Friday, 17 February 2012

GASING

Senja pertamaku menginjakkan kaki di kampung halaman setelah pulang dari perantauan, di tepian sungai Kuantan tempat anak-anak bermain gasing. Tabir yang terkibar itu tersingkap sekejap. Takkala pertama kalinya aku menangkap bayangan molek wajahmu. Ditemani bias jingga keemasan yang hanya menerangi sebelah pipimu, bibir ranummu menyunggingkan senyuman magis. Membuatku kehilangan diri, menyihirku.

"Inilah belahanku, tulang rusukku." bisik jiwaku seketika.

Aku adalah lelaki, jiwa yang terbelah. Di tepian Kuantan ini kutemukan serpihannya, dan itu kau.

Tatapan kita beradu, lantas kau menunduk malu. Ah... mata itu bermahkota bulu lentik dan bertahta alis rembulan melengkung. Sungguh indah.

Kau berlalu, aku terpaku menatap kepergianmu yang bersamaan tenggelamnya matahari.

"Matahari tenggelam di wajahmu."

aku tersenyum menantang langit Kuantan yang telah hitam.

***

"Silahkan duduk, Nak Fahmi." ucap Wak Atan -guru pengajianku masa kecil- sambil merapikan songket khas Riau-nya.

"Terimakasih, Wak."

"Sudah lama kau dan keluarga tak pulang, bagaimana kabar Abah dan Emakmu?" tanya Wak Atan antusias.

"Abah dan Emak alhamdulillah sehat, Wak."

Seorang gadis muncul membawa nampan berisi makanan dan minuman. Tenyata gadis itu adalah kau. Aku benar-benar tak menyangka kau adalah Nisa, teman kecilku. Kau yang senja tadi mencuri hasratku.

Aku memperhatikan gerikmu. Sungguh... wajahmu begitu indah. Inikah bidadari itu??

"Silahkan dicicipi bolu kemojo, roti jala, dan kopi melatinya, Nak Fahmi." suara Wak Atan membuyarkan lamunanku.

"Te... terimakasih, Wak." ucapku tergagap lalu menyeduh kopi melati.

Kau tersenyum malu melihat keterkejutanku, dengan wajah menunduk kau kembali masuk.

***

"Abang, Tahukah kapan gasing terlihat indah?" tanyamu tanpa mengalihkan perhatianmu pada pertandingan gasing yang berputar.

Aku diam, lalu menggeleng lemah.

Kau tersenyum. "Gasing itu terlihat indah ketika berputar. Gasing bisa melambangkan kehidupan. Kehidupan juga indah karena selalu berputar."

Aku tertawa mendengar filosofi unik tentang gasing yang kau kaitkan dengan kehidupan.

"Ini gasing untuk, Abang. Terimalah."

Kau memberikan sebuah gasing yang tadi kau beli kepadaku. Aku menerimanya.

Mungkinkah melalui gasing ini awal hubungan kita dimulai??

***

Hari ini kau begitu cantik. Tubuhmu dibalut busana putih. Wajah putihmu, bibir tipismu, dan bulu mata lentik itu semakin mempertegas jelita wajahmu.

Bulir bening di mataku merebak. Hatiku perih tersayat. Dadaku sesak seakan menghimpit.

Kau sungguh cantik, tapi mengapa aku malah menangis? Mengapa hatiku perih?

Tenyata bukan cuma aku, semua juga menangis melihat kau cantik.

Aaaagggrrrhhh...
Kau sungguh cantik, dan aku semakin frustasi. Aku tak sanggup menatap wajah cantikmu pucat, dan tubuh harummu terbujur kaku dalam keabadian.

Aku terisak, memeluk erat di dada gasing pemberianmu. Berharap gasing terindah ini menguatkanku.

Takkan melayu hilang di bumi. Begitu juga cintaku padamu, takkan pudar meski alam memisahkan kita.

Kristal bening di mataku kembali turun, ketika melihat kau di peluk bumi. Ah... Akankah duniaku masih indah berputar seperti gasing meski tanpamu??

Entahlah...
Hanya menunggu harapan...

Nisa...
Izinkan kupahat namamu pada kubah tertinggi...
Mengukir cinta di hati ini pada bianglala kaki langit...
Tunggu aku di gerbang surgaNya...
Tempat akhir cinta kita bertaut...
prastasti cinta abadi...

Pekanbaru, 04-12-2011


===========================================================


Flash Fiction ini diikutkan pada Event MellowFiksi di grup Untuk Sahabat(UNSA) dan masuk dalam TOP 5.

No comments:

Post a Comment