oleh
Kamal Agusta
Gandi menekan tombol reject ponselnya sambil berdecak kesal. Gadget itu disimpannya kembali ke dalam saku.
Tadi
itu telpon dari Ayahnya di kampung. Ayah mengabarkan pada Gandi bahwa ia belum
bisa membelikan motor baru untuk Gandi. Penghasilanya ayahnya yang hanya petani
karet menjadi tak menentu karena harga karet yang kian anjlok. Sebenarnya budget untuk
beli motor itu sudah disiapkan, tapi terpaksa dialihkan dulu untuk mengirimi
uang kuliah untuk kakaknya yang di Jogja. Ayah meminta maaf karena belum bisa memenuhi permintaan Gandi.
Kabar itu tentu saja membuat
Gandi kecewa. Sudah berbulan-bulan Gandi memimpikan motor baru untuk ia
tunggangi ke sekolah, jalan-jalan, juga ngapel ke rumah Ranti, pacarnya, saat
malam mingguan. Apalagi Gandi sering malu saat ngumpul dengan teman-temannya karena ketidakpunyaannya itu.
“Sudah zaman modern kau
masih saja naik angkot. Dasar Kampungan!”
“Dia kan emang dari kampung,
Ron!”
“Kau benar juga. Orang dari
kampung emang suka kampungan!”
Selanjutnya teman-temannya
akan terbahak-bahak menertawakan Gandi.
Mendengar celaan temannya
selalu membuat kuping Gandi panas. Dadanya menggelegak oleh amarah. Ingin
rasanya Gandi menonjok wajah mereka hingga tulang hidung mereka patah. Tapi,
Gandi hanya bisa menahan rasa marahnya dalam-dalam. Bagaiamanapun apa yang
diucapkan teman-temannya itu benar. Zaman sekarang tidak punya motor? Kampungan
banget!
“Kenapa,
bro?” tanya Dion yang melihat wajah
kesal Gandi.
“Ayahku
belum bisa belikan motor,” jawab Gandi sambil menyelipkan sebatang rokok di
bibirnya.
Dion
mendekat, lalu menepuk pundak Gandi. Bibirnya yang tipis dan hitam akibat
nikotin rokok itu menyeringai.
“Kau
ingin punya motor?”
Gandi
mendelik sebal. Tantu saja ia menginginkan sebuah motor untuk bisa survive di dalam pergaulannya. “Aku
sudah nggak tahan dihina oleh yang lain, Yon. Kau tahu sendiri gimana pedasnya
mulut Roni setiap melihatku ngumpul tanpa tunggangan apapun!” tukas Gandi.
“Kalo
kau emang mau punya motor, kau bisa ikut denganku malam minggu nanti.”
“Yang
benar? Kemana?”
“Kau
akan tahu nanti!”
Gandi yang sudah terobsesi
memiliki sebuah motor menyetujui ajakan itu tanpa bertanya-tanya lagi.
***
Malam
minggu Dion benar-benar menjemput Gandi ke kamar kosnya. Setelah mengunci pintu
kamarnya, Gandi langsung naik ke motor Dion. Tanpa buang-buang waktu lagi Dion
langsung tancap gas, memacu motornya dengan kecepatan tinggi.
Beberapa
kali Dion melakukan maneuver-manuver saat
menyalip kendaraan lain atau bertemu tikungan yang tajam. Gandi terpaksa
memeluk tubuh Dion dengan erat. Gandi benar-benar kagum dengan kepiawaian
temannya itu di jalanan.
Setengah
jam kemudian mereka sampai ke tempat yang dituju, Stadion bola. Di sana sudah
berkumpul puluhan orang yang duduk-duduk di atas motor. Gandi terperangah saat
melihat motor-motor di hadapannya yang tampak keren setelah di-modifikasi.
“Aku
kenalin dulu kau sama Bang Awang,” ucap Dion sambil melepas helm teropongnya.
Ternyata
Bang Awang yang dimaksud Dion adalah seorang lelaki berumur 40 tahun berambut gondrong.
Tubuhnya yang gempal dibalut oleh jaket kulit. Wajahnya tampak sangar karena
bekas-bekas luka.
“Kau
nggak perlu takut,” kata Dion, menyadari ketakutan Gandi yang melihat
penampakan Bang Awang yang sangar.
Dion
langsung mencium tangan Bang Awang saat bertemu. Takut-takut Gandi juga
mengikuti apa yang Dion lakukan. Bang Awang menatapnya tajam, lalu memberikan
senyuman yang menurut Gandi lebih mirip seringaian.
“Jadi
ini teman yang kau maksud, Yon?”
Dion
mengangguk lalu ia mengasih kode dengan matanya agar Gandi memperkenalkan diri.
“Aku
Gandi, Bang. Teman sekolahnya Dion.”
Kepala
Bang Awang terangguk-angguk sambil memperhatikan penampilan Gandi.
“Kata
Dion kau ingin punya motor, benar?”
“Iya,
Bang.”
“Sekarang
kau pilih saja motor yang kau suka,” tawar Bang Awang sambil menunjuk deretan
motor-motor keren di belakangnya.
Gandi
terperangah. Tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya.
“Yang
benar, Bang?”
“Apa
aku tampak bergurau?” Bang Awang menyeringai.
Gandi
menggelengkan kepalanya. Lalu mengedarkan pandangannya pada deretan motor yang dipersilahkan
Bang Awang untuk ia pilih. Sebentar lagi impiannya untuk punya motor akan
kesampaian. Yang terpenting, ia tidak akan lagi mendengar hinaan teman-temannya
yang membuatnya kupingnya panas dan hatinya sakit.
Gandi
menjatuhkan pilihannya pada motor blade yang
sudah dimodifikasi sekian rupa. Bang Awang langsung melemparkan kunci motor itu
padanya. Dengan semangat Gandi mencoba motor yang sekarang jadi miliknya itu.
“Kau
suka?” tanya Bang Awang pada Gandi setelah kembali dari mencoba motornya.
“Suka,
Bang. Terima kasih.”
“Kau
tidak perlu berterima kasih. Motor ini akan jadi milikmu, asal kau setiap malam
berkumpul dengan kami di sini. Kau sanggup?”
Gandi
menyetujui persyaratan itu. Hanya berkumpul setiap malam? Why not? Itu bukanlah persyaratan yang sulit bila dibandingkan
dengan sebuah motor!
***
Sesuai
persyaratan setiap malam Gandi berkumpul di stadion bola. Selain Bang Awang,
dia juga bertemu dengan teman-teman baru yang ternyata sebagian adalah pelajar
dari berbagai sekolah. Sebut saja Ferdi, Syarif, Rudi, Ilham, dan Rahman.
Tetapi, ternyata yang ngumpul tidak hanya cowok-cowok, ada juga beberapa cewek,
di antaranya Alexa, Kenny, Judy, dan beberapa yang tidak Gandi ketahui namanya.
Gandi mulai menikmati kehidupannya sejak memilki motor baru pemberian Bang
Awang.
Ternyata
kegiatan yang dilakukan Gandi dengan teman-teman barunya tidak hanya
ngumpul-ngumpul di stadion. Mereka juga melakukan konvoi-konvoi di jalanan, dan
balap-balapan liar. Sebulan berlalu dengan cepat bagi Gandi.
Tapi,
akhir-akhir ini Gandi mulai merasa resah dengan kegiatan yang terpaksa ia ikuti
atas perintah Bang Awang. Mereka sering disuruh mengganggu pengguna jalan yang
lain, bahkan sampai mencederai dan merampas beberapa barang miliknya. Beberapa
kali mereka juga diperintahkan untuk menjarah minimarket dan warung-warung yang buka tengah malam. Kegiatan yang
diperintahkan Bang Awang mulai anarkis. Sebenarnya Gandi ingin menolak melakukan
itu, tapi ia merasa tidak enak terhadap Bang Awang yang telah memberinya motor
secara gratis.
“Malam
ini kita akan menjarah minimarket,
warung-warung, dan warnet yang berada di jalan Riau,” perintah Bang Awang.
“Tunjukkan pada mereka bahwa genk motor kitalah yang paling hebat, ditakuti!”
lanjutnya berapi-api.
Semua
anggota mengangguk-angguk termasuk Gandi. Meski ia tidak suka, Gandi terpaksa
melakukan semuanya.
***
Pagi
itu pelajaran baru saja di mulai. Tapi, suara ketukan pintu membuat kegiatan
belajar terhenti. Pak Ageng, Guru BP, masuk ke kelas dengan wajah tegang
membuat murid-murid salin berpandangan.
“Bagi
namanya yang saya panggil, harap segera ke ruang BP,” kata Pak Ageng dengan
suara baritonnya yang khas.
Gandi
yang sedang berbisik-bisik dengan Egi, teman sebangkunya, terkejut ketika
namanya di panggil. Semua mata murid yang lain segera tertuju padanya dengan
tatapan bertanya-tanya. Gandi sama bingungnya dan bertanya-tanya dalam hati. Mengapa
ia dipanggil ke ruang BP?
Di
ruang BP ternyata sudah ada kepala sekolah, dan beberapa orang guru. Yang
membuat Gandi terkejut adalah saat melihat Dion yang duduk di depan kepala
sekolah dengan kepala tertunduk dan dikawal oleh dua orang pria berjaket kulit,
seperti intel kepolisian. Gandi mulai merasakan sesuatu bakal terjadi pada
dirinya.
Kepala
sekolah memerintahkan Gandi untuk duduk di sebelah Dion dengan wajah tegang.
Lalu ia menatap anak didiknya itu satu persatu dengan rasa kecewa.
“Bapak
tidak menyangka anak didik di sekolah ini terlibat kekerasan genk motor.
Bapak-bapak ini datang untuk membawa kalian ke kantor polisi untuk diintrogasi.
Bapak tidak bisa mencegahnya karena salah satu anggota geng motor yang
tertangkap dini hari tadi menyebutkan bahwa kalian berdua terlibat. Bapak benar-benar
kecewa.”
Gandi
dan Dion makin tertunduk. Mereka tidak bisa berucap apa-apa. Bahkan saat
pria-pria berjaket kulit itu menggiring mereka ke mobil patroli, mereka hanya
bisa diam dengan kepala tertunduk.
Siswa-siswi
yang tadinya belajar berhamburan keluar kelas menyaksikan dua rekan mereka
diringkus polisi. Suasana jadi riuh karena kasak-kusuk sana-sini. Guru-guru
menatap kecewa dan tidak menyangka terhadap apa yang terjadi pada anak
didiknya.
Sebelum
mobil patroli melaju, Gandi sempat menatap bangunan sekolahnya. Tiba-tiba ia
terbayang wajah letih Ayah yang bersimbah keringat mencari uang untuk
menyekolahkannya. Pelupuk mata Gandi mulai digenangi air mata, hingga akhirnya
mengarus deras. Ia menyesal, tapi semua sudah terlambat dan tidak ada gunanya.
Gandi
telah menghancurkan masa depannya dan
harapan yang Ayah titipkan padanya hanya demi sebuah motor. Ya, sebuah motor
yang kini tidak ada artinya lagi bagi Gandi.