuk dengan raut cemas. “Ada apa, Ravi? Mengapa kamu berteriak-teriak?”
            Aku mengusap wajahku. Tanganku gemetaran. Aku masih ketakutan.
            “Aku mimpi kejadian itu lagi. Aku takut, Bunda,” kataku dengan suara bergetar.
            Bunda meraih tubuhku lalu memeluknya. Aku tahu sudah tidak sepantasnya cowok berumur tujuh belas tahun masih dipeluk bundanya, tapi kali ini aku sungguh menginginkan pelukan Bunda. Karena aku sedang membutuhkan sandaran dan perlindungan.
            Bunda mengelus punggungku lembut. “Itu hanya mimpi. Kejadian itu bukan salahmu. Jadi, kamu tidak perlu takut.”
            “Tapi aku yang menabrak anak itu, Bunda!”
            “Bukan. Anak itu yang berlari ke mobilmu. Anak itu yang menabrakkan dirinya. Jadi, itu bukan salahmu, Sayang.”
            “Tapi, Bun—”
            “Sekali lagi Bunda tegaskan itu bukan salah kamu. Jadi, kamu tidak perlu menyalahkan dirimu.”
            Aku mengangguk. Mungkin Bunda benar, kejadian kecelakaan itu bukan salahku. Tapi, mengapa hatiku tetap saja merasa takut?
***
            Sepulang sekolah, aku memacu Ninjaku melaju ke sekolah Keyla. Sesuai kesepakatan, hari ini aku akan main ke rumah Keyla dan berkenalan dengan adiknya. Saat aku sampai di sekolahnya, Keyla sudah menunggu di gerbang.
            “Kita langsung ke rumah?” tanyaku saat Keyla naik ke boncengan.
            “Kamu tidak keberatan, kan, kalau kita mampir dulu ke toko kue? Aku ingin membelikan brownies coklat kesukaan adikku.”
            Aku menggeleng. Sama sekali tidak keberatan. “Kalau begitu biar aku saja yang belikan.”
            Keyla tampak ingin menolak usulku itu, tapi aku segera memberikan alasan. “Anggap saja itu sebagai jalan bagiku untuk berkenalan dengan adikmu,” kataku yang akhirnya membuat Keyla menerimanya.
            Setengah jam kemudian kami sudah sampai di rumah Keyla. Gadis itu langsung turun lalu mengajakku masuk. Kedatangan kami di sambut oleh Ibunya. Ternyata Keyla sudah mengatakan pada ibunya kalau ada temannya yang akan datang dan ingin berkenalan dengan adiknya. Dengan ramah, ibu Kayla mempersilahkanku duduk sementara menunggu Keyla mengganti baju.
            “Diminum tehnya, Nak,” ucap Ibu Keyla.
            Aku tersenyum sungkan. “Iya, Tante.” Lalu kuraih cangkir the yang telah disajikan Ibu Keyla untukku.
            “Sudah lama berpacaran dengan Keyla?”
            Sebenarnya aku malu untuk membahas ini. Tapi, karena Ibu Keyla yang bertanya, aku pun menjawabnya. “Baru dua bulan, Tante. Maaf.”
            “Nak Ravi tidak perlu minta maaf. Tante maklum kok kalau kalian berpacaran. Tapi, Tante harap Nak Ravi bisa menjaga Keyla.”
            Aku mengangguk. Dadaku merasa lega karena Ibu Keyla mengizinkan aku berpacaran dengan anaknya. “Makasih, Tante. Aku akan ingat pesan Tante.”
            “Diminum lagi tehnya.”
            “Iya, Tante.”
            Aku meraih cangkir tehku. Saat aku hendak meminumnya.
“Ravi, ini adikku,” Itu suara Keyla.
Aku menoleh dan mataku berserobok dengan seraut wajah yang sangat kukenal. Cangkir di tanganku terlepas dan jatuh mengenai bajuku.
            “Ravi, kamu kenapa?” tanya Keyla bingung. Begitupun Ibu Keyla.
            Aku tak mampu menjawab pertanyaan Keyla. Karena saat itu mataku tertuju pada sosok di hadapanku. Sosok yang hanya menatap keributan ini dengan tatapan kosong.
            Dia adik Keyla?!
            Kenyataan yang baru saja kudapatkan membuat tubuhku gemetaran. Tiba-tiba aku merasa ketakutan. Aku masih menatap wajah itu. Wajah yang selalu hadir di mimpi burukku. Wajah yang beberapa minggu lalu kutinggalkan sekarat di jalanan. Aku tidak akan pernah melupakan wajah anak yang kutabrak.
            “Ravi, ada apa denganmu?” Keyla masih bertanya dengan wajah bingung.
            Aku tetap membisu. Benakku kini dipenuhi hal-hal buruk. Bagaimana kalau Keyla tahu? Ia pasti memutuskan hubungan kami. Ia pasti akan membenciku. Tiba-tiba ucapan Keyla saat di caffe ketika ia menangis terngingat di telingaku. Aku makin ketakutan.
            Aku ingin menjebloskannya ke penjara agar dia merasakan penderitaan yang keluarga kami rasakan….
            “Tidak! Aku tidak mau dipenjara!” teriakku histeris.
Aku pun segera kabur dari rumah Keyla. Melupakan keinginanku untuk membantu Keyla membangkitkan kenangan untuk adiknya.[]



            

2 comments:

  1. Cerpen ini bagus banget alurnya :) Ini tuh dikirim kapan mas? And kirimnya ke email apa? Thanks yah ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih. Kirimnya 8 April. Untuk emailnya, baca di majalahnya, ya. :)

      Delete