Senja pertamaku menginjakkan kaki di kampung halaman setelah pulang
dari perantauan, di tepian sungai Kuantan tempat anak-anak bermain
gasing. Tabir yang terkibar itu tersingkap sekejap. Takkala pertama
kalinya aku menangkap bayangan molek wajahmu. Ditemani bias jingga
keemasan yang hanya menerangi sebelah pipimu, bibir ranummu
menyunggingkan senyuman magis. Membuatku kehilangan diri, menyihirku.
"Inilah belahanku, tulang rusukku." bisik jiwaku seketika.
Aku adalah lelaki, jiwa yang terbelah. Di tepian Kuantan ini kutemukan serpihannya, dan itu kau.
Tatapan
kita beradu, lantas kau menunduk malu. Ah... mata itu bermahkota bulu
lentik dan bertahta alis rembulan melengkung. Sungguh indah.
Kau berlalu, aku terpaku menatap kepergianmu yang bersamaan tenggelamnya matahari.
"Matahari tenggelam di wajahmu."
aku tersenyum menantang langit Kuantan yang telah hitam.
***
"Silahkan duduk, Nak Fahmi." ucap Wak Atan -guru pengajianku masa kecil- sambil merapikan songket khas Riau-nya.
"Terimakasih, Wak."
"Sudah lama kau dan keluarga tak pulang, bagaimana kabar Abah dan Emakmu?" tanya Wak Atan antusias.
"Abah dan Emak alhamdulillah sehat, Wak."
Seorang
gadis muncul membawa nampan berisi makanan dan minuman. Tenyata gadis
itu adalah kau. Aku benar-benar tak menyangka kau adalah Nisa, teman
kecilku. Kau yang senja tadi mencuri hasratku.
Aku memperhatikan gerikmu. Sungguh... wajahmu begitu indah. Inikah bidadari itu??
"Silahkan dicicipi bolu kemojo, roti jala, dan kopi melatinya, Nak Fahmi." suara Wak Atan membuyarkan lamunanku.
"Te... terimakasih, Wak." ucapku tergagap lalu menyeduh kopi melati.
Kau tersenyum malu melihat keterkejutanku, dengan wajah menunduk kau kembali masuk.
***
"Abang, Tahukah kapan gasing terlihat indah?" tanyamu tanpa mengalihkan perhatianmu pada pertandingan gasing yang berputar.
Aku diam, lalu menggeleng lemah.
Kau
tersenyum. "Gasing itu terlihat indah ketika berputar. Gasing bisa
melambangkan kehidupan. Kehidupan juga indah karena selalu berputar."
Aku tertawa mendengar filosofi unik tentang gasing yang kau kaitkan dengan kehidupan.
"Ini gasing untuk, Abang. Terimalah."
Kau memberikan sebuah gasing yang tadi kau beli kepadaku. Aku menerimanya.
Mungkinkah melalui gasing ini awal hubungan kita dimulai??
***
Hari
ini kau begitu cantik. Tubuhmu dibalut busana putih. Wajah putihmu,
bibir tipismu, dan bulu mata lentik itu semakin mempertegas jelita
wajahmu.
Bulir bening di mataku merebak. Hatiku perih tersayat. Dadaku sesak seakan menghimpit.
Kau sungguh cantik, tapi mengapa aku malah menangis? Mengapa hatiku perih?
Tenyata bukan cuma aku, semua juga menangis melihat kau cantik.
Aaaagggrrrhhh...
Kau
sungguh cantik, dan aku semakin frustasi. Aku tak sanggup menatap wajah
cantikmu pucat, dan tubuh harummu terbujur kaku dalam keabadian.
Aku terisak, memeluk erat di dada gasing pemberianmu. Berharap gasing terindah ini menguatkanku.
Takkan melayu hilang di bumi. Begitu juga cintaku padamu, takkan pudar meski alam memisahkan kita.
Kristal
bening di mataku kembali turun, ketika melihat kau di peluk bumi. Ah...
Akankah duniaku masih indah berputar seperti gasing meski tanpamu??
Entahlah...
Hanya menunggu harapan...
Nisa...
Izinkan kupahat namamu pada kubah tertinggi...
Mengukir cinta di hati ini pada bianglala kaki langit...
Tunggu aku di gerbang surgaNya...
Tempat akhir cinta kita bertaut...
prastasti cinta abadi...
Pekanbaru, 04-12-2011
===========================================================
Flash Fiction ini diikutkan pada Event MellowFiksi di grup Untuk Sahabat(UNSA) dan masuk dalam TOP 5.
No comments:
Post a Comment